Proses Menuju Kulminasi Dari Sebuah Harapan: Tri Martha 2982 MDPL

                 Satu etape lagi langkah kami menggapai puncak. Terlebih dahulu memasuki Padang Sirinjano, Telaga Puti Sangka Bulan; telaga terbesar yang diketahui untuk kemudian menuju camp Rajawali, lalu puncak Tri Martha 2982 mdpl yang belakangan waktu saya ketahui adalah nama Bupati Pasaman kala itu.

Masih dalam jalur pendakian Talamau.
            Mengenai literatur jelasnya, saya tidak mendapatkan banyak informasi dan tidak banyak mengetahui mengenai Tri Martha merupakan Bupati Pasaman. Sejauh pencarian yang saya lihat di situs web, deretan nama Bupati Pasaman sejak tahun 1946 – sekarang yang memiliki “Martha,” yakni Taufik Martha yang menjabat sedari 1990-2000.

            Pagi-pagi yang tidak kepagian. Tepat pukul delapan kami memulai pendakian. Perlu diketahui, semalam sebelum tidur saya, Wawan, Bang Fidyan dan Bang Miji sudah bersepakat akan menuju puncak seusai subuh dengan niat hendak menyaksikan sunrise di puncak sana. Tetapi kiranya keesokan hari rencana hanya tinggal wacana.

            Perbekalan yang dibawa menuju summit tidaklah banyak. Satu tas keril untuk menyimpan peralatan pribadi yang dibutuhkan sewaktu-waktu dan tiga tas daypack. Tak lupa juga tersedia kompor, gas dan nesting yang termasuk di dalamnya asupan makan dan minuman untuk dinikmati setiba di puncak. Dan pada hari itu pendakian puncak kami dilakukan tepat hari Jumat.

            Meskipun semalam posisi tenda kami miring dan setiap saat tertidur pasti meluncur. Agaknya bersyukur kondisi tubuh saya masih sedikit bugar, entah yang lain. Saat itu saya pun tidak berbasa-basi selain menceritakan keseruan malam penuh fantasi. Bang Fidyan pula bercerita. Ia mendengar sebuah suara yang ternyata adalah tikus gunung yang sedang mencari sisa makanan.

            Setelah menembus belukar kerdil, jalanan yang tidak begitu terjal memberi jeda untuk tubuh beradaptasi dengan udara di ketinggian. Kontur cenderung bertanah cadas hingga memasuki jalanan landai menyusuri Padang Sirinjano. Sebelum memulai pendakian kemarin, Bang Andri berpesan, “jika memasuki Padang Sirinjano ucapkan salam.” Maka masing kami ucapkan salam. Ada yang dalam hati dan bersuara lirih.

            Di sini kami dimanjakan oleh kelandaian. Namun mesti hati-hati karena tanahnya lembab dan lunak. Juga termasuk jalur yang membentuk sabana dengan rumput tinggi membuat kami seakan memasuki labirin waktu. Di depan, lalu kami diperjumpakan oleh Telaga Biru dan Telaga kering yang entah apa penyebabnya. Jika melihat kondisi cuaca, memang sepanjang kemarin tidak ada hujan. Namun mengapa bisa secepat ini?

            Kami meneruskan langkah kaki hingga tibalah dihadapan keindahan “dewi,” Telaga Puti Sangka Bulan yang hening dan bening. Tanah basah yang memagari di tepi-tepi menjadi kerelaan ketika sepatu yang terlanjur basah terendam air telaga. Di sini kami berhenti agak lama, menikmati dalam-dalam suasana dan memotret setiap jengkal pada sisi-sisi guratan semesta. Termasuk mengabadikan momen langsung oleh mata lensa.

            Membentengi telaga, puncak Tri Martha yang akan kami jajaki berdiri gagah seolah keabadian dan paku bumi paling tangguh. Ia yang selaku sebagai penopang dan kestabilan menarik rasa penasaran kami. Penasaran yang membawa pada kerendahan hati dan kontemplasi akan segenap kebesaran. Bukan peng-aku-an diri pada segelintir khalayak yang menyaksikan.

            Dari sana kami meneruskan. Menyusuri tepian telaga memasuki camp Rajawali.

Temuan di jalur tumbuhnya Kantong Semar bukti masih asrinya Talamau.

***

            Jika saja kami jadi bermalam di Rajawali, tak terbayang dinginnya jauh berlipat dari yang kami rasakan saat bermalam di pos bayangan Paninjauan. Di sana pun camp amat dekat dengan Telaga Puti Sangka Bulan. Rembesan air sudah jelas akan melembabkan tenda dan suasana sepi menambah laku yang bergidik ngilu. Namun jelas, di sana puncak jauh lebih dekat.

Telaga Puti Sangka Bulan nampak menawan.

            Dari Rajawali kami kembali memasuki belukar. Selepas dari itu jalur terjal kembali menyapa. Kali ini kontur sudah didominasi oleh bebatuan kering petanda puncak sudah dekat sekaligus khas dari sebuah puncak gunung kebanyakan di Indonesia. Tali-tali masih bergelantung dan sangat membantu sekali.

