Satu etape lagi langkah kami menggapai puncak. Terlebih dahulu memasuki Padang Sirinjano, Telaga Puti Sangka Bulan; telaga terbesar yang diketahui untuk kemudian menuju camp Rajawali, lalu puncak Tri Martha 2982 mdpl yang belakangan waktu saya ketahui adalah nama Bupati Pasaman kala itu.
Masih dalam jalur pendakian Talamau. |
Pagi-pagi yang tidak kepagian. Tepat pukul delapan kami
memulai pendakian. Perlu diketahui, semalam sebelum tidur saya, Wawan, Bang
Fidyan dan Bang Miji sudah bersepakat akan menuju puncak seusai subuh dengan
niat hendak menyaksikan sunrise di puncak sana. Tetapi kiranya keesokan
hari rencana hanya tinggal wacana.
Perbekalan yang dibawa menuju summit tidaklah
banyak. Satu tas keril untuk menyimpan peralatan pribadi yang dibutuhkan
sewaktu-waktu dan tiga tas daypack. Tak lupa juga tersedia kompor, gas
dan nesting yang termasuk di dalamnya asupan makan dan minuman untuk dinikmati
setiba di puncak. Dan pada hari itu pendakian puncak kami dilakukan tepat hari
Jumat.
Meskipun semalam posisi tenda kami miring dan setiap saat
tertidur pasti meluncur. Agaknya bersyukur kondisi tubuh saya masih sedikit
bugar, entah yang lain. Saat itu saya pun tidak berbasa-basi selain
menceritakan keseruan malam penuh fantasi. Bang Fidyan pula bercerita. Ia
mendengar sebuah suara yang ternyata adalah tikus gunung yang sedang mencari
sisa makanan.
Setelah menembus belukar kerdil, jalanan yang tidak
begitu terjal memberi jeda untuk tubuh beradaptasi dengan udara di ketinggian.
Kontur cenderung bertanah cadas hingga memasuki jalanan landai menyusuri Padang
Sirinjano. Sebelum memulai pendakian kemarin, Bang Andri berpesan, “jika
memasuki Padang Sirinjano ucapkan salam.” Maka masing kami ucapkan salam. Ada
yang dalam hati dan bersuara lirih.
Di sini kami dimanjakan oleh kelandaian. Namun mesti
hati-hati karena tanahnya lembab dan lunak. Juga termasuk jalur yang membentuk
sabana dengan rumput tinggi membuat kami seakan memasuki labirin waktu. Di
depan, lalu kami diperjumpakan oleh Telaga Biru dan Telaga kering yang entah
apa penyebabnya. Jika melihat kondisi cuaca, memang sepanjang kemarin tidak ada
hujan. Namun mengapa bisa secepat ini?
Kami meneruskan langkah kaki hingga tibalah dihadapan
keindahan “dewi,” Telaga Puti Sangka Bulan yang hening dan bening. Tanah basah yang
memagari di tepi-tepi menjadi kerelaan ketika sepatu yang terlanjur basah
terendam air telaga. Di sini kami berhenti agak lama, menikmati dalam-dalam
suasana dan memotret setiap jengkal pada sisi-sisi guratan semesta. Termasuk
mengabadikan momen langsung oleh mata lensa.
Membentengi telaga, puncak Tri Martha yang akan kami
jajaki berdiri gagah seolah keabadian dan paku bumi paling tangguh. Ia yang selaku
sebagai penopang dan kestabilan menarik rasa penasaran kami. Penasaran yang
membawa pada kerendahan hati dan kontemplasi akan segenap kebesaran. Bukan
peng-aku-an diri pada segelintir khalayak yang menyaksikan.
Dari sana kami meneruskan. Menyusuri tepian telaga
memasuki camp Rajawali.
Temuan di jalur tumbuhnya Kantong Semar bukti masih asrinya Talamau. |
***
Jika saja kami jadi bermalam di Rajawali, tak terbayang dinginnya
jauh berlipat dari yang kami rasakan saat bermalam di pos bayangan Paninjauan.
Di sana pun camp amat dekat dengan Telaga Puti Sangka Bulan. Rembesan
air sudah jelas akan melembabkan tenda dan suasana sepi menambah laku yang
bergidik ngilu. Namun jelas, di sana puncak jauh lebih dekat.
Telaga Puti Sangka Bulan nampak menawan. |
Dari Rajawali kami kembali memasuki belukar. Selepas dari
itu jalur terjal kembali menyapa. Kali ini kontur sudah didominasi oleh
bebatuan kering petanda puncak sudah dekat sekaligus khas dari sebuah puncak
gunung kebanyakan di Indonesia. Tali-tali masih bergelantung dan sangat
membantu sekali.
