Nostalgia di Kota Jakarta

Bagian #5


Dari Lenteng Agung menuju Bojong Gede.

            Pagi hari mataku dihadapkan oleh sejumlah pekerja metropolitan yang militan. Bangun subuh dan berdesakan di atas angkutan kota hingga menyesaki jalan raya. Semua orang terburu bak dikejar sesuatu. Entah apa yang membuat mereka demikian. Apakah peraturan atau rasa takut akan bayang-bayang omelan?

Di depan peron stasiun aku diam membisu, mengamat penuh tanya bagaimana cara mencari jawaban. Kiri dan kanan semua orang sibuk menatap gawai di tangan, wajah jelita yang ditutupi masker hingga buff ninja menyisakan kerling mata yang nanar. Apakah mereka tak lelah, mata merah dipaksa menantang udara Jakarta yang kian tahun makin menurun kualitasnya.

Aku yang sedari tadi berdiri memanggul tas ransel, dipandang acuh tak peduli misi dan niat apakah sehingga mau beratkan badan. Dialog menjawab sendirinya, bukan lewat celoteh rimba raya seperti yang Iwan Fals nyanyikan namun intuisi yang balik menepis pandangan dengan mengata, “Aku bukan orang nyasar yang tak tahu arah dan tujuan. Aku bukan seperti yang kalian bayangkan.”

Jauh ke belakang dua tahun setelah rezim Soeharto ditumbangkan dan krisis ekonomi menerpa negeri ini. Masa itu, Pak Habibi menjabat tetapi tak bertahan lama. Namun, beliau telah meninggalkan jejak karya yang belum ada orang Indonesia mampu menandinginya.

Tampuk berganti ke Pak Gusdur hingga akhir tahun 2001. Dan melewati Maret tahun 2000, aku lahir kemudian di kota ini, Jakarta. Maka diri yang kuanggap dewasa, bukan tengah mengembara di negeri asing tetapi kembali bernostalgia di tanah kelahiran. Camkan!

***

            Pada satu pagi aku menaiki kereta dari Stasiun Lenteng Agung menuju Stasiun Bojong Gede. Sekira 20 menit aku pun sampai. Pagi itu gerbong arah Bogor tak begitu padat dan sesak. Berbanding terbalik dari arah Bogor menuju Tanah Abang, pusat perbelanjaan terbesar di Asia Tenggara sekaligus tempat berhimpunnya masyarakat Indonesia yang didominasi etnis Minang, Jawa, Manado, Papua dan Tiongkok.

Tanah Abang, itulah kecamatan di Jakarta Pusat tempat aku lahir dan dibesarkan. Namun aku belum berkisah ke sana sebab rute kereta kali ini menuju rumah Kakakku di Bojong Gede bernama Kak Reni. Kak Reni adalah Kakakku yang paling besar, sejak SMP kelas dua sampai SMP kelas tiga aku tinggal dengannya kemudian berpisah tempat tinggal ketika aku menduduki SMA kelas satu.

Selang waktu aku tiba di Bojong Gede. Jarak rumah Kakak lumayan jauh dari stasiun. Kalau naik angkot 5-7 menit saja sedangkan berjalan kaki bisa 13-17 menit. Untuk kemudian, aku memilih jalan kaki karena misi persinggahan kali ini diriku bukan seorang yang berlibur manja namun berlibur ala backpacker sehingga setiap waktu adalah peristiwa yang harus dinikmati. Bukan hendak berhemat dan mengorbankan diri tetapi lebih memaknai.

Memang agaknya terlalu miris jika membaca sekilas, namun ada faktor lain seperti angkot yang tak cukup ruang menyimpan ranselku yang besar. Lupakan. Terpenting dengan berjalan aku pun akan sampai. Dan memang sampai, Kakakku menyambut dengan senyuman sementara ketiga keponakan yang asyik bermain sejenak terhenti dan berlari ke arahku untuk bersalaman. Rasanya baru kemarin aku menggendong keponakan pertama, sekarang ia sudah besar.

