Menuju Bayang-Bayang Pos Paninjauan


           Bumi Sarasah adalah bumi bagi flora dan fauna Talamau. Kala itu, Talamau terasa privilege karena nihilnya para pendaki selain kami. Pagi yang cerah, namun muram sesaat ketika mendapati lubang kecil yang membelalakkan mata saya, yakni adanya bekas penyusupan tikus gunung ke dalam tenda logistik.

            Saya lupa mengecek kembali tingkat keamanan kala memasukkan sebagian logistik ke dalam tenda. Seharusnya logistik mesti dipacking kembali ke dalam keril, namun saya kelupaan melakukannya. Naas, namanya tikus selalu saja datang meneror. Bang Miji pun terkejut karena tenda tersebut adalah milik ia yang sudah dipunyai sejak lama.

Tengah rehat di jalur menuju pos Paninjauan.

            Namun dari itu, kejadian di awal kami jadikan pelajaran perjalanan tentang bagaimana merelakan sesuatu yang sudah terjadi. Sehabis menjemur pakaian, tak lama Wawan terjaga yang disusul oleh Bang Fidyan dan Bang Miji. Sebelum memasak sarapan, kesepakatan yang hendak saya sampaikan urung diutarakan karena agaknya akan  mengganggu ketenangan pagi.

            Tepat pukul delapan semua benar-benar dalam keadaan bugar untuk beraktivitas. Kesibukan masing-masing mulai dikerjakan. Mulai merapikan perlengkapan tidur, menyiapkan minuman hangat, membersihkan alat masak hingga menuju ke mata air yang tak jauh dari areal camp guna mengambil air cadangan yang tentunya, semua dikerjakan atas kerja sama tim.

            Satu jam selang itu sarapan sudah bisa disantap. Sambil berjemur di dekat sebuah pohon depan tenda, masing kami mulai mengambil jatah makan. Kemudian saya memilih duduk makan di pohon yang tengah disiram cahaya surga dari langit bersama Bang Fidyan yang berkisah tentang perjalanan masa kuliahnya di Universitas Muhammadiyah Malang. Mulai saat ia masih menjadi mahasiswa baru, hingga akhir dan perkenalannya dengan para jurnalis Malang.

            Satu hal yang masih saya ingat ketika pernyataan terang-terangan beliau untuk tidak ingin bergaul dengan orang Minang di rantauan. Alasannya tentu hak dan kebebasan beliau karena hal ini berangkat dari pengalaman pahit Ayahnya. Jika pun saya ceritakan, rasanya akan menggantung dan menyebabkan tafsiran meluas. Lebih baik mengganti topik lain mengenai beliau.

            Mengenai skripsi, ia memilih untuk menelisik kebudayaan di Jawa Timuran. Tak main-main, butuh waktu yang cukup lama untuk meriset segala aspek yang ada. Singkatnya, ia terjun ke masyarakat untuk mendapatkan data yang bagi beliau adalah keseruan tersendiri karena bisa membaur dan menjelajah tentunya. Saat itu makan ditutup dengan pesan; “nanti kalau Raja kembali ke Jogja, membaurlah bersama Kawan-kawan jurnalis,” pungkasnya.

            Setelah makan kami kembali duduk bersama saling bercerita. Selang itu, Bang Fidyan dan Bang Miji ngaso, saya dan Wawan asyik mengabadikan momen. Jelang pukul sepuluh, Bang Fidyan dan Bang Miji turun ke mata air. Sebab dirasa waktu amatlah singkat, kami inisiatif untuk mengemas barang dan merapikan areal camp agar perjalanan ke pos selanjutnya, Paninjauan, tidak terlambat.

            Waktu yang tertera pada peta adalah empat jam. Namun jika mengikuti waktu yang tercatat pada peta, ucap Bang Miji, “bisa jadi waktu di situ adalah waktu perjalanan orang-orang yang mensurvei jalur tanpa membawa barang bawaan banyak atau tentara atau para ranger yang sudah menguasai medan dan kuat secara fisik.” Tetapi meski begitu, kami tetap optimis.