Menengok ke belakang, beberapa telaga sudah mulai
bermunculan. Sementara matahari sudah meninggi dan sunrise yang
diharapkan pupus hilang. Sejenak istirahat tercenung sunrise yang sudah
terlewatkan ternyata tak kalah indah dengan samudera awan yang tipis
mengaburkan pandangan ke arah laut Pasaman. Bang Fidyan yang masih jauh di
bawah amat kecil membuktikan betapa ringkihnya kami.
Di depan tak jauh lagi menuju puncak, terlihat kubah
kecil mirip atap masjid yang digantung di tiang bendera menandakan itulah
puncak Talamau yang 2982 mdpl itu. Puncak Tri Martha yang kerap disambangi para
pecinta, khususnya alam yang melegitimasikan dirinya sebagai perawat dan
penikmat. Nampak elok dengan adanya di sisi samping semacam alat penangkal
petir yang dikeliliingi jalinan kawat.
Dan kami ke puncak bersama. Menapaki penuh rasa syukur,
perasaan bercampur dan merasa istimewa lantaran hanya kami berempat saja di
sana. Kami tanpa hambatan bebas mengekspresikan diri tanpa adanya sudut pandang
asing yang menghakimi. Tak henti rapalan doa dan teriakan gembira terus
menggema. Termasuk menggaungkan kebesaran Tuhan di atas ciptaan-Nya.
***
Segala apapun yang kami rasa penting dikeluarkan. Alat
masak pembuat kopi, bendera Palestina dan Indonesia yang sedari bawah kami
bawa, termasuk kamera yang sengaja diirit batrainya agar terpuaskan oleh
potretan penuh estetika.
Silih berganti kami berfoto menggunakan properti yang
ada. Mulai dari memunggungi panorama alam yang maha megah dengan samudera awan,
lautan pasaman, kehijauaan pekat dan telaga-telaga yang menghiasi segenap
hamparan Talamau.
Meski
salah satu dari ke-13 telaga tersebut tengah kering. Setidaknya keindahan tetap
ada dengan berhasilnya kami menyaksikan dari atas sana sebanyak sembilan
telaga. Dan untuk ke-13 tersebut dapat dipaparkan nama-namanya; Telaga Biru,
Telaga Buluah Parindu, Telaga Cindua Mato, Telaga Imbang Langik, Telaga Lumuik,
Telaga Mandeh Rubiah, Telaga Puti Bungsu, Telaga Puti Sangka Bulan, Telaga Rajo
Dewa, Telaga Satwa, Telaga Siuntuang Sudah, Telaga Tapian Puti Mambang Surau,
dan Telaga Tapian Sutan Bagindo.
Dalam pada itu, tak ketinggalan saya membacakan sebuah puisi
yang saya tulis sewaktu camp di Bumi Sarasah. Berlatar alam raya, puisi
dengan untaian bait yang terbilang spontan dituliskan sebab belum masuk ke
dapur racikan yang matang, menjadi syahdu dengan dukungan alam. Di tambah
semilir angin dan khidmat membawakan.
Berdiri di Pucak Tri Martha 2892 mdpl. |
Terpenting saat itu ialah sebuah karya persembahan berhasil
saya selesaikan menjelang muncak. Untuk kemudian bukan hanya diabadikan dalam
catatan saja melainkan pun cuplikan visual yang diperbantukan oleh Bang Fidyan.
Sementara terik terus membakar, kopi yang sudah sedia tandas diseruput. Nasi
yang tersedia akhirnya toh dinikmati di tenda ketika tiba-tiba kami tidak
bernafsu makan makanan berat.
Hari itu yang Jumat menjelang siang kami tutup dengan
foto bersama. Sejenak hening, kami sibuk dalam kesendirian masing-masing.
Melepas rindu dan kenang kami pamit dengan puncak Tri Martha 2982 mdpl. Puncak
Talamau menjadi pembelajaran betapa proses menuju kulminasi dari sebuah harapan
membutuhkan proses panjang dan perjuangan. Betapa lelah yang terbayarkan seakan
lunas ketika di atas dan kembali tertagih untuk menuntaskan kepulangan.
Ke bawah kami hanya mengulang langkah dan mengeja asa.
Mencari titik di saat kekeliruan menjadi pembelajaran. Kali ini, atap Sumatera
Barat telah tuntas secara lahir dan batin. Tidak dengan kenangan yang tak
pernah tuntas hingga akhir. Bahkan hingga kami semua berpencar menjemput impian
dan tanggung jawab masing-masing. Kenangan itu tetap ada dan terus hidup.
Sekembali nanti saya akan kembali ke Jogja menyelesaikan
kesarjanaan S1. Bang Miji sudah mengambil ancang-ancang merantau ke tanah bumbu
Kalimantan. Bang Fidyan bisa jadi akan kembali mengajar atau menuju Batam atau
ke tanah Jawa. Wawan untuk waktu ini agaknya akan tetap menetap di kampung
halaman.
Selesai dan terima kasih kepada sekalian Kawan. Tabik!
Komentar
Posting Komentar