Hujan amat deras kala itu
ketika saya, Wawan dan Bang Fidyan memasuki nagari Tabuik Pariaman. Bersama
Bang Miji dan adiknya, kami mesti rela berdiri di tepi jalan, tepatnya di rumah
warga tak dikenal, menikmati curahan kasih Tuhan yang perlahan meluluhkan
antara kekecewaan menuju pucuk kebahagiaan betapa rintik yang diserapahi,
barangkali membawa sebuah berkah ilahi bagi manusia lain yang ada di muka bumi.
Hujan deras di Pariaman menuju Kab.Padang Pariaman. |
Allahumma Shoyyiban Nafi’an. Ialah ucapan yang dirapalkan
kala hujan, sebagai tanda syukur semoga keberkahan mengiringi langkah panjang
kami menuju Talamau. Tentang makbulnya doa ketika hujan, tentu sia-sia rasanya
jika diam tanpa adanya harapan yang dipanjatkan. Pertama perihal harap keselamatan
dan kedua berpulang ke rumah tanpa menyisakan kesusahan.
Dua jam berselang, hujan setengah reda memberi
rambu-rambu kepada kami untuk kembali menempuh jalan. Tujuan kami yakni ke
rumah Bang Miji untuk sekedar ngopi dan silaturahmi. Kami tiba disambut
terjangan hujan kembali. Sesampai di sana saya baru paham, ternyata Bang Miji
menetap sementara di rumah makan Lubuk Idai yang menyebelah dengan sawah. Di sana,
tentu kenapa “Lubuk Idai” menjadi topik pembahasan selanjutnya.
Tak
lama perbincangan hangat berlangsung di tengah dinginnya suasana tepi sawah,
Bang Budi tanpa diundang datang membawa sebongkah senyuman. Bersalaman dengan
saya, Wawan dan Bang Fidyan. Dua kawan yang baru dikenalnya, lantas akrab sebab
sikap jaim bukan lagi pakaian kami.
Waktu yang seolah bergerak lambat justru membawa suara
gema azan pertanda gelap malam di Pariaman mulai merambat. Kami bersama menuju
musala menunaikan kewajiban dan bertafakur dengan masing-masing keinginan
kepada Tuhan. Khusyuk. Dan kembali ke rumah Bang Miji untuk kemudian menikmati
sebuah hidangan ikan bakar Lubuk Idai yang sudah disediakan.
Sehabis bersantap kami mulai mengemasi barang dan pamitan
langsung dengan Ibu dari Bang Miji. Menembus malam dan menyusuri jalanan Sungai
Limau, perhentian akhir hari itu di sebuah toko Outdoor milik salah satu senior
Bang Miji di HPA PL (Himpunan Pecinta Alam Piaman Laweh) yang dijaga salah
seorang Kawan bernama Bintang. Sekaligus tempat sementara di mana semua peralatan
kami akan disimpan.
Ternyata bermenung itu tidak se-asyik yang dibayangkan.
Oleh kebiasaan yang kerap dilakukan Bang Budi dan Kawan-kawan, ia malah
mengajak kami mencari ikan dengan cara memanah di sebuah areal persawahan tempat
anak-anak sungai berada, dan tempat ikan-ikan menyerahkan sisa hidupnya dengan
pasrah kepada para pemangsa. Gelap, sunyi, bahkan lintah (acek) tak belas
kasihan silih berganti menghinggapi kaki-kaki kami.
Dalam meraba arah tujuan, kami memilih ikut ke mana saja
Bang Budi dan Kawannya hendak memburu mangsa. Dan jauh sebelum kami turut ikut,
tutur Bang Budi kerap adanya kehadiran Inyiak—mistis yang berkembang di
masyarakat—percaya atau tidak keberadaannya biasa mereka tandai dengan goyangnya
satu rumput di antara banyaknya rerumputan. Untuk kemudian jika mendapati hal
demikian, beberapa hasil tangkapan mesti dilemparkan ke dalam semak-semak tanda
menghargai keberadaannya.
***
Kami diajak singgah di kedai Bang Budi. Di sana, kami
menyaksikan bentangan laut Pariaman samar ke-abu-abuan. Terutama pancaran sinar
mercusuar Pulau Ujuang dan lampu kapal yang remang-remang nampak dari kejahuan.
Di langit, bulan agaknya masih malu menampakkan wajah sehabis awan mendung
menyelubungi Pariaman sore tadi. Tak lama dari itu, kopi susu hangat terhidang
sebagai teman santai obrolan ke depan.
Bang Miji bercerita, ia biasanya jikalau suntuk dan ingin
menyepi, tak jauh dari areal lapang dekat dari kedai ini mendirikan tenda dan
tidur di sana. Menyeduh kopi dan menikmati pagi terik dengan mentari yang sudah
meninggi. Tapi malam itu, “oh Bang Miji, bahwa mata kantuk dan perut sudah
tidak mau lagi berkompromi.” Sehabis menempuh perjalanan dari Sawahlunto hingga
Pariaman, rasanya kami benar-benar butuh istirahat.
Kami sudah di rumah Bang Budi. Tapi sebelum tubuh lelap
dalam mimpi, nasi bungkus yang berisi ikan bakar Lubuk Idai kami lumat habis.
