Kala itu ketika kaki masih berpijak diam di sebuah kota tua peninggalan Belanda. Saya bersama salah seorang di sana pernah berbincang perihal suatu rencana. Salah satu rencananya adalah mengadakan studi banding dengan mengajukan permintaan langsung kepada pemangku kebijakan. Tapi agaknya sebelum mengajukan, kembali menimbang, rencana tersebut nampaknya utopis.
Saat berada di Goedang Boekoe Lentera Pustaka yang berisikan ratusan buku. |
Maklum posisi sebagai
seorang yang bukan siapa-siapa hanya akan menjadi objek belaka. Meski begitu,
mimpi-mimpi yang sebatas wacana di waktu senggang kemarin saya coba kembali
urutkan menjadi sebuah langkah nyata. Ialah berani mencoba dengan apa yang saya
punya.
Dari kota tua itu, saya beranjak
hendak menunaikan cita-cita yang telah dibangun sejak lama. Menaiki angkutan
bus antar lintas provinsi NPM (Naikilah Perusahaan Minang). Melewati provinsi
Jambi, Sumatera Selatan, memasuki Lampung kemudian menyeberang naik kapal laut
dari Pelabuhan Bakauheni – Merak di Banten hingga tiba di DKI Jakarta.
Tepatnya saya turun bus
di terminal Jati Jajar, Depok dan menetap di Citayam, Kab. Bogor. Selang hari
saja di sana. Rabu, 16 Februrari 2022 saya bulatkan tekad mengunjungi salah
satu TBM di Bogor. Kunjungan tersebut saya namakan studi banding kecil-kecilan ke
TBM (Taman Baca Masyarakat) Lentera Pustaka.
Sehari sebelum kunjungan,
saya telah berkomunikasi dengan Pak Syarifudin Yunus, Founder Lentera Pustaka. Di
lokasi saya disambut oleh wali baca beliau, Susi. Seorang mahasiswi UNINDRA
PGRI Jakarta. Perihal akomodasi, dari Citayam saya menaiki kereta. Naik dari
Stasiun Bojong Gede dan turun di Stasiun Bogor. Lalu setiba di Bogor lanjut
menggunakan moda ojek online.
Waktu perjalanan tempuh
jika pun itu perlu saya tuliskan, yakni 50 – 60 menit dari titik saya menetap
sementara. Menuju lokasi ojek online sempat salah masuk gang. Dan ketika
mengandalkan warga lokal mereka tahu di mana TBM berada. Hingga tibalah dan
benar-benar di lokasi nyata yang sejak jauh-jauh hari hanya mampu saya saksikan
lewat websitenya.
Wajah TBM Lentera Pustaka
kala itu saya dapati tengah dalam pembangunan. Namun taman, rumah baca hingga
tulisan-tulisan motivasi masih terang saya lihat. Setibanya saya langsung
kabari Susi. Tapi yang tiba saat itu Susi yang lain, yakni Teh Aik, salah satu
wali baca yang rumahnya lebih dekat dari TBM. Sementara Susi, selisih satu gang
dari sini.
Oleh Teh Aik saya
diarahkan merehat di bangunan kecil, musala. Sekalian saja saya menunaikan di
sana. Sepanjang pengamatan menyusuri setapak menuju musala, saya dapati
keindahan dan tata ruang ramah anak. Ya, dalam hati, “inilah taman baca, taman
dengan sudut-sudutnya yang mengandung banyak inspirasi dan edukasi.”
Masih dalam keadaan
menunggu, saya sempatkan waktu melihat lebih dekat lagi setiap guratan taman
baca tersebut. Di sana terlihat adanya Goedang Boekoe, Panggung Baca, rak buku
anak, dan tempat duduk layaknya taman-taman kota. Juga aneka tanaman dan aneka
buku yang sudah menjadi hiasan dan plang kata-kata penyadaran.
Sambil mengambil potret gambar,
Teh Aik yang sebelumnya pamit kembali datang bersamaan dengan Susi. Sementara
Susi menyapa hangat saya dan menyilakan duduk di pelataran panggung, Teh Aik
menyuguhkan saya kopi hitam yang belakangan tahu adalah Tora Bika, kopi
kesukaan dari Pak Syarifudin Yunus itu sendiri.
