Desa Sade; Pola Tradisional Masa Lalu

#Bagian 8 (Desa Selong, Lombok Tengah – Dusun Sade, Lombok Tengah).

            Saya kembali menghirup udara sejuk lintasan jalan Desa Selong melewati kelok jalan desa-desa tepian pantai hingga perbukitan. Seperti yang saya ceritakan pada tulisan sebelumnya, betapa perbukitan dan ilalang belukar nan kecoklatan menyita mata memandang. Nusa Tenggara memang begitu. Ketika musim kemarau tiba, semua panorama alam terlihat akan berubah menjadi eksotis coklat nan memikat. Jadi tak salah jika sahabat mempunyai rencana berkunjung ke sini. Selain indah, juga ramah.

“Walau saya menaiki motor supra, kenikmatannya hampir sama dengan naik ninja. Tapi, ini asumsi saya saja. Pelak rasanya ketika hal semacam ini jua di aamiini sekalian handai tolan.”

Sekitar 1 jam antara lebih dan kurang, saya sampai di Dusun Sade. Sedikit cerita, “Pertama kali melintas dari arah Bandara menuju pantai Kuta Mandalika, saya tidak menemukan di mana lokasi Dusun Sade. Padahal, sepanjang jalan saya sudah mengamati dengan seksama. Namun tak dapat gambaran jelas selain kerumunan asing yang dilihat. Barulah setelah saya kembali menghubungi Bang Rendi Backpacker Lombok, dan mengecek di maps juga google. Akhirnya saya mendapatkan lokasi sebenarnya, dan sampailah di Dusun Sade dengan selamat.

Plang penunjuk keberadaan Desa Sade.

Dusun Sade nan Tradisional

            Dusun Sade berada di Rembitan, Pujut, Lombok Tengah. Dusun ini terbilang sebagai kawasan yang masih mempertahankan kemurnian adat dan tradisi. Jika hendak ke sini, letak Dusun Sade  tak jauh dari Bandara Internasional Lombok (20 menit jika naik kendaraan umum maupun pribadi), dan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus). Dusun ini sekaligus menjadi tempat yang masih terdapat banyak orang suku asli sasaknya. Ini semua ditandai dan dilihat dari pola bangunan, pakaian, serta adat tradisi yang masih dijalankan sehari-hari.

Saya juga melihat pakaian ala pemuda desa maupun masyakarat lokal kawasan Dusun Sade yang berpakaian tradisional; capu atau songkok kepala, memakai celebet atau kain yang melilit pinggang, dan baju adat sasak yang bernama lambung (perempuan) dan pegon (laki-laki).

Sade sendiri memiliki pengertian nama yang diambil dari serapan bahasa jawa kuno, yaitu husada yang berarti obat atau kesadaran. Dalam bahasa jawa kuno, Sade ini disebut husada, begitupun dalam bahasa sasak; husada menjadi Sade. Maka, Dusun Sade ini bisa dikatakan sebagai Dusun obat atau kesadaran. Ini ialah kilas pemaknaan dalam arti nama Sade yang tersemat.

Untuk memasuki kawasan Dusun Sade, kita cukup membayar seikhlasnya (sewajarnya) saja, sebagai kontribusi pembangunan dan pemberdayaan pemandu lokal maupun pengelolan prasarana. Hal ini sudah tertera di tulisan yang terpampang. Saya juga mendapati spanduk bertuliskan segenap peraturan terbentang di gerbang sebelah kanan. Point-pointnya tentu tentang sikap pendatang, dan tata krama dalam berkunjung. Kemudian setelah memahami, saya mengisi daftar kunjungan yang sudah disediakan.

Sewaktu saya berkunjung, adzan ashar berkumandang merdu dari salah satu rumah ibadah yang terdapat dalam kawasan Dusun Sade. Kebetulan sekali ketika itu, sehingga saya dapat menunaikan di salah satu musholla (masjid) kampung Sade nan tradisional. Lalu saya sekalian saja menanyakan posisi musholla, untuk kemudian di arahkan menuju lokasi di temani oleh Pak Dase (guide local).

Posisi mushollanya tak jauh dari gerbang utama, kira-kira sekitar 10 meter melewati tangga sebelah kiri. Pas sampai di musholla, saya melihat sisi-sisinya kental dengan nuansa tradisional. Tonggaknya terbuat dari kayu yang dipernis sehingga menonjolkan kesan bersih dan mengkilap. Atapnya terbuat dari alang-alang yang disulam sedemikan rupa, sehingga dapat melindungi bangunan dari panas dan hujan. Diperkirakan, bahwa atap alang-alang ini dapat bertahan hingga 10 tahun ke depan, tergantung dari tingkat kerapatan serta kekuatan pemasangan. Untuk tahap pengerjaannya, di Dusun Sade memakai sistem gotong royong sehari jadi.

Kemudian, pada bagian lantai mushollanya sudah berbahan dasar keramik, sebab menyesuaikan perkembangan zaman. Namun, pada sisi dinding masih berupa anyaman bambu dengan hiasan lampu gantung yang menonjolkan aura desa nan tetap kental dengan nilai historis. Lalu saya masuk ke dalam, dan mendapati para anak kecil serta satu orang guru ngaji tengah siap-siap menunaikan sholat ashar berjamaah.

Bagian teras belakang Masjid Nur Syahadah.

***

Pintu masuk Masjid khusus Ikhwan.