            Setelah semua barang bawaan termasuk tenda benar-benar sudah kembali dikemas rapi. Di Bumi Sarasah yang sejuk dan sangat menginspirasi karena saya telah menuliskan dua buah puisi sederhana yang nantinya akan saya bacakan ketika sampai di Puncak Tri Marta. Kami merapalkan doa untuk benar-benar siap melanjutkan perjalanan ke pos selanjutnya, Paninjauan.

***

            Matahari sudah meninggi. Tupai gunung dan burung jalak melepas kami tanpa kenal kata sedih. Waktu itu tepat tengah hari, kami berjalan dalam keadaan sediakala dengan asupan makanan yang cukup. Target sebagai visi dan misi yang jelas agar tak terombang-ambing oleh ketidakpastian menjadi kunci. Dan Paninjauan adalah target kami.

            Mengapa Paninjauan sebab di sana akan dijadikan sebagai areal camp terakhir sebelum memutuskan untuk menuju puncak pada keesokan pagi. Bersyukurnya sepanjang perjalanan cuaca sangat mendukung terutama tidak mendung sehingga membuat kami lega akan keadaan di atas gunung. Namun begitu, jas hujan sebagai bentuk kesiapsediaan tetap disiapkan sebab siapa yang bisa memprediksi ketakmungkinan yang akan terjadi.

            Gunung bagi kami adalah teka-teki sekaligus labirin inspriasi. Gunung dengan berjuta rahasia seolah membiarkan setiap manusia leluasa menjamah wilayahnya, namun ke-seolah-an itu pula yang mesti menjadi titik henti agar manusia tidak tamak menapaki jengkal alam raya. Apalagi hingga mengekploitasi secara serampangan dan meninggalkan sisa kemajuan dalam bentuk kemasan; sampah.

            Kami terus berjalan dengan langkah yang pasti. Lambat-perlahan tapi tetap menjaga ritme terutama pernapasan. Jarak dari Bumi Sarasah menuju pos Paninjauan tidak tersekat oleh pos lainnya. Artinya kami hanya butuh berjalan satu pos saja. Dalam perjalanan, sebuah kata dari Bang Fidyan mampu saya catatkan di sini, “santai saja, nikmati, nanti juga sampai kok.” Dan kalimat ini jelas ada alasannya. Jika ingin tahu mengapa sila mari coba mendaki gunung.

            Matahari sudah tak lagi bersinar terik. Jam tangan saya menunjukkan hampir mendekati pukul lima sore namun Paninjauan belum juga nampak. Pelan perlahan setelah pertanyaan demikian, tak lama kemudian kami tiba dan disuguhkan oleh realita yang tak sesuai ekspektasi. Saya kira Paninjauan pos ruang terbuka yang luas, namun kecil, hanya cukup diisi tenda isi dua atau tiga dan dikelilingi belukar yang cukup tinggi.

            Maka berdasarkan kesepakatan dan saran dari Bang Miji, Paninjauan hanya kami jadikan tempat merehat untuk salat. Sebab setengah jam dari sini melewati satu bukit lagi, di sana ada pos bayangan yang tak kalah indahnya. Maka hasil keputusan kami ialah mendirikan tenda di sana. Sementara itu, Bang Miji memilih untuk melanjutkan sendirian menuju pos bayangan. “Hendak mendirikan tenda,” pungkasnya.

            Dan gunung dengan segala keindahannya. Menyimpan kemewahan verbal, yakni menjadikan persaudaraan semakin kuat terutama melalui lisan-lisan kebijaksanaan yang memilih akan tugas demi kebermanfaatan bersama. Selang dari itu, kami pun menyusul. Pohon yang lebat sudah berubah agak kerdil. Kontur menuju bukit sudah dihiasi oleh bebatuan cadas kering, serta mata air yang kadung mengalir kecil.