***
Bertukar Cerita; Perihal
Literasi, Taman Baca, dan Perjuangan Tiada Henti
Usai siang yang terik di bawah pohon lindung sebagai
penaung. Saya, Susi dan Teh Aik duduk berjejer di pelataran panggug baca. Saya
selaku perwakilan Kolam Baca menyatakan niat mengapa sekarang ada di Lentera
Pustaka dan apa alasannya. Di sana saya pun menjelaskan dari mana mengetahui
informasi adanya TBM di Bogor tersebut.
Bersama Susi, wali baca Lentera Pustaka. |
Topik awal yang saya angkat
berkenaan literasi yang belakangan hari menjadi hal menarik untuk senantiasa digali.
Lalu Susi menjelaskan, bahwa literasi di sekitar TBM Lentera Pustaka terbilang baik
dan masih dalam tahap proses membumikan kepada masyarakat sekitar. Meski
program-program yang dihadirkan dapat dikatakan sudah mampu memantik, namun
kendala tetap saja ada.
Kendala tersebut datang
dari minimnya respon aparatur desa setempat yang masih menutup diri untuk turut
terlibat jauh atas program-program baik dari TBM Lentera Pustaka. Begitu pun
pemuda sekitar, mereka yang tak dapat pula dipersalahkan lebih besar berlatar
belakang sebagai pekerja sehingga tidak memiliki waktu memadai.
Terlepas dari itu,
dukungan atas hadirnya TBM Lentera Pustaka yang mengusung misi literasi
disambut baik oleh berbagai lembaga, organisasi maupun stakeholder
terkait. Literasi yang menjadi bagian penting telah berperan sebagai pengantar
dan komunikasi yang baik dalam mengenalkan dunia lebih luas lagi.
Beralih mengenai
informasi taman baca. Saya cukup menyorot cerita dibalik adanya TBM Lentera
Pustaka. TBM ini berdiri pada November, 2017. Namun masa itu masih dalam tahap
berdiri untuk kemudian pada tahun 2018, TBM beroperasi sekaligus peresmian atau
pelegalan secara hukum.
Lokasi TBM Lentera
Pustaka cukup strategis sebab jika diakses dari Kota Bogor hanya memakan waktu
30 - 40 menit. Simpangnya pun menyebelah dengan simpang Pura terbesar berada yakni
Pura Parahyangan Agung. Lengkapnya, TBM Lentera Pustaka berada di Gg. Warung
Loa. Sukaluyu, Taman Sari, Kab. Bogor, Jawa Barat.
Di sela perbincangan,
saya menanyakan tujuan terbesar dari TBM Lentera Pustaka. Susi selaku wali baca
dari Pak Syarifudin Yunus menanggapi antusias, bahwa TBM Lentera Pustaka
diniatkan menjadi sentra pemberdayaan masyarakat. Hal ini tercermin dari
berbagai program yang dihadirkan, antara lain: a.) GEBERBURA, b.) KEPRA, c.)
RABU, d.) DONBUK, e.) KOPERASI LENTERA, f.) JOMBI, g.) YABI, h.) LITERASI
DIGITAL, i.) TABARABEL, j.) LITFIN, k.) LITDAB, dan l.) MOBAKE. (Akses langsung
tbmlenterapustaka.com).
Kemudian di tahun 2021,
TBM Lentera Pustaka menjadi salah satu dari 30 TBM di Indonesia yang dinobatkan
sebagai kampung literasi. Saat itu pula transformasi mulai berjalan. Yang dapat
saya dapati, ujar Susi bahwa sebelumnya tempat duduk di Kebun Baca masih berupa
bangku kayu berubah menjadi bangku permanen. Terlihat pula dengan adanya
pengembangan rooftop yang ke muka difungsikan sebagai café Lentera
Pustaka.
Saya pun penasaran
berkenaan dengan aktivitas di dalamnya. Ternyata TBM Lentera Pustaka sudah
mengepakkan sayap hingga ke tiga dusun sekitarnya. Selain dari Sukaluyu juga
ada di Taman Sari dan Sukajadi. Sementara total adik-adik di TBM berjumlah 160
anak dan relawan sebanyak 12 orang.