    Di depan pintu musholla yang bertuliskan kaligrafi “Bismillahirrahmanirrahim”, Pak Dase menceritakan sejarah masuknya Islam ke Dusun Sade. Tetapi, beliau hanya menceritakan proses saja tanpa penjelasan tahun masuknya Islam. Begini ucap beliau, “Dusun Sade sudah ada sejak tahun 1070 M (tahun adanya Dusun Sade) yang awal kepercayaan nenek moyangnya masih menganut Animisne. Tak lama, masuklah Islam yang bersamaan dengan pengislaman wilayah Lombok oleh Sunan Prapen dan Patih Mataram Arya Kertasura. (Saya menghubungkan ini, sebab, setelah Islamnya Prabu Rangkesari, Islam menyebar seantero Pulau Lombok).” Catatan tertera tidak lepasnya dari kerajaan Pejangik, di Praya kabupaten Lombok Tengah.

“Pada masa awal-awal Islam di Dusun Sade khususnya, masyarakat masih merasa asing dengan ritus Islam yang ada. Maka, penegakan sholat saat itu hanya seorang Kyai saja yang menganggap, bahwa Kyai tersebut telah mewakilkan sholatnya masyarakat. Sedangkan penegakan sholat di luar dari Sade; sudah sholat dengan sistem wektu telu (tiga waktu sholat), yaitu pagi, siang, dan malam. Kemudian, Tiga Wektu Telu ini berkaitan dengan adanya tangga Bale Tani yang berjumlah tiga, dan berfilosofi; dilahirkan, berkembang, dan meninggal.”

Dapat pula dilihat dari bagian atap bangunan yang berjejer tiga, sebagai bentuk penghormatan dan bentuk menghargai atas keberadaan nenek moyang terdahulu yang telah membangun Dusun Sade ini. Gaya dan modelnya-pun masih berdiri hingga kini. Bahkan, tetap eksis hingga sekarang, sebagai bukti sejarah dan nilai berharga yang harus dilestarikan generasi yang kian berganti. Jika berkunjung nanti, sahabat akan melihat jejeran-jejeran atap nan unik ini.

Adapun nama-nama bangunan Dusun Sade beserta fungsinya masing-masing. Diantaranya ialah, Bale Tani, Bale Kodong, Bale Bonter, Berugak, serta lumbung padi yang menjadi ikon unik saat berkunjung kesini. Untuk Bale Tani, berfungsi sebagai rumah keluarga yang biasanya diisi oleh beberapa kepala keluarga. Bale Kodong, berfungsi sebagai tempat tinggal pasangan yang baru menikah atau orang yang sudah lanjut usia. Bale Bonter, berfungsi sebagai tempat pertemuan adat yang diisi bagi pejabat desa. Berugak, berfungsi sebagai tempat bersantai atau berdiskusi. Lalu, lumbung berfungsi menyimpan padi yang menyimpan keunikan bangunan tanpa satupun paku menempel. Ada kayu berbentuk segi empat menjadi penopang bangunan di kolong lumbung, fungsinya agar tikus tidak dapat memasuki lumbung.

Lumbung padi Desa Sade.

***

        Pak Dase juga menceritakan keunikan pernikahan adat Dusun Sade yang masih menjaga nilai kearifan budaya. Sistemnya ialah kawin lari atau kawin culik. Jadi, bagi pemuda yang hendak menikah dengan salah satu perempuan desa, mesti menculik tanpa sepengetahuan orangtua pihak perempuan. Jika orangtua perempuan tidak menemukan keberadaan anaknya, maka pemuda akan menghadap mengutarakan keinginannya menikahi putri daripada orangtua tersebut.

Jikapun perempuan ini tidak mau menikah dengan pemuda yang menculik, maka perempuan ini akan kembali ke rumah pada malam itu juga saat ia diculik. Dan keesokannya, pemuda ini akan mendeda atas peristiwa yang terjadi. Uniknya lagi, pernikahan di sini masih dalam lingkaran keluarga, yaitu antara satu dengan yang lain saling sepupuan.

Hingga kini, sebagian masyarakat Sade masih memilih sistem menikah seperti ini (kawin lari dan kawin culik), dan memilih calon pasangan satu desa, sebab harga mahar yang terbilang murah. Sedangkan, jika menikah dengan wanita diluar lingkup Dusun Sade, pemuda akan diminta agar menyiapkan satu atau dua ekor sapi yang harganya bikin geleng-geleng kepala.

Namun, adat yang mengikat ini tidak sepenuhnya diberlakukan. Saat ini hukum adat sudah melonggarkan, dan memberi keringanan bagi siapa saja pemuda yang bersedia menikah dengan wanita diluar dari Dusun Sade. Tetapi kembali lagi daripada kesanggupan masing-masing pemuda. Bahkan, Pak Dase sendiri memilih menikah dengan sepupunya pada saat ia masih muda.

Dari pernikahan ini tentu ada sisi unsur yang dipertahankan bagi kearifan desa. Tetapi kita dapat mengambil suatu kesimpulan. Bahwa, lelaki tetaplah menjadi imam yang mesti memimpin dengan baik. Mempersiapkan kesiapan dengan matang, dan tidak terburu-buru atau tergesa-gesa. Tanggung jawab tetaplah tanggung jawab, yang tidak bisa diselewengkan seenaknya tanpa peduli dengan tanggungan pilihan.

-Bersambung-


Komentar

  1. Keren ditunggu cerita selanjutnya

    BalasHapus
  2. Keren! Memanfaatkan waktu untuk hal yang positif. Meski begitu, tetap hati-hati sebab masih musim pandemi. Kalau berkenan, main-main ke Tangerang, Ja. Ditunggu!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sodara. Kehati-hatian tentu menjadi prioritas utama, apalagi masa pandemi ini, hehe. Dan,jika ada kesempatan, mudah-mudahan bisa main ke Tanggerang.

      Hapus

Posting Komentar