            Setengah jam menurut Bang Miji, betul-betul setengah jam setelah saya hitung berdasarkan jam tangan. Setiba di pos bayangan, tenda-tenda sudah berdiri dengan flyseetnya dan hammock terlihat menggantung diapit dua pohon langsung menghadap panorama yang terbuka ke arah laut Pasaman. Bukit yang berbaris membayar kelelahan itu. Dan saya memilih istirahat sejenak di hammock sambil menunggu Wawan dan Bang Fidyan yang masih di belakang.

Senja hari di pos bayangan Paninjauan.

            Sayup-sayup angin dan senja yang merekah, membawa saya pada dunia di mana ketenangan yang amat dirindukan itu benar-benar ada. Dalam kesendirian, pelan-pelan saya melantunkan kumandang azan agar menambat hati pribadi pada ketentraman dan keselarasan.

***

            Sinar jingga memancarkan warna emasnya dengan siluet yang indah. Kami semua terpesona dan menatap penuh syukur sebab Tuhan Maha Tahu telah mengobati rasa lelah. Tak mau ketinggalan momen, Bang Fidyan langsung mengeluarkan gawai dan memotret Bang Miji yang sudah sedia bergaya di atas hammock. Setelah itu berganti saya dengan agak terburu karena berkejar waktu juga batrai gawai.

            Sebagaimana gunung dengan teka-teki dan kejutannya. Batrai gawai Bang Fidyan habis, senjakala yang merekah perlahan ditelan gelap malam kembali ke peraduan. Artinya, Wawan dan Bang Fidyan sebagai pemilik gawai tidak mendapatkan momentum. Lagi-lagi hal bijaksana itu kembali terdengar, “tak apa tidak mendapatkan momen, asal masih bisa menikmati secara langsung.” Walau menurut saya agaknya masih ada penyesalan.

            Tetapi meski adanya penyesalan tetap saja Bang Fidyan dan Wawan bersikap biasa saja. Dengan gelap malam yang sudah merambat dan setelah kami semua mengganti pakaian termasuk menunaikan salat. Tanpa aba-aba Bang Miji dan Bang Fidyan mendekap dalam sleeping bag dan meninggalkan saya bersama Wawan di luar. Juga menitip pesan, “nanti ya Abang masaknya,” tutur Bang Miji sebelum ia terkapar.

            Kami tentu tak tinggal diam. Kendali masak langsung saya dan Wawan ambil alih. Malam itu menu usulan Wawan yakni omelet nugget. Untuk nasi masih ada sisa saat di Bumi Sarasah tadi. Di tengah cuaca yang dingin, malam Jumat dan sunyi mencekam. Tiba-tiba saja ada hal yang sedikit mistis. Wawan tiba-tiba terkejut berkata “Allahuakbar” setelah pungkasnya seperti ada yang meneriaki dari belakang.

            Saya yang hampir larut dalam peristiwa itu mengalihkan pembahasan dan menegaskan, barangkali Bang Miji atau Bang Fidyan di dalam tenda usil. Sebenarnya itu pun sungguh tak mungkin karena saya saja tidak mendengar apa-apa. Alih-alih begitu, masak tetap dilanjutkan dan untuk sementara peristiwa itu dilupakan.

            Kemudian kami makan di dalam tenda. Tapi agak aneh, mengapa rasa omeletnya asin. Telisik demi telisik, jelas, bahwa Wawan telah membubuhkan banyak garam. Dugaan pertama karena tiada sadar ketika kaget ia menuangkan garam tak terkira. Tapi tetap saja perut yang lapar menerima dengan lapang.

Potret malam dengan panorama kerlip lampu cahaya Kab. Pasaman oleh Bang Fidyan.

            Penutup malam itu kami habiskan dengan mengabadikan momen berfoto berlatar Pasaman dengan kerlap-kerlip lampunya. Kali ini semua kebagian, tetapi Bang Fidyan sebagai pemilik gawai tetap saja tidak mendapatkan shoot yang pas lantaran diperlukan teknik pengambilan yang sama sekali tidak kami kuasai, he-he.

                Bersambung menuju potongan cerita akhir menuju puncak Tri Marta 2982 mdpl!

Komentar