Lelahku seketika hilang melihat senyum ceria mereka yang bertanya tanpa henti. Tapi tak apa, sebab dengan bertanya daya kritis mereka dapat terbangun sejak dini. Di sinilah aku mulai paham bagaimana cara terbaik membangun karakter seorang anak agar tumbuh lebih berani. Walau terkadang jengkel, aku tetap senang dengan pertanyaan tersebut. Terlebih ketika satu anak Kakakku paling besar bernama belakang al-Fatih mengatakan, “Abang Ajak nanti tinggal di sini aja, jangan balik lagi ke Jogja.”

Mendengar ungkapan itu aku pun bergidik. Mengapa ia mau menahanku seperti ini, apa artinya aku yang hanya bertemu setahun sekali. Padahal tak ada mainan besar yang aku tinggalkan, uang berlembar-lembar untuk jajan, atau baju baru untuk ia pakai saat lebaran. Dan aku, seorang Mamak ketika di Minangkan, hanya menyisakan cerita tak masuk akal, tentang impian berkeliling Indonesia dan tempat-tempat menarik nan indah. Masyarakat nan hangat sampai laut, gunung, dan perjalanan panjang tak berkesudahan.

Aku memang berniat mengenalkan Indonesia ke al-Fatih ini, sebab semasa kecil ia sudah berkali pindah tempat tinggal dan dipaksa beradaptasi lingkungan baru. Lahir di Sawahlunto, lalu besar di Tanah Abang, Jakarta Barat dan berlabuh di Bojong. Ia paham bahasa Minang, Jakarta juga Jawa yang dikuasai ketika di Pemalang, kampung kelahiran ayahnya. Tapi aku pun bingung bagaimana cara mengenalkan di samping ketakberdayaanku yang masih terlantar dari segi kemampuan finansial.

Sayup senja tiba, keinginan itu masih saja berputar di alam pikiran. Dan aku memilih jalan pintas yaitu menceritakan kembali kisah perjalananku kepadanya. Mendongengkan cerita rakyat yang disarikan hikmahnya, tentang kisah-kisah perjuangan para nabi hingga sejarah yang aku pahami untuk disampaikan dengan kata sederhana, bahwa sejarah adalah bagian penting yang harus diketahui sebagai parameter perbandingan agar tak melenceng dari nafas perjuangan pendahulu negeri ini.

***

            Malam tiba lebih cepat dibandingkan pulau Sumatera sana. Magrib berkumandang lantang sebab jarak musala yang tak begitu jauh dari rumah. Seusai isya nanti, Abid mengajak duduk di warung kopi. Lalu aku mengonfirmasi dan bersedia asalkan dijemput sebab tak ada kendaraan yang bisa dinaiki.

Abid adalah sahabat satu fakultasku. Kami kenal kala sama berjuang disuatu unit kegiatan mahasiswa. Setelah bercakap panjang saat masa awal kenal, ternyata ia merupakan orang Bogor yang ditelusuri kemudian, tinggalnya dekat dengan Kakakku di Bojong. Maka itu tak begitu masalah jika ia mejemputku dan mengajak duduk diskusi di warung kopi. Lagi pula aku belum pernah ngopi di Bogor, hitung-hitung bagian peristiwa jua untuk ke depan nanti.

Dari Bojong Gede kami melewati Cilebut dan langsung mengarah ke puncak Bogor. Kami sedikit melipir lewati Hutan Raya dan Istana Bogor yang dahulu dijadikan sebagai Buitenzorg kolonialis Belanda. Kota Bogor, malam itu hangat dengan sekuteng dan minuman berbahan baku jahe merah. Sekaligus dingin kala malam namun tidak dengan siang. Kata Abid, “Bogor memang kota hujan, namun pembangunan seakan menipiskan kadar rindang pepohonan berupa gedung-gedung dan kebutuhan manusia, hotel misal.”

Tak begitu lama kami sampai disebuah kedai kopi. Interiornya unik, kami duduk di bangku dan meja yang terpahat ciamik oleh kayu jati yang entah usia berapa ditebang. Aku memesan Vietnam Drip begitupula Abid yang memilih kopi Gayo sebagai komiditi asli dari dataran tinggi nun jauh di Aceh sana, Takengon. Sedikit mengingat, di sana terdapat sebuah Danau Lut Tawar yang menjadi daya tarik wisatawan. Konon katanya di sanalah legenda gajah putih Sumatera berasal.

