Kopi Hitam dan Coklatnya Aliran Sungai Ciliwung

Bagian #6

Bacecamp komunitas Ciliwung Depok.

                Sekira lima bulan lalu aku bersua tiga orang backpacker asal Depok di atas kapal rute Labuan Bajo – Sape di Bima. Kemudian kami terpisah ketika kapal merapat. Setiba di Jogja kami kembali bersua, namun kali ini dengan sengaja sebab sudah bertukar kontak sebelumnya. Satu di antara tiga ternyata orang yang berbeda.

Waktu berselang, aku memulai perjalanan kembali. Kali ini menuju Sumatera, Pulau Bangka. Aku sengaja menyinggahi tempat tinggal salah satu dari tiga orang backpacker Depok yang aku temui lalu. Hal pertama, tentu menyambung tali silaturahim. Kedua, sekalian hendak berkunjung ke Omah Jangan Diam Terus Backpacker, rumah singgahnya yang bernama akun @jangandiamterusbackpacker.

Dari Bojong aku naik kereta yang tak berapa lama ke Depok. Di Depok aku ditunggu Fahmi yang telah ku beri kabar. Kami bersalaman dan ia membawaku ke sebuah warung mie ayam. Jam-jam tersebut agaknya membuat perut lapar, lagi pula matahari yang cukup meninggi menjadi pertanda sarapan bagi kaum pengacara (pengangguran banyak acara).

***

            Laju motor yang cukup kencang telah membawaku melintasi jalanan penuh kendaraan ke kediaman Fahmi. Di sana kami mengobrol bercerita tentang masa-masa awal kami berjumpa. Sementara Fahmi mencoba mengontak Panji dan Azwin.

Sambil menunggu, Fahmi mengajak duduk santai di pinggiran Sungai Ciliwung yang berhulu di Kabupaten Bogor. Kota Depok termasuk salah satu wilayah hilirnya dengan ancaman banjir yang kerap menghantui. Saat menuju tepi sungai tak lupa kami membawa segelas kopi hitam dan sedikit makanan.

Warna air Sungai Ciliwung kala itu agak kecoklatan dan debit airnya tak begitu deras. Sehingga kami bisa duduk di atas batu tepat di tepi-tepi sungai. Fahmi bercerita, “Bahwa sungai ini kerap meluap karena air kiriman dari hulu. Saat sekarang saja pas surut warna air coklat, bagaimana kalau deras, bisa jadi lebih coklat dari coklat.”

Cukup lama kami duduk di tepi Sungai Ciliwung. Suasana alami membawaku jauh dari hiruk pikuk kota yang bising dan penuh polusi. Terkadang perlu sekali menepi mencari ketenangan dan tidak terlibat dalam pertarungan kota yang kejam. Kejam lantaran perkembangan pesat kota telah menggeser budaya bahkan dapat dikatakan lebih dari 180 derajat.

Bersantai di tepi Ciliwung.

Mordenisasi salah satu dampak yang menggerogoti sifat kemanusiaan individu. Ia telah menipiskan moral, adat dan norma-norma di kalangan yang terkenal dengan kebersamaan gotong royongnya.

Seusai menikmati suasana tepian Sungai Ciliwung, Fahmi mengajak menyambangi basecamp komunitas Ciliwung Depok yang berlokasi tepat di bawah jembatan Panus dengan konstruksi bangunan Belandanya yang tua. Di basecamp komunitas tersebut kami menemui Bang Pay, salah satu penggiat lingkungan yang konsen mengedukasi masyarakat terkait pentingnya menjaga bantaran sungai agar tak tercemar oleh sampah dan limbah.

Aku tertarik ketika melihat rak kecil bersusun pelbagai buku bacaan. Agak menjorok ke tepian tempat basecamp berada, musala berdiri kokoh yang secara keseluruhan berbahan dasar bambu bagian dindingnya. Aku pula banyak melihat aneka satwa. Ular sampai dengan kura-kura turut mewarnai keberagaman. Bang Pay mengatakan, “Ular dan kura-kura ini kebanyakan adalah hewan yang kami selamatkan ketika tengah mengarung dan geladi bersih di bantaran sungai.”

Buku-buku berjejer.


Biasanya pada waktu senggang kawan-kawan komunitas Ciliwung Depok mengarungi sungai. Di basecamp saja berjejer beberapa perahu karet dan ban-ban fuso yang bagiku ketika di kampung sering dipakai untuk mengarungi sungai ketika debit tengah meluap. Namun saat kami di sana, kondisi sedang tidak mendukung lalu kami memilih duduk santai sambil berbincang. Pesan yang aku ingat, yaitu tentang peran penting sungai sebagai salah satu ekosistem penting bagi keberlangsungan di kota.

Berselang waktu kopi hitam habis menyisakan ampas yang pahit. Air sungai terus mengalir entah kapan akan jernih. Kami beranjak dan pamitan dengan Bang Pay serta kawan-kawannya. Dari basecamp aku kembali ke kediaman Fahmi.

Selanjutnya tujuan kami tidak sedang menuju ke mana-mana apalagi mendatangi tiap-tiap rumah warga yang hidup di bantaran dan membuang sampah sembarangan. Satu kata, “Kalian hebat sudah berusaha menjaga sungai kota di tengah minimnya kesadaran mereka.”

***

            Aku kembali ke rumah Fahmi. Tak berapa lama Azwin yang ditunggu tiba. Tinggal menunggu satu kawan lagi, Panji. Dari rumah Fahmi aku berencana turut singgah di Omahnya Bang Raffi. Jaraknya tak begitu jauh dan cukup melewati gang-gang sempit perkotaan. Lalu kemudian kami tancap dan berbonceng tiga ke sana. Patut untuk tidak ditiru, tetapi tak mengapa kalau motornya Vario.

