Menuju Jalur Keterasingan Gunung yang Menyenangkan

              Gelap mulai merambat di nagari Pinaga. Suasana beralih hening. Tapi kami tak bergeming akan rencana perjalanan malam menuju pos Harimau Campo. Mulai dari mendata barang bawaan secara keseluruhan hingga mem-packing ulang logistik dan perlengkapan, ternyata cukup menyita waktu. Sehingga Isya menjadi penanda awal mula kami melangkah.

Lokasi camp di pos Harimau Campo.

            Sebelum benar-benar memulai, terlebih dahulu kami berbincang hangat dengan Bang Andri menyoal bagaimana mekanisme pendakian dan hal apa saja yang mesti diperhatikan. Dalam obrolan, saya sedikit menyinggung perihal penamaan Pinaga. “Kenapa Pinaga namanya, Bang?,” tutur saya jengah. Ia menjawab santai, “bahwa Pinaga adalah sebuah kata gabungan antara “Pinang” dan “Berlaga.” Atau jika dikaitkan yakni pinang yang berlaga.”

            “Sementara cikal bakalnya, berasal dari sebuah nagari tuo dekat kaki gunung Talamau. Di sana dahulu, bagian dari pinang dijadikan sebagai alat komunikasi tradisional seperti kentungan. Dan hal unik dari Pinaga, termasuk kenagarian yang memiliki batas cukup luas dan memiliki satu Datuak saja. Berbeda dengan beberapa kenagarian lainnya,” tutur Bang Andri. Tapi bagi saya, terlepas dari fakta atau fiktif, yang utama tuturan itu tentu berasal dari cerita turun-temurun yang mesti dihargai.

            Sebab dirasa cukup mengantongi informasi, kami berempat yang tergabung dalam satu grup pendakian pamit. Mengawali langkah dengan hutan sawit sebagai saksi, kami merapalkan doa keselamatan dan kemudahan yang dipandu oleh Bang Fidyan. Dengan sedikit yel-yel sebagai pemantik semangat, kami bergerak berirama menembus malam. Sepanjang 2,5 KM jalan landai panjang membosankan dan berkerikil sebagai akses kendaraan pengangkut, akan kami lewati dengan tabah.

            Dalam masih perjalanan, kami melewati sebuah vila milik salah seorang konglomerat Pinaga. Rumahnya berdiri megah yang kontras dengan pemandangan sekelilingnya. Di sebuah irigasi yang dialiri deras mata air gunung Talamau, ada ikan hias berukuran besar berenang riang tak bebas. Ada juga kandang bebek dan musala kecil. Termasuk adanya alat pembangkit listrik tenaga air yang digerakkan oleh kincir kecil sebagai sumber energi penerangan kawasan vila tersebut.

            Kami terus berjalan memandangi bulan yang masih setengah terang, melewati sebuah sungai besar sebelum kembali menembus malam lewati ladang pemanfaatan masyarakat yang ditanami oleh karet dan salak. Di sana kami sempat keluar jalur sebab ragu akan jalan bercabang, namun berkat kehati-hatian Bang Miji, kami kembali menemukan jalur menuju pos Hariamu Campo.

Dari landai, jalan mulai menanjak curam. Konturnya bertanah dan bersemak. Salah satu alat untuk memudahkan proses pendakian adalah tali tambang yang sudah terpasang. Dengan malam yang demikian, kami pun mesti rela berbagi asupan oksigen bersama tanaman. Bang Fidyan mulai geleng-geleng, sebelum oleng langkah kaki diangkat perlahan hingga tibalah di kawasan Harimau Campo yang di kanannya terdapat pondokan Pak Danil, orang pertama yang membuka jalur pendakian resmi Talamau via Pinaga.

Namun kami masih akan berjalan sedikit ke muka. Dari kejauhan saya mulai melihat gazebo berbentuk panggung, dan kemungkinan di sanalah kami akan rehat dan mendirikan tenda di pelatarannya. Sesampainya, kami mengeluarkan barang-barang, mendirikan tenda dan makan malam. Menyesap sedikit kopi susu kemudian merehatkan badan.

