Mata Peristiwa

 

Setiap yang dilihat mata adalah peristiwa. Setiap yang direkam mata adalah peristiwa. Dan mata-mata kita adalah lensa yang mendokumentasikan sebuah peristiwa. Sekiranya, inilah interpretasi dari pesan seorang Kawan kala diperjalanan lalu, bagian Rokan Hulu.

Ukiran mumbang karya Bang Alex, Rokan Hulu.

Jika dikatakan rindu mengulang kembali, saya sangat rindu. Bukan pada pencapaian yang telah dicapai, melainkan proses selama berjalan. Proses menempa diri menjadi manusia yang lebih mensyukuri hidup. Bukan berarti selama ini belum mensyukuri. Namun rasa syukur dalam proses itu amat beda, Sobat. Semacam ada nilai tambah bernama ikhlas. Karena pada pertemuan, saya yang seorang asing dan disambut oleh orang asing pula. Dapat lekas membaur menjadi ikatan saudara.

Di antara keterasingan itu, persaudaraanlah yang memunculkan syukur. Syukur yang langsung ditujukan kepada-Nya sebagai penggerak sendi kehidupan. Yang mampu merancang hal-hal silam maupun yang akan datang, bahkan jauh sebelum manusia-manusia supercerdas kini yang menamakan dirinya futurolog pengamat masa depan.

Di mata peristiwa, saya menatap jalanan bagai negeri asing yang menakutkan sekaligus memberi harapan. Keringat yang menetes setelah diistirahatkan semalaman di pelataran masjid, perlahan mengering disinari mentari pagi bagian bumi lain. Peristiwa itu, masih saja saya ingat setelah salah seorang petugas yang bijak dengan aturan, akhirnya luluh oleh rasa kemanusiaan, yakni memberikan saya persinggahan sunyi yang penuh sekawanan nyamuk.

Hingga pada etape yang entah ke berapa, setelah kaki terus melangkah penuh harapan akan adanya pelabuhan yang mampu menampung rasa gundah dan sejuta cerita. Akhirnya seorang asing yang mengalungkan saya kata-kata mutiara, “setiap mata yang melihat adalah peristiwa.” Menjadi saudara baru di jalan dan memberikan harapan melalui rumahnya yang sederhana, dengan selingkungan yang kerap ia ocehkan, sawit.

Ketika saya pulang, mata peristiwa masih saya abadikan dalam catatan dan ingatan. Dan akan selalu saya simpan entah sampai kapan. Sebab dibalik untaian yang ia sampaikan tersimpan cita-cita besar, adalah membangun rumah baca di tengah hutan sawit, mengatakan tidak pada gawai dan mengecam tindakan sekumpulan anak muda yang sudah loss learning and lost generation.

Karena pada dasarnya, tidak banyak orang-orang seperti dia, Kawanku, Alex. Hingga adanya tulisan ini, saya tetap mengenang peristiwa yang saya tatap melalui mata kepala sendiri. Betapa kreatifnya ia mengubah barang yang tak ada nilai guna menjadi bernilai guna. Orientasinya pun patut diapresiasi karena bukan uang yang menjadi tujuan utama. Melainkan alasan klise, “suntuk tak ada aktivitas, makanya batu sungai, mumbang kelapa ataupun tulang, saya ukir menjadi hal-hal unik dan menarik.”

Begitupun ketika itu, ia memberikan kepada saya kenang-kenangan ukiran mumbang kelapa yang kerap saya bawa kemana-mana. Di dalamnya bukan hanya ukiran menjadi daya tarik, namun juga kenangan, cinta dan rasa yang telah menebalkan karya guna dan nilai lebih. Mata peristiwa yang ia lontarkan telah menerangi kepala saya dengan segudang sudut pandang ketika menyaksikan suatu kejadian apapun itu.

Agaknya mata peristiwa akan merekam setiap jejak perjalanan seorang manusia. Sebagaimana mata sebagai kolam bening yang paling jujur, ia terus-terusan memancarkan bola harapan yang memandang jauh ke depan. Mengedarkan pandangan setajam mata elang. Dan tidak memberikan sejengkal pun pengaruh yang mampu menggoyahkan keyakinan untuk mendistorsi suatu potret barangkali.

Meneruskan dari Buya Hamka bahwa, di dalam mata peristiwa adanya sebuah nasib yang membinarkan, “Di belakang kita berdiri satu tugu yang bernama nasib, di sana telah tertulis rol yang akan kita jalani.” Maka kata “memulai,” adalah pilihan tepat untuk mengubah ketakutan menjadi keberanian dan menyerahkan pada nasib yang telah diperjuangkan.

Pisang Kolek, 30/11/2021.

Komentar