Setiba disekitaran lokasi aku mencoba hubungi Bang Raffi dan ia datang menjemput. Kami diajak masuk ke dalam Omahnya yang bernuansa alam dan cinta. Lokasinya betul-betul strategis, jauh dari bising kendaraan yang bermain klakson sembarangan. Saat itu Omahnya Bang Raffi baru 60% pembangunan, maka belum begitu tertata sebagaimana yang ia inginkan.

Kami berbincang banyak. Bang Raffi menceritakan masa-masa awal ia backpacker ke Labuan Bajo berdua dengan Bang Bowo. Kemudian aku banyak menggali kisah perjalanannya ke India. Sungguh menarik sebab telah memilih negara yang unik. Aku sempat melontarkan tanya, mengapa harus India? Lalu ia jawab, “India menyimpan beragam gaya bangunan yang artistik. Masyarakat yang doyan tik tok, saffron, makanan jauh dari kata menggoda, Taj Mahal hingga perbatasan Ladakh dengan gadisnya yang memesona.”

India penuh suka dan duka. Ia menaiki kereta api yang jauh dari kata mewah. Berdesak-desakan bahkan pernah terusir lantaran satu dan lain hal. Ia bagai makhluk asing karena satu-satunya orang Indonesia di antara banyaknya masyarakat India. Baginya itu adalah hal yang suka. Berbalik dengan duka ketika jauh dari keluarga dikala lebaran pada sebuah negeri antah barantah. Daerah yang tak dimasuki akses internet dan selama ia tinggal di sana telah menjadi anak angkat untuk kemudian mesti berpisah.

Tapi kini ia kembali ke Indonesia membangun mimpi di atas halaman yang tak begitu luas. Omah Jangan Diam Terus Backpacker ia beri nama. Niatnya ke depan akan menjadi rumah persinggahan bagi para petualang apa saja. Mereka yang singgah bebas melakukan apa saja. Mau masak silakan, kita akan masak bersama sesuai makanan khas daerahnya. Membuka pameran sampai workshop atau berpuisi dan cerita-cerita.

Senjakala yang sedari tadi mengintai telah berganti gelap malam. Kumandang azan menghentikan cerita kami. Agenda selanjutnya di Depok adalah menyinggahi kedai kopi milik Uda Dendi Barat Daya. Kebetulan aku diundang untuk singgah oleh Bang Fadli, seorang kawan yang pernah singgah di kontrakanku di Jogja.

Lantas sebab waktu tak menyisakan ruang lagi, aku pamit dengan Bang Raffi. Kemudian kami kembali bonceng tiga ke rumah Fahmi dan menunggu Panji.

***

            Panji tiba tak sesuai janji. Padahal ia telah mengirim pesan sedari sore tadi tetapi tunggu rembulan bersinar baru ia jalan. Namun tak apa, kami pun dapat berboncengan secara normal tidak seperti tadi bertiga.

Kedai kopi Barat Daya berada di area kawasan Margonda. Tak begitu jauh jaraknya dari rumah Fahmi. Di kedai aku disambut oleh Bang Fadli yang termasuk barista di sana. Terlihat juga Bang Bowo, sobat karib Bang Raffi yang turut menikmati kopi. Sekilas menyaksikan aku terkesima, terlebih ketika memasuki ruangan belakang tempat perkopian yang didesain secara natural. Perpaduan antara kota dengan alam.

Lagi-lagi alam menjadi simbol perlambangan kenyamanan. Sungguh istimewa, mereka yang mengedepankan nilai-nilai alam di tengah gemuruh kota yang berlomba membangun gedung tinggi. Aku tenang. Sambil berbincang tentang kabar dan tema-tema apa saja yang dikedepankan oleh kedai kopi ini. Salah satu yang masih aku ingat adalah “Go Green” yang secara tiaptiap sudut dihiasi oleh aneka tanaman-tanaman.

Barat Daya Coffe.


Di kedai kopi Barat Daya, aku pun dapat berjumpa untuk pertama kalinya dengan Uda Dendi. Pemilik Barat Daya yang telah melanglangbuana ke 32 provinsi di Indonesia. Sisa dua provinsi lagi yang belum ia sambangi. Aku pun melempar tanya, apakah dua provinsi itu yang belum dikunjungi. Adalah Gorontalo dan Kalimantan Utara, ucapnya.

Perbincangan kami ternyata telah melarut. Kota ini memang tidak akan pernah tidur namun letak kedai kopi yang berada dalam areal komplek membuat kami mesti lekas keluar sebab kalau tidak kami akan terkunci. Syukurlah masih dapat terkejar, pagar masih ada yang terbuka dan kami dapat keluar untuk kemudian kembali ke rumah Fahmi.

Di teras rumah Fahmi. Aku, Azwin, Panji dan Fahmi menikmati nasi goreng yang telah kami bungkus. Mata yang mulai lelah mulai lelap. Kami tertidur di teras. Usai subuh hingga matahari terbit, Fahmi, Azwin dan Panji mengantarku kembali ke rumah di Bojong. Seharian bersama mereka, aku mengenal banyak sisi-sisi menarik dari Depok. Suatu saat mungkin aku akan kembali.

Sesampai di depan pagar rumah kami berpisah. Terima kasih kawan, ini kali ketiga kita bersua dan berpisah.


Bersambung.



Komentar