***

            Mentari pagi di pos Harimau Campo menyapa lembut. Di kejauhan bentangan sawit menjadi santapan pahit. Hal ini bisa jadi karena hilangnya senyuman kamu yang ditelan jarak, he-he. Tapi tak mengapa, kicauan burung masih asyik di dengar dan suara alam bagai melodi simfoni memerdu lagu menggoreskan ketenangan sehabis menghirup udara yang tidak tercemar.

            Kesepakatan kami hari ini yakni berangkat pagi, tapi kesepakatan sewaktu-waktu bisa saja dianulir. Sementara Wawan membongkar tenda, saya memilih masak untuk sarapan pagi. Setelah nasi masak dan lauk pauk dalam bentuk nugget pun masak, kami bersantap. Menyesap kopi dan membongkar apa pun yang ingin di bongkar, lalu packing dan bersiap melanjutkan perjalanan menuju Bumi Sarasah di pos tiga.

            Kami berempat kembali jalan berirama menyesuaikan kapasitas langkah. Masih dalam lahan pemanfaatan, saya banyak melihat rumah pondokan berdiri di tepi-tepi ladang atau di tengah ladang. Terus ke depan, kami disuguhkan oleh yang bagi saya adalah keanehan ketika melihat adanya padi gunung yang tumbuh tidak dalam pematang atau dalam pengairan. Padi-padi ini tetap subur selayaknya tanaman lain yang ada disekitar.

            Di sebuah pondokan berlantai dua yang tengah dalam pembangunan, kami rehat sejenak setelah sebelumnya izin kepada pemiliknya yang memang ada di sana. Sepanjang rehat, saya bertanya, “kok bisa padi-padi ini tumbuh, Pak?.”

Beliau katakan, “tentu bisa” dan menjelaskan, “bahwa padi ini sama halnya dengan padi sawah. Namun bedanya, jika padi di sawah dalam pengairan dan untuk jangka panen setahun bisa dua kali. Padi gunung tidak perlu pengairan dan panennya hanya sekali. Dan pola pertumbuhannya dibanding padi sawah, termasuk yang paling lama dan akan terus tumbuh tinggi hingga menutupi sekeliling areal ladang.”

            Paham dengan hal tersebut, kami kembali berjalan melewati lahan pemanfaatan dengan potret pohon tumbang sehabis ditebang. Jalur lama memang agak samar tetapi penunjuk jalan sudah terpancang agar pendaki tidak kehilangan arah. Terus ke depan, tibalah kami di pintu rimba. Di sana kembali rehat untuk kemudian disambut burung Anggang. Dan burung Anggang termasuk burung langka yang dilindungi.

Rehat di pintu rimba.

Setelah menyeberangi sungai kecil di muka dari pintu rimba, kami menembus ladang kopi yang nampaknya tidak begitu terurus dengan selingan beberapa pohon pisang hutan yang tengah berbuah. Di sini jalan masih sedikit melandai sebelum tanjakan kembali terjal menuju pos dua, Rindu Alam.

Terhitung dari Harimau Campo hingga kami tiba di Rindu Alam, waktu yang dihabiskan sekitar empat jam lebih. Sementara perjalanan masih akan diteruskan menuju Bumi Sarasah dengan waktu di peta kira-kira tiga jam. Di Rindu Alam kami rehat untuk salat, menikmati  cemilan yang berkalori sebagai tenaga tambahan. Karena tutur Bang Miji yang sudah lebih dari tiga kali mendaki Talamau, jalur ke atas “kemungkinan” tidak ada bonus.

Sebelumnya kami sudah mengambil air cadangan langsung di aliran sungai kecil dekat pos Rindu Alam. Meneruskan ke Bumi Sarasah, langkah mulai diatur sedemikian rupa agar tidak lelah atau cedera. Dan jalur betul-betul terus menanjak, ditambah kerapatan hutan yang lebat, kami kerap rehat ketika menemukan ruang landai yang cukup untuk istirahat.