            Menengok ke belakang, beberapa telaga sudah mulai bermunculan. Sementara matahari sudah meninggi dan sunrise yang diharapkan pupus hilang. Sejenak istirahat tercenung sunrise yang sudah terlewatkan ternyata tak kalah indah dengan samudera awan yang tipis mengaburkan pandangan ke arah laut Pasaman. Bang Fidyan yang masih jauh di bawah amat kecil membuktikan betapa ringkihnya kami.

            Di depan tak jauh lagi menuju puncak, terlihat kubah kecil mirip atap masjid yang digantung di tiang bendera menandakan itulah puncak Talamau yang 2982 mdpl itu. Puncak Tri Martha yang kerap disambangi para pecinta, khususnya alam yang melegitimasikan dirinya sebagai perawat dan penikmat. Nampak elok dengan adanya di sisi samping semacam alat penangkal petir yang dikeliliingi jalinan kawat.

            Dan kami ke puncak bersama. Menapaki penuh rasa syukur, perasaan bercampur dan merasa istimewa lantaran hanya kami berempat saja di sana. Kami tanpa hambatan bebas mengekspresikan diri tanpa adanya sudut pandang asing yang menghakimi. Tak henti rapalan doa dan teriakan gembira terus menggema. Termasuk menggaungkan kebesaran Tuhan di atas ciptaan-Nya.

***

            Segala apapun yang kami rasa penting dikeluarkan. Alat masak pembuat kopi, bendera Palestina dan Indonesia yang sedari bawah kami bawa, termasuk kamera yang sengaja diirit batrainya agar terpuaskan oleh potretan penuh estetika.

            Silih berganti kami berfoto menggunakan properti yang ada. Mulai dari memunggungi panorama alam yang maha megah dengan samudera awan, lautan pasaman, kehijauaan pekat dan telaga-telaga yang menghiasi segenap hamparan Talamau.

Meski salah satu dari ke-13 telaga tersebut tengah kering. Setidaknya keindahan tetap ada dengan berhasilnya kami menyaksikan dari atas sana sebanyak sembilan telaga. Dan untuk ke-13 tersebut dapat dipaparkan nama-namanya; Telaga Biru, Telaga Buluah Parindu, Telaga Cindua Mato, Telaga Imbang Langik, Telaga Lumuik, Telaga Mandeh Rubiah, Telaga Puti Bungsu, Telaga Puti Sangka Bulan, Telaga Rajo Dewa, Telaga Satwa, Telaga Siuntuang Sudah, Telaga Tapian Puti Mambang Surau, dan Telaga Tapian Sutan Bagindo.

            Dalam pada itu, tak ketinggalan saya membacakan sebuah puisi yang saya tulis sewaktu camp di Bumi Sarasah. Berlatar alam raya, puisi dengan untaian bait yang terbilang spontan dituliskan sebab belum masuk ke dapur racikan yang matang, menjadi syahdu dengan dukungan alam. Di tambah semilir angin dan khidmat membawakan.

Berdiri di Pucak Tri Martha 2892 mdpl.

            Terpenting saat itu ialah sebuah karya persembahan berhasil saya selesaikan menjelang muncak. Untuk kemudian bukan hanya diabadikan dalam catatan saja melainkan pun cuplikan visual yang diperbantukan oleh Bang Fidyan. Sementara terik terus membakar, kopi yang sudah sedia tandas diseruput. Nasi yang tersedia akhirnya toh dinikmati di tenda ketika tiba-tiba kami tidak bernafsu makan makanan berat.

            Hari itu yang Jumat menjelang siang kami tutup dengan foto bersama. Sejenak hening, kami sibuk dalam kesendirian masing-masing. Melepas rindu dan kenang kami pamit dengan puncak Tri Martha 2982 mdpl. Puncak Talamau menjadi pembelajaran betapa proses menuju kulminasi dari sebuah harapan membutuhkan proses panjang dan perjuangan. Betapa lelah yang terbayarkan seakan lunas ketika di atas dan kembali tertagih untuk menuntaskan kepulangan.

            Ke bawah kami hanya mengulang langkah dan mengeja asa. Mencari titik di saat kekeliruan menjadi pembelajaran. Kali ini, atap Sumatera Barat telah tuntas secara lahir dan batin. Tidak dengan kenangan yang tak pernah tuntas hingga akhir. Bahkan hingga kami semua berpencar menjemput impian dan tanggung jawab masing-masing. Kenangan itu tetap ada dan terus hidup.

            Sekembali nanti saya akan kembali ke Jogja menyelesaikan kesarjanaan S1. Bang Miji sudah mengambil ancang-ancang merantau ke tanah bumbu Kalimantan. Bang Fidyan bisa jadi akan kembali mengajar atau menuju Batam atau ke tanah Jawa. Wawan untuk waktu ini agaknya akan tetap menetap di kampung halaman.

                Selesai dan terima kasih kepada sekalian Kawan. Tabik!

Komentar