Bersama Wawan, saya tidur di dalam kamar. Dan mata sayup terkatup hingga pagi.
Tak ada suara obrolan di dalam rumah, kecuali suara gelak tawa tetangga,
jangkrik dan siulan burung. Semua masih lelap, Bang Miji dan Bintang saya
dapati di ruang luar, Bang Budi di kamar sebelah dan Bang Fidyan tepat berada
di sebelah Wawan.
Menjelang siang semua sudah bangun. Mengemas barang yang
tak seberapa menuju ke toko Outdoor. Hari itu, Selasa, kami sudah berencana
akan berbelanja logistik di pasar, mengurus surat kesehatan, mencukupi
kekurangan dan packing seadanya sebab sesampai di basecamp alat dan kebutuhan toh
akan kembali diperiksa dan didata. Untuk ke pasar kami semua turun, Bang
Fidyan, Bang Miji dan Wawan, termasuk saya.
Grup pendaki kami tidaklah ramai, hanya empat orang.
Sehabis berbelanja, saat itu juga kami mengemas barang yang ada di keril.
Pamitan dengan Bintang, kami berangkat kala panas tengah terik-teriknya. Durasi
menuju Pasaman Barat akan kami tempuh selama tiga jam lebih. Melewati Tiku,
Lubuk Basuang, Kinali hingga Simpang Empat sekaligus sebagai penanda perjalanan
kami sudah dekat menuju posko pendakian Talamau.
Pemandangan panjang yang saya dapati adalah garis pantai
yang sudah dihuni tambak-tambak udang. Jika mengulik agak dalam, apakah sudah
ada perizinan. Dan jikalau ada, bagaimana dengan proses pengolahan limbah
hingga masuk ke zona pantai. Sebab saya bisa bertanya seperti ini lantaran
hasil diskusi bersama Bang Miji yang sebagian masyarakat ia bertempat tinggal sudah
merasakan bagaimana ganasnya abrasi diakibatkan pembangunan. Di mana rawa-rawa
yang berisikan tanaman mangrove dibabat habis. Sungguh ironis.
Terus ke depan, saya melihat hutan sawit berdiri gagah
sepanjang jalan raya. Mungkin saja dapat diperkirakan jumlah lahan di sini
berhekat-hektar. Selain lebar juga sangat menggiurkan, terutama perputaran roda
ekonomi masyarakat sekitar. Karena panas sudah tak tertakar, demi keamanan
perjalanan kami rehat di pinggir jalan sambil menyegarkan badan dengan es kelapa
muda murni. Tak terkira, panas matahari sudah berpindah ke ban-ban motor kami, bahkan
ubun-ubun kami barangkali.
Di persimpangan kanan jalan, pelataran Simpang Empat, Pasaman Barat. |
Setelah dirasa cukup untuk merehat, kami melanjutkan
menuju Simpang Empat, Pasaman Barat. Kurang lebih rentang waktu kami sekitar
satu jam lagi. Melewati Kinali, saya masih mendapati hutan sawit yang diselingi
oleh bangunan rumah, toko, sekolah, kuburan dan perkampungan. Melewati Ophir,
dan tak jauh dari sana tibalah kami di Simpang Empat lalu singgah di toko
distro yang ditunggui oleh kawan Bang Miji, Bang Yengky Mariol.
Di sana kami berbincang sebentar. Berselang saja kami
sudah menuju ke pasar membeli buah dan cadangan batu batrai sebelum melanjutkan
jalan menuju posko pendakian Talamau. Dan setelah mendapat pinjaman rain cover
untuk Bang Fidyan, kami pamit pergi. Dengan jarak tempuh 15 kilometer, tibalah
kami di posko pendakian Talamau yang betul-betul letaknya dekat sekali dari
jalan utama.
***
Selama ini cerita yang kerap saya dengar dari sebagian
Kawan yang sudah menapaki Talamau, kini baru benar-benar saya betulkan mengenai
letak posko pendakian di dekat jalan utama. Termasuk titik awal pendakian dari
ketinggian 200 mdpl yang diselisihkan ketinggian Talamau 2982 mdpl. Antara
memacu tantangan dan sebuah keyakinan, bahwa kami pasti bisa mengawali langkah
sebelum mencapai puncak impian setinggi 2682 mdpl lagi.
Di posko kami istirahat sejenak sambil menunggu Bang
Andri tiba, yakni satgas pengaman pendakian Gunung Talamau sekaligus yang akan
memeriksa dan mendata alat perlengkapan yang kami bawa. Termasuk menghitung
jumlah plastik packing dan logistik yang digunakan. Dan berdasarkan peraturan posko
Talamau, berapa banyak sampah yang dibawa, maka sebanyak itu pula yang
seharusnya dikembalikan. Jika kurang maka langkah kebijakan yang ada akan
dedenda.
Oh iya, posko ini berada di Kenagarian Aua Kuniang,
Jorong Pinaga atau dalam bahasa Indonesia yakni “Pinagar”. Agaknya lucu jika
nama daerah bahasa Minang di Indonesiakan. Namun itulah kenyataannya untuk
memudahkan dalam hal administrasi barangkali.
Sementara saya dan Bang Miji mencari makan ke bawah, Wawan dan Bang Fidyan memilih mandi di sungai bersama adiknya Bang Andri.
Bersambung!
Komentar
Posting Komentar