Istimewanya Talamau bagi saya, tidak adanya sampah-sampah berarti yang ditemukan sepanjang jalur pendakian. Jalur Talamau benar-benar bersih dari segala macam kezaliman tangan-tangan manusia yang nakal, yang seenaknya meninggalkan sisa kemajuan dari plastik kemasan. Namun meski begitu, paling tidak sepanjang jalur tali-tali atau plastik beberapa diikatkan di beberapa pohon sebagai petanda.

Setidaknya dari itu, kami sudah berjalan selama tiga jam lebih. Namun tanda-tanda Bumi Sarasah sudah dekat belum nampak. Halusinasi yang terasa ialah ketika mendongakkan kepala ke atas, melihat seperti cahaya sebagai bukti adanya ruang lapang ternyata justru malah teralihkan oleh tanjakan selanjutnya yang tidak kalah terjal.

Tali tambang masih tersedia di jalur ini untuk memudahkan. Sehingga langkah gontai kami masih mampu terbantu oleh tali-tali itu. Hingga matahari benar-benar sudah hendak terbenam dan senja perlahan menghilang, kami berempat bersepakat bahwa Bang Miji mesti jalan duluan membawa tenda menuju Bumi Sarasah. Lalu saya, Wawan dan Bang Fidyan akan berjalan perlahan.

Nampaknya fisik Bang Fidyan sudah mulai menurun. Malam pun turun dan senter kepala mulai dinyalakan. Jam di tangan menunjukkan hampir pukul tujuh. Kami masih terus berjalan di tengah kegelapan. Saya masih ingat bagaimana pantangan jalan malam di Talamau dan rasa was-was yang tak berkesudahan. Tapi saya pun ingat, bahwa pikiran mesti dijaga untuk selalu berprasangka baik.

Maka kami tetap berjalan karena Bumi Sarasah tentunya sedikit lagi akan digapai. Dari kejauahan sayup-sayup suara dan senter nampak mendekat ke arah kami, dan ternyata adalah Bang Miji. Ia mengabarkan tenda di atas sudah berdiri dan Bumi Sarasah sedikit lagi. Tak lama dari itu, 20 menit kemudian kami tiba di Bumi Sarasah. Setiba di atas kami bertiga duduk sejenak, mengganti pakaian dan membongkar barang.

            Bang Miji pun bercerita, ketika mendirikan tenda tadi senter kepala yang digunakan tiba-tiba saja mati. Kemungkinan batrainya habis, dan ia terpaksa menggunakan senter gawai. Untung saja, alhamdulillah, proses mendirikan tenda berjalan lancar sehingga tim dapat istirahat dan bersiap masak. Malam yang dingin, hening, akan kami habiskan sebelum pagi dan mentari kembali menyapa.

            Perut sudah terisi, kopi hangat sudah disesap, dan kami semua istirahat.

***

Jemuran dan plang Bumi Sarasah.

Bumi Sarasah pagi itu sungguh sejuk. Ditambah rimbun pepohonan dan adanya burung Jalak serta tupai menyambut malu-malu. Namun alangkah kagetnya ketika mendapati tenda tempat menyimpan barang bolong dilubangi oleh tikus gunung. Kesalahannya ialah logistik makanan yang tidak disimpan di dalam tas, tetapi dibiarkan begitu saja. Kami kecolongan.

Mentari masih belum meninggi. Sambil menunggu saya memanfaatkan waktu untuk menjemur pakaian di area yang sudah tersedia. Suasana benar-benar tenang, jauh dari hingar-bingar dan kebisingan. Sambil menjemur sesekali menikmati keadaan sekitar dan membangunkan Kawan-kawan yang masih lelap untuk bersiap. Setidaknya bersiap bangun dan memasak.

Kicauan mulai memerdu lagu. Setidaknya beberapa hari ke depan, suara-suara itulah yang akan menjadi musik alam selama kami di Talamau.

Bersambung!

Komentar

Posting Komentar