Bersama Keluarga Walyatama saat upgrading relawan di Kab. Solok, (26 September 2021). |
Orang-orang yang terus berjalan membawa secercah harapan, impian, cita-cita dan arah kemajuan, adalah orang-orang yang hidup dalam keabadian. Meski kelak jasad berkalang tanah, nafas juang yang telah ditularkan akan selalu hinggap di dada penerus generasi ke depan.
Hamka yang lahir di Sungai Batang, Maninjau. Kecil yang
dicap “nakal” namun penuh keberanian, memiliki rasa ingin besar membaur ke
dalam masyarakatnya. Hatta yang lahir di Bukittinggi, dibesarkan dari keluarga
terpandang, terlebih berlatar belakang dari keluarga religius yang sangat
menjunjung nilai-nilai Islam. Rela terjun ke dalam masyarakatnya demi suatu
kemajuan bernama kemerdekaan.
Haji Agus Salim kelahiran Koto Gadang sekaligus tokoh dan
ulama kenamaan yang pernah menjadi agnostik, akhirnya mendalami pergerakan
Islam langsung kepada Syaikh Achmad Khattib Al-Minangkabawy ketika ia menjadi penerjemah
dan pengurus haji di Konsulat Belanda di Jeddah. Ia yang dijuluki ‘The
Grand Old Man’ itu, tak pernah sedikitpun lengah dari memikirkan akan
bagaimana perjuangan bangsanya menumpas penjajah.
Sekiranya,
merekalah potret orang-orang yang menginginkan kemajuan. Bukan “intelektual
musiman” yang digembleng oleh institusi “musiman” pula. Ia yang bangga masuk ke
universitas ternama, entah melalui jalur beasiswa atau sederet nilai yang akan berguna
atau tidak dalam berkehidupan. Merasakan dunianya sudah cukup untuk mengejar
prestasi demi prestasi tanpa mengindahkan nasib bangsanya sendiri.
Kejadian hari ini sangat berbeda dengan masa silam. Di masa
silam, orang besar adalah mereka yang tak pernah jalan sendiri. Frasa “aku” itu
bertransformasi “kita” untuk menyatakan, “kami tak pernah sendiri”. Oleh kaum religius,
bahwa Tuhan selalu mengiringi dan tak pernah pergi. Bahwa jutaan tangan-tangan
Tuhan akan selalu mengulurkan uluran kebaikan.
Mohammad Yamin putra Talawi, pernah tertolak masyarakatnya
sendiri lantaran pemikirannya yang cenderung ke-Barat-barat-an. Barulah Hamka
yang diwasiatkan agar mengiringi beliau ketika wafat, masyarakatnya menerima
dengan hati lapang lantaran mediasi yang saling memahamkan. Dan di masa kini,
terlihat bukti jasa kepahlawanannya dihargai sebentuk monumen, taman makam dan
pustaka.
Jika
ditilik kembali, jajak pemikiran Mohammad Yamin yang tajam terbentuk dari sebuah
proses yang panjang. Beliaulah putra Talawi yang merancang Kongres Pemuda Indonesia
Pertama, 1926. Beliau pula yang menulis naskah rumusan ikrar sumpah pemuda;
Bertanah air yang satu, Berbagsa yang satu, dan Berbahasa satu: Indonesia.
Itulah proses dan era kala beliau mengharapkan kemajuan.
Dan
ini fakta sejarah, bukan fiktif yang tak jelas datanya. Referensi tepat untuk
menggambarkan adalah buku karya B. Sulatro, salah satu pendiri Dewan Kesenian
Yogyakarta dan lulusan kursus B-1 Negeri Jurusan Sejarah di Semarang, dengan
judul bukunya, “Dari Kongres Pemuda Indonesia Pertama Ke Sumpah Pemuda”, (Balai
Pustaka, Jakarta, 1986).
Namun
dalam menyikapi hari ini, tentu keharusan yang mesti dijaga adalah membanguun persatuan
sekalipun dalam lingkup kecil. Menjaga ikatan emosional antar pemuda untuk
terus melaju melampaui zamannya. Bukan malah sebaliknya yang cenderung tersekat
semangat kedaerahan. Memang, dahulu Indonesia pernah mengalami semangat
kedaerahan mulai dari Jong Java, Jong Celebes dan Jong Sumatera.
Untuk selanjutnya lambat laun hal yang agaknya memperlambat proses kemerdekaan sebab tersekat, dipadukan dalam suatu kongres melingkupi seluruh perwakilan pemuda berbagai daerah di penjuru Nusantara yang kala itu masih bernama Hindia Belanda. Nama Indonesia bahkan, diambil ketika Indonesische Vereenging berdiri di Nederland, yang didirikan oleh sekelompok pemuda Indonesia ketika di Indonesia sendiri masih menggunakan kata “Indische”.
Kembali
menyelami dalamnya samudera sejarah, bahwa kita tak akan pernah sendiri. Selalu
dan akan selalu ada saja orang-orang yang membersamai. Jika bolehlah beropini,
“akan selalu ada tangan-tangan baik perpanjangan kehendak Tuhan”. Soal proses,
rasa pahit adalah bagian penting yang perlu dirasakan agar mampu menempa diri untuk
lebih tabah dan kuat.
Dan
pahit itu, bukan pil yang membuat trauma lalu mundur dari jalan bernama
“perjuangan”. Bukankah dalam Islam itu sendiri, diajarkannya bahwa sabar adalah
penawar dari rasa gundah dan resah. Mengakhiri dengan firman Allah, “Maka
sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan
ada kemudahan.” (Q.S Ash-Sharh [94] : 5-6).
Komentar
Posting Komentar