Kopi sudah tiba, barulah kami mulai berbincang tentang keinginan Abid ikut dalam perjalanan nanti menuju Pulau Bangka. Ia menjelaskan rute-rutenya dan aku pun menjelaskan rute-rute perjalananku. Abid akan berbarengan denganku mulai dari Tj. Priuk – Pulau Bangka lalu kami akan berpencar kemudian. Abid akan menyeberang ke Palembang melalui pelabuhan Bangka Barat di Tanjung Kalian sedangkan aku akan turun ke Pangkal Pinang dan melanjutkan hingga menyeberang ke Pulau Belitung.

Menimbang-nimbang, ternyata alasan Abid menyeberang ke Palembang hanya karena ingin naik kereta api di jalur Sumatera, dari Palembang – Lampung dan singgah di jembatan Ampera. Kereta api di Sumatera adalah akses pemutus perjuangan kaum Ulama dan Santri kala itu, masa bercokolnya kolonialis Belanda. Sementara jembatan Ampera atau disebut sebagai Amanat Penderitaan Rakyat merupakan ikon penting di kota Palembang yang menjadi penghubung akses darat melintasi sungai Musi.

Lalu apa yang hendak kucari di Belitung? Di Belitung, aku hendak berkunjung ke sekolah Laskar Pelangi. Sekolah yang sejak menjadi pelajar SMP sudah tak asing lagi sebab kerap kusaksikan dengan cerita yang dinovelkan oleh Andrea Hirata. Laskar Pelangi bagiku adalah salah satu banyaknya sumber inspirasi. Maka dengan itu aku hendak berpijak di sana bukan hanya mengacu ke sekolah itu saja tetapi merasakan langsung bagaimana pola kehidupan masyarakat Belitung yang terkenal dengan Melayu dan seribu kedai kopinya.

Tak lama kemudian Ateng kawan Abid tiba. Ia sekaligus kawanku pula karena kami sudah pernah bersua kala di Jogja. Ia sosok orang yang asyik dengan logat betawi Cilebut dan mengetahui seluk beluk masyarakat Betawi. Bahkan ketika ia duduk bersama kami, langsung saja tanpa tunggu menceritakan keseruan kunjungannya ke pusat kebudayaan betawi di Setu Babakan, Jakarta Selatan. Aku tentu senang karena masih ada orang yang merawat ingatan tentang kebudayaan unik tersebut.

Malam merambat pelan sementara pengunjung kedai mulai pulang. Kami pun turut beranjak sebab tak baik berlama-lama lantaran Abid yang akan kembali mengantarku pulang di samping rasa segan terhadap Kakakku di rumah. Menggunakan motor mionya, aku, Abid dan Ateng melaju. Ateng menyarankan untuk melintas ke arah Stadion Pakansari Bogor yang berdekatan dengan sirkuit sentul Bogor.

Aku tak keberatan sebab aku pun belum pernah melihat stadion Pakansari tersebut. Bogor dilihat pada malam hari tampak sunyi dan asing. Pohon-pohon besar yang sudah berusia tua masih berdiri kokoh sebagai tanda bahwa tanah Bogor adalah tanah yang subur. Benar saja, kadang kala gerimis menerpa namun tak begitu lama. Di Pakansari aku mengamati mulai dari aktivitas pedagang kaki lima dan sekumpulan muda-mudi saling melempar tawa di atas kendaraan roda dua.

Usai berpuas-puas dan mengabadikan momen, kami beranjak pergi meninggalkan Pakansari dengan pedagang kaki limanya. Melewati Karadenan tempat Abid bertempat tinggal, Ateng pamit ke rumah. Sementara Abid terus menyusuri jalanan komplek, melewati sawangan dan barulah tiba di tempat kala Abid menjemputku.

Kami berpamit dan tetap mengingatkan untuk saling berkabar ketika mulai gerak nanti menuju Pulau Bangka. Abid memacu kendaraan dan aku berjalan pelan mengetuk pintu rumah yang ternyata tak dikunci. Aku tak enak, namun bukankah kalau tak enak kasih kucing saja kata orang kebanyakan?

 

Bersambung.

 


Komentar