JANGKAU SUDUT NAGARI MEMOLES HATI

 #Bagian 2

        Segala peristiwa yang dirasakan hati, dan disaksi langsung oleh mata kepala pasti akan selalu teringat meskipun menyisakan segumpal cerita masa lampau yang telah berlalu. Memori kenang-kenang pun tak akan pernah terformat sebab ia sudah melekat bagai lem perekat yang amat kuat.

(@tamanbacarimba)
Memangnya ada apa gerangan hingga segala ingat hadir tiba-tiba disetiap potret kejadian yang serupa? Agaknya saya pun tak mengerti entah apa perhubungan ingat dengan jiwa yang bermukim pada hati. Entah ada semacam kelaziman bagi si perindu atau sengatan keras yang menghantar dari proton ke elektron. Atau malah sebab hati ini tengah memendam haru ketika menyaksikan simpul senyum mekar dari bilik rimba raya pelosok desa.

Apalah kita, bermukim di lingkungan serba ada dan ketercukupan kalau apa-apa tersedia. Begitu nista rasanya ketika tak membagi tawa, senyum dan ceria kepada adik-adik yang menguras keringat dan melepas masa kanak-kanak oleh tanggung jawab dan segala macam tuntutan orangtua.

Di pelosok desa mereka punya kerbau. Mereka punya ladang berisikan macam-macam buah segar yang dinikimati oleh orang-orang kota. Padahal jika egois, mereka bisa saja menahan dan membangun lumbung ketahanan pangan bagi kesejahteraan masyarakat, tetapi mereka tidak. Mereka masih punya rasa waras untuk menanggung nasib jutaan orang yang berselimut teknologi dan masih masuk akal untuk menjual secara wajar bagi kita yang menikmati.

Mereka punya sungai air jernih nan mengalir deras meski kemarau tiba. Wajar saja. Hutan mereka masih asri sepanjang pemangku bumi dari kalangan datuk penghulu adat menetapkan hukum ketegasan agar penebang liar tak menggores luka tebangan pada tiap pohon penopang nafas kehidupan. Jikalau manusia sudah kelewat batas. Mereka kanak-kanak bisa apa kalau tidak menanggung beban moral dan harus rela menelan kepahitan akibat moyang mereka yang keterlaluan.

***

        Di masa perdana ‘Jangkau Sudut Nagari’ yang medan tempuhnya kala itu masih dalam tanya dan rupa jalan yang masih diterka. Serta jangkauan jarak yang terbilang cukup lumayan (bukan mengeluhkan), amat begitu menguras mental, waktu dan tenaga sebab mesti menempuh seorang diri dari rumah bertempat tinggal.

Ketika saya sampai, segalanya memang terbayar. Sebab apa yang telah saya tunaikan memang inilah kemauan. Bukan melalui paksaan atau iming-iming materil. Jika dua ini saya utamakan, tentu sepanjang jalan saya akan menggerutu tak menentu. Menyesalkan kepada apa yang telah dimulai, namun saya tidak sama sekali seperti itu. Saya menikmati dan mengalir mengikuti alur. Bahkan dengan pengalaman ini, sampai hati saya mengenal Bang Ipul, seorang mahasiswa lulusan UIN Imam Bonjol, Padang. Awal berkenalan saya menaruh rasa sungkan lantaran perbedaan jarak usia. Tetapi makin ke sini dan melewati obrolan apa adanya, tidak ada lagi sekat diantara kami. Malah dengan sejumlah cerita yang diutarakan menambah pengalaman bagi saya yang telah mendengar sejumlah kisah dari pilu hingga bahagia.

Dengan perdana ini pula saya pun mengenal baik Kak Novela, pemudi Banai lulusan Kampus STKIP Adzkia, Padang, prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) yang memiliki cita-cita mulia. Ungkap ia kepada Ayahnya, “Vela selepas lulus kuliah S1 nanti akan menyambung S2 atau tidak mendirikan taman baca atau rumah tahfidz.” Seketika kisah yang tiada disangka itu menghantam saya sebagai pendengar, mengoyak-ngoyak jiwa dan menampar diri agar lekas sadar untuk turut pula memegang erat cita-cita mulia yang telah diimpikan. Bagi saya pengalaman itu mengalir bagai air teko yang dituangkan ke dalam gelas kosong. Dan saya adalah gelas kosong yang sedang dituangkan air pengalaman.

