Terusir dari Jakarta Kota

 Bagian #7

        

Stasiun Jakarta Kota ketika malam.

        Berlama-lama di Bojong bukan dasar keinginanku. Namun sedang menunggu, jadwal keberangkatan kapal yang akan berlayar beberapa hari ke depan. Saat itu satu hari sebelum keberangkatan, aku pamit dengan Kakak pada siang hari yang terik. Dari rumah, aku berjalan menuju stasiun. Sengaja. Naik angkot yang sempit akan mempersulit.

Pada siang stasiun hanya menyisakan pelajar, mahasiswa dan para pekerja freelance yang tak begitu terikat dengan pekerjaannya, atau memang masyarakat biasa yang hendak menyelesaikan urusannya. Dan aku, termasuk salah satu kategori dari mereka, mahasiswa yang tengah mengembara.

Kali ini tujuanku adalah Jakarta Kota. Kota tua yang menjadi saksi sejarah. Sedari Batavia, Jayakarta hingga Jakarta. Kota tua selama masanya mengalami tarik ulur penguasaan mulai dari masa Fatahillah, Belanda, Jepang dan kembali ke tangan Indonesia setelah pembacaan proklamasi pada 17 Agustus 1945 di Jln. Pegangsaan Timur yang kini menjadi Medan Merdeka.

***

            Kereta tiba. Aku lekas naik mengangkat tas ransel lalu menyandarkannya di samping pintu kereta. Syukurlah kereta yang tak begitu ramai membuka ruang lapang dan tempat duduk yang kosong. Tanpa berlama aku ambil bagian. Namun khilaf, aku menempati bangku yang tak seharusnya.

Lantaran salah, aku memilih berdiri dan “mencoba” cari bangku lain yang kosong. Dalam keberpikiran aku menelurkan prinsip; memilih tetap berdiri apapun kondisi atau harus duduk dengan tak nyaman sebab perihal kategori penumpang yang telah ada menyimpulkan penumpang mana yang mesti diutamakan.

Tanpa terasa Jakarta merambat malam. Para pekerja mulai pulang dan aku telah tiba di stasiun Kampung Bandan sebelum melanjutkan ke rute terakhir, Jakarta Kota. Jakarta bagiku unik karena kotanya dililit oleh jalur rel pada setiap sudutnya. Kereta tak salah, toh ini ada sebagai akomodasi alternatif agar masyarakat dapat terhindar dari kemacetan, tidak dengan kepadatan. Jakarta itu padat.

Lamat-lamat aku sampai di stasiun Jakarta Kota tepat sebelum azan Isya berkumandang. Seturun dari kereta lalu keluar dari stasiun, tujuan utamaku adalah mencari masjid terdekat untuk menunaikan sekaligus berniat singgah bermalam. Kemudian pada esok, aku pun bisa melanjutkan perjalanan menuju stasiun Tj. Priuk dengan keadaan bugar. Lalu, setibanya di masjid dan seusai menunaikan aku bertemu seorang kawan.

Di sebuah masjid tak jauh dari stasiun.

Seorang kawan ini bukan kawan perjalananku namun adalah orang yang berniat sama, singgah bermalam. Setelah masjid sepi aku mencari garim mau minta izin. Belum bangkit beranjak garim pun masuk hendak mematikan lampu dan mengondisikan kotak-kotak amal. Ketika ia melihat kami berdua, “Kalau sudah salat segera keluar karena masjid akan dikunci," ucapnya.

Aku mengajukan tanya, “Apakah boleh kami singgah bermalam di sini, Pak?.” Lantaran belajar dari peristiwa sebelumnya, garim bercerita bahwa di masjid ini sering kejadian kotak amal raib entah ke mana. Maka kata garim, pada masa kemarin masjid masih boleh menerima musafir tapi kini sudah tidak. Menurutku tentu saja karena belum adanya alternatif penyelesaian atau memang begitulah kerasnya Jakarta hingga kotak-kotak umat pun ditelan oleh keadaan yang mencekik.

Apa mau dikata, kami pun beranjak keluar. Aku dan seorang kawan itu memilih pusat kota tua sebagai tujuan, di mana segala macam pertunjukan, muda-mudi sampai wisatawan yang tak ingat waktu berkumpul hingga larut malam. Di sana kami menyaksikan konser akustik kecil-kecilan yang personilnya berkeliling membawa topi ke segala arah. Mau pengunjung mendengar atau tidak topi tetap diputarkan.

Sebab bising, kami memilih tempat lain di seberang dari tempat duduk kini. Sambil berjalan aku memikirkan di manakah akan bermalam. Aku teringat, Jakarta Kota tak jauh dari Tanah Abang. Seketika aku hubungi Denis, dan kawan-kawan lain yang menetap di Kebon Pala. Dan pada saat aku duduk, seorang kawan itu lantas membuka cerita luka musabab mengapa ada di sini.

Begini, “Aku baru saja ditipu, Mas. Awalnya aku melihat iklan tawaran menjadi pekerja bangunan di Facebook, dan tertarik. Lalu aku lekas ke Jakarta berangkat dari desa. Aku ini orang Pekalongan, di sana mencari pekerjaan agak sulit. Setiba di Jakarta aku kembali hubungi orang kontraktor yang memasang iklan ternyata tidak aktif. Dan sekarang, malah aku baru sadar bahwa iklan itu hoaks.”

