Tak ada jalan mulus menuju
puncak bernama kemenangan. Mestilah dahulu melewati terjalnya jalan, lika-liku
rintangan dan tajam kerikil bebatuan. Meskipun akhirnya sudah dilewati, belumlah
dapat dipastikan puncak bernama kemenangan mampu diraih dalam genggaman.
Sebenarnya kemenangan itu apa pula, sehingga awal yang bersusah seolah akan berakhir dengan hal-hal indah. Kemenangan itu definisinya bagaimanakah. Atau setara dengan dua berbanding satu. Dua untuk kami dan satu untuk mereka, dan itu cukup dinamakan kemenangan. Lantas datang dari suara bilik kecil bernama hati, kemenangan sesungguhnya tidak mutlak selalu berada di atas. Tertindas dan mampu bertahan pun, dapat dikatakan kemenangan.
Seperti kali ini, kita sebagai sekumpulan manusia yang
telah bersatu dalam barisan menuju arah kebaikan, juga kemenangan. Kemenangan
yang menggenapkan keganjilan dari sikap individualistik menjadi kerja sama
kolektif. Kerja sama yang dengan spontan mengatakan, “tidak untuk menghamba
pada kekuasaan!”. Lantaran kemenangan menuju arah kebaikan adalah yakin dengan
sikap berani melewati badai.
Kita sudah terpilih dan tersaring. Dari gejolak dan
romansa perjalanan panjang, juga jatuh bangunnya sebuah lembaga yang mendadak
komunitas. Lembaga yang ada secara musiman, atau terlahir dari proposal
material yang hidup di bawah tangan-tangan pengendali kepentingan. Dan dari
ide-ide yang diciptakan melalui dorongan bernama pendanaan.
Kembali ke topik, bahwa arah kebaikan yang tengah
dijunjung tinggi kali ini tidaklah senantiasa mulus. Bagai perumpamaan,
“Berakit-rakit ke hulu, Berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu,
Bersenang-senang kemudian.” Tapi di sini, saya sedikit membelot tak setuju atas
pepatah di atas lantaran kata “bersenang”. Hematnya, bersenang bukan tujuan
akhir dari rasa sakit di awal. Senang itu relatif. Karena senang ada di
mana-mana. Dalam hati yang lara. Dalam jiwa yang berduka. Dan dalam mata yang
sirna.
Arah kebaikan, tidak melulu soal kesenangan yang mampu
menghibur belaka. Namun juga memahami atas adanya kehidupan sehingga kemenangan
dan kesenangan membias jadi kesadaran. Dan kesadaran, ialah titik kulminasi
dari pancaran seorang manusia. Yang mengerti untuk apa dirinya ada dan ada apa
dengan dirinya. Untuk turut pula mafhum adanya tujuan besar setelah melewati
setapak pengharapan menuju keabadian.
Badai memang selalu ada dan akan terus ada. Ia menjelma
ujian yang secara otomatis datang kapan saja. Badai di sini, bukan hembusan
angin yang menyapu seluruh benda-benda di depannya. Hawa nafsu termasuk badai
yang menyesaki rongga dada manusia. Letaknya amat strategis dan sukar
diketahui. Cercaan pun dikatakan badai yang datang tak diduga secara
terang-terangan atau diam-diam. Kendati demikian, bersiaplah!
Bersiaplah melewati badai yang sudah disediakan untuk
kita semua sebagai fasilitas dari Tuhan yang menyeleksi manusia secara ketat.
Secara halus dan tanpa adanya sedikit pun unsur menyakitkan. Sebab yang datang
dari-Nya selalu amat sarat makna, amat dalam tafsirannya, sehingga oleh manusia
menjadi pelajaran hidup yang selalu terngiang sepanjang masa.
Bersiaplah, Kawan. Badai sudah di depan. Kuatkan barisan,
teguhkan hati dan tajamkan pikiran. Sesuatu yang sudah dimulai ayo lekas
diteruskan. Terangkan terang. Redupnya semangat bukan sebab fisik yang sudah
lelah, namun niat yang agaknya telah memudar dari kepekatan perjuangan.
Tolonglah
kuat sebagai akar pohon yang mencengkram seluruh batang dan menyelamatkan
ranting-ranting yang tinggi menjulang. Lantunkan ayat kedamaian, maka badai
sebesar apapun akan mudah dilewati menuju arah kebaikan. Sebab kata Hamka,
“Orang berakal hidup untuk masyarakatnya, bukan buat dirinya sendiri.”
Pisang Kolek, 28/11/2021.
Komentar
Posting Komentar