Selain itu, ada Kak Siti Rahma pemudi Bima yang memiliki segudang pengalaman malangmelintang. Sejak 2011 berkehidupan di tanah Celebes, Makassar. Hingga ia terdampar di bumi Minangkabau (2019-2021). Sejumlah kisah yang diceritakan begitu menarik bagi saya dan mungkin untuk sekalian pembaca. Bagaimana tidak, ketika kesetaraan gender digembar-gemborkan. Justru representasi sosok Kak Siti Rahma adalah bentuk kesetaraan gender yang tak terjamah. Ia adalah wanita yang meniti karir dan tipe penjelajah yang tak khawatir kemana saja. Bahkan sejumlah organisasi yang tak terhitung pun telah ia lakoni hingga pada kesempatan waktu lalu hingga kini, beliau terpilih menjadi tenaga kesehatan di Nusantara Sehat dari program Kemenkes, Indonesia.

Di lain sisi, ada pengalaman yang lebih mengena. Adalah sekumpulan anak-anak desa yang tinggal jauh terpelosok dari kemewahan kota. Anak-anak yang menjadikan alam sebagai tempat wahana bermainnya. Yang memanfaatkan waktu bukan untuk berseloroh dengan anteng bermain game online dan menangis meminta sesuatu diluar nalar orang dewasa. Tetapi lantas menikmati kekayaan dan sepotong tanah surga dari balik rimba raya Dharmasraya.

Senyum mereka yang bersinar walau tak seperti matahari dalam keadaan sebenarnya. Seperti kemurnian air sungai yang mengaliri desa-desa mereka, dan membawa sejumlah sumber kebaikan untuk mengairi sawah-sawah dan merawat ikan sekalian penghuni.

***

        Saya amat bersyukur masih bisa merasakan keadaan di mana kanak-kanak tumbuh dan berkembang dengan pembangunan karakter semestinya. Karakter yang dibangun dengan paduan antara bermain dan belajar. Di samping bermain yang biasanya hanya menyita waktu dan memuaskan segenap hasrat keinginan, juga belajar dengan pupukan sejumput ilmu pengetahuan.

(Saya, adik-adik TBR dan seorang ayah)
Tak tertuangkan dan tertuliskan sebenarnya. Namun bagaimana pun, segala rasa yang tengah berkecamuk ada baiknya dituangkan meskipun tidak mewakili seluruh daripada apa yang tengah bermukim dalam akal pikiran. Semua campur aduk dan mungkin hanya dapat tergambar oleh senyum. Senyum penuh makna yang tak tertafsirkan. Senyum yang merona dan mekar begitu lama. Senyum yang terus terpancar dari wajah-wajah para pemuda-pemudi negeri yang mendedikasikan diri bukan untuk kepentingan pribadi.

Jika segelintir kepentingan yang akan dicari, sebegitu murahkan harga diri yang digadai di atas jalan panjang perjuangan?

Lika-liku padahal sudah pula dilalui oleh pengeluaran materi dan waktu yang tak terbeli, tak terbayar, bahkan tak tertakar dengan timbangan kekuasaan karena hingga kini kita masih memegang rasa syukur. Dengan syukur, segala sesuatu sudah cukup mewakili atas segenap unsur. Lagi pula syukur itu menyehatkan raga dan jiwa, secara jasmani dan rohani, baik lahir maupun batin. Syukur inilah musabab pemiliki semesta mempertemukan saya dalam pusaran lingkar kebaikan. Dipertemukan dalam arti, bukan sebab tak sengaja namun sengaja yang tak diduga. Sengaja dalam konteks spiritual bahwa Tuhan sejak ratusan tahun silam, sebelum manusia diciptakan sudah dituliskan-Nya dalam catatan Lauhul Mafduzh di langit Sidratul Muntaha.

Betapa hikmah telah dibuka oleh penguasa jagat raya. Tinggal kita membaca dengan bahasa yang tersirat. Betapa perjalanan tak akan menjadi sia-sia selagi niat lurus karena-Nya, tulus karena-Nya, dan teguh jiwa bersandar oleh-Nya.

Dengan ini ‘Jangkau Sudut Nagari’ dari kelas alam Taman Baca Rimba secara aklamasi saya nyatakan telah memoles lembut hati. Bukan dengan sapuan buatan tangan manusia, tetapi sentuhan alami yang tak direncanakan oleh beribu kepandaian ciptaan pencipta.

Komentar