Untuk relawana, masyarakat
asli di sana disematkan sebagai wali baca. Wali dari Pak Syarifudin Yunus yang
kini tengah dalam kesibukan mengajar sebagai dosen di salah satu universitas
Jakarta dan sedang menyelesaikan disertasi S3 di Universitas Pakuan Bogor. Dan
wali baca, bertindak sebagai perwakilan dan penanggungjawab pengelolaan TBM.
Menjelang sore tanpa terasa
kopi yang saya minum habis tandas. Semetara kami menyudahi obrolan, saya izin
pamit menunaikan salat. Susi pun pamit untuk menyiapkan keperluan agenda taman
baca yang dilangsungkan di Kebun Baca tempat kami telah berbincang hangat
beragam hal mengenai literasi dan taman baca.
***
Kunjungan Melahirkan
Pengalaman, Pengetahuan, Pelajaran dan Kenangan
Hal yang membuat hati saya bergidik
dan takjub. Ketika menyaksikan seorang difabel bernama Tasya (17), salah satu
adik TBM Lentera Pustaka yang didiagnosa Hidrosefalus. Ke TBM, ia datang
bersama Ibunya. Tutur Susi, Tasya adalah adik yang rajin. Ia selalu hadir
paling awal dan sangat senang bersosialisasi dengan temannya. Sebab di sini,
TBM adalah ruang persatuan bukan pertikaian.
Salah satu adik Lentera Pustaka sedang membaca. |
Sehabis Asar saya
kembali. Kebun Baca saya dapati telah sesak oleh adik-adik TBM Lentera Pustaka.
Namun kala itu agaknya cuaca sedang murung. Langit gelap pekat dan angin
kencang. Alhasil kegiatan tidak berjalan lama. Adik-adik memilih menyudahi dan
pamit pulang lantaran akan hujan deras.
Sementara kegiatan usai,
saya, Susi dan Dila beranjak ke dalam rumah baca untuk berteduh karena sejak itu
rintik hujan mulai membasahi Bogor Kota Hujan itu. Tapi kali ini saya bukan di
kota melainkan di kabupaten. Jelang senja intensitas hujan makin bertambah.
Padahal jam masih berada di pukul setengah lima.
Saat itu Dila melihat adanya
air mengucur tidak deras tapi cukup mengkhawatirkan di pojok rumah dekat teras
yang menjadi lokasi pembangunan rooftop. Kami merespon, lalu Susi lekas
mengambil ember dan keset kaki kain untuk membendung air. Namun saat saya
lihat, agaknya air tersebut tidak akan mampu dibendung secara tuntas.
Kemudian alat serok
dikeluarkan untuk menghalau air agar tidak membanjiri rumah baca. Kami semua
bekerja sama satu sama lain. Berbagai ide dikerahkan. Ember hanya mampu
menampung rintikan di satu titik. Keset kain hanya mampu menyerap segelintir
air. Dan dari celah dinding rembesan air tak mau kalah dan angkuh mengalir
diam-diam dengan volume yang cukup banyak.
Tapi lama-kelamaan ketika
hujan mulai reda, barulah sedikit lega lantaran kami dapat beristirahat setelah
sebelumnya terus berjaga menghalau air agar tidak menggenangi rumah. Sempat
terlintas, bagaimana jika tidak ada yang tahu kalau airnya sebegitu banyak
ketika hujan atau tidak segera ditangani?!
Di ruang belakang bagian komputer
berada yang difungsikan sebagai penunjang literasi digital, kami kembali
berbincang sambil menunggu seorang Kawan menjemput, Bang Edwin. Ia terkahir
saya kabari sudah dekat dari lokasi. Selang menit setelah kembali menghalau air
menggunakan alat serok dan telah kenyang menandaskan mie rebus suguhan Susi,
Bang Edwin tiba.
Usai magrib, saya dan
Bang Edwin izin pamit pulang. Di akhir, saya dihadiahkan cenderamata berupa
buku karya antologi Pak Syarifudin Yunus bersama mahasiswa/i-nya mengenai
liputan investigasi jurnalistik “Jakarta Di Atas Kertas.”
Ruang literasi digital di dalam rumah baca. |
Komentar
Posting Komentar