“Sekarang seperti inilah, Mas. Aku terdampar dengan kondisi saku yang tipis. Ada saudara tapi tak enak menemui, Mas. Tapi tetap, keesokan niatnya aku hendak menemui saudara untuk meminjam uang kembali ke desa. Sementara anak dan istri, kami sudah lama terpisah, Mas. Anakku diasuh oleh bibinya dan istriku yang bukan lagi istri dibawa kabur oleh orang lain.”

Aku mafhum atas ceritanya. Sementara dalam kondisi kawan ini membutuhkan pertolongan. Dengan kondisi yang sama bahkan aku pun tak tahu harus mengapa. Kemampuanku terbatas yang pada akhirnya aku memilih pamit hendak ke Tanah Abang dan meninggalkan sesuatu ke seorang kawan tersebut. Setidaknya apa yang kutinggalkan insyaallah dapat memudahkan aksesnya ke saudaranya.

Di temaram malam langit kota tua yang gemerlapan dan kerlip gemintang di angkasa, aku benar-benar pamit. Ia mengerti dan air matanya nampak berlinang. Wajahnya murung dan menunduk seakan tengah bermimpi mengapa bisa terperangkap di sini. Sayup-sayup akustik masih terdengar. Aku ucapkan, “Sampai jumpa kembali, Kawan. Tabah, kuat dan sabar. Assalamu’alaikum.”

***

            Aku gegas masuk ke stasiun Jakarta Kota jaga-jaga apakah kereta masih tersedia. Kulihat jadwal dan tepat saat aku berdiri di stasiun, kereta yang akan tiba adalah kereta terakhir rute Jakarta Kota – Tanah Abang. Aku lega. Sambil menunggu, Denis kembali kuhubungi. Katanya ia tak bisa jemput. Sebagai gantinya Fadil menjadi penjemput.

Kondisi kereta yang lengang.

Tak berapa lama kereta tiba. Saat itu gerbong-gerbong sudah sepi dari para pekerja pun wisatawan. Sekira pukul delapan malam kursi-kursi kosong melompong. Seorang petugas mengarahkanku beserta beberapa penumpang lainnya untuk merapat ke muka. Tak berapa lama aku pun tiba ke Tanah Abang yang bukan tujuan sebenarnya.

Aku kembali gegas keluar dari stasiun. Di luar ojek pangkalan bertebaran menawarkan jasa. Aku menolak karena sudah ada yang menjemput. Dari kejauhan, Fadil melambaikan tangan dan aku menghampirinya. Kami bersalaman kemudian langsung melaju ke Kebon Pala.

Fadil adalah kawanku main bola, majelis taklim dan nonton Persija kala aku masih bermukim di Jakarta. Malam itu, Fadil tak neko-neko, langsung saja aku dibawanya ke Kebon Pala. Sesampai di sana aku kembali mengenang. Kaki yang sudah setahun tak ke sini disambut bau yang meyeruak. Iya, aku berada di pinggir kali. Aliran sungai kecil dari terusan sungai tanggul.

Sedari dulu aku bertanya-tanya: “Apakah sedari dulu sungai yang kami sebut kali telah tercemar?,” “Tidak,” jawab seseorang yang dituakan. Dulu kali ini bahkan dipakai warga mencuci pakaian. Anak-anak berenang girang. Kini saja sejak Jakarta penuh sesak oleh para pendatang. Kali-kali dipenuhi oleh sampah. Entah mungkin ada fosil plastik yang sudah mengendap sejak puluhan tahun silam. Tetua itu sedikit menyatir.

Kemudian tas aku turunkan. Di sepanjang jembatan tempat biasa warga berkumpul aku menyalami satu-persatu orang-orang yang kukenal. Pertanyan demi pertanyaan menghujam tak henti-henti, hingga pada saat Bayu datang, sahabat kecilku yang selalu kurindukan bukan sebab kebaikannya saja tetapi memang banyaknya kenangan masa kecil kami dahulu yang lucu jika diingat.

Bayu mengajakku ke rumahnya untuk meletakkan tas ransel yang katanya berat ketika ia mencoba mengangkatnya. Padahal tidaklah begitu berat, hanya saja belum terbiasa. Kalau sudah biasa toh akan terasa ringan walau memang tetap berkeringat. Dan, di rumah Bayu-lah kali ini aku singah bermalam untuk kemudian keesokan harinya melanjutkan perjalanan.

Malam itu aku disuguhkan makan. Bayu tahu betul bahwa aku lapar. Di sebuah bale tempat kami biasa berkumpul. Satu-persatu kawan-kawan masa kecilku berdatangan. Aku seakan reunian sambil mengenang. Kembali mengenang. Betapa jarak dan waktu yang selama ini memisahkan akhirnya jua pasti kembali mempertemukan.

Semakin malam bau makin menyeruak memang. Tetapi tidak dengan hidung-hidung kami. Hidung kami telah tebal dan terbiasa. Di kursi bale aku kembali mengingat lirik sebuah lagu, “Di Jamika, Jakarta minggir kali. Di Jamika, Jakarta minggir kali.” Sebuah dendangan lagu yang kerap kami mainkan. Kami senang memainkannya sebab sangat realistis sekali dengan keadaan kami. Bahkan kala isu penggusuran, kami pun tak rela beranjak dari sini.

Malam telah larut. Bayu menghampiri dan mengajak kembali ke rumah. Esok ia akan berangkat kerja pagi-pagi, dan aku pun sama. Kami memilih istirahat. Daripada memaksakan mata tetap terjaga lebih baik mengalah.

 

Bersambung.

 

Komentar