Menuju Ibukota

Bagian #4

Foto ini diambil di jalan tol layang. Sumber: dokumen pribadi.


    Satu kelapangan bernama syukur tak henti aku ucapkan. Sementara dalam dada kenikmatan menjelma ketakutan. Takut jadi kufur dan takut merupa takabur. Sehingga elus dada dan ucapan tasbih, tahmid hingga tahlil kerap kubisikan dalam keheningan jiwa yang sunyi.

Pagi itu aku bangun dan membiasakan rutinitas perjalanan membuka buku bacaan dan catatan. Tak terasa satu hari di Bandung telah aku lewati bersama seorang asing yang begitu saja akrab menjadi sahabat.

Tercenung sejenak. Kenapa tidak jika hal demikian aku abadikan dalam buku catatan. Agar ia kekal seperti yang Pram katakan bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Buku bagiku ialah cara kita menjelajah dalam dunia imajiner. Aku tak perlu lelah melangkah tertatih. Cukup kincir pikiran dijalankan agar tak karatan lantaran berpikir pun mesti diasah bak pisau agar tajam.

Sementara catatan yang aku siapkan sebagai media tulisan, ialah arsip perjalanan sekaligus pendokumentasian yang aku abadikan untuk mengenang dalam lembar peradaban.

***

        A Depi. Seperti yang telah aku jelaskan tempo lalu. Beliaulah yang menyilakan aku dengan senang hati rehat barang sejenak dan memanjakan kaki di hotel tempat ia menjabat sebagai GM (General Manajer). Meski jabatan beliau terbilang masyaallah, namun perhatian layaknya atasan terhadap bawahan tak menyekat dalam sekat-sekat sosial seperti yang sudah-sudah.

Aku tahu itu dari pengamatan dan membaca kenyataan tak tertulis. Bukankah membaca itu tak sekadar berkutat buku teks belaka tetapi juga peristiwa, kita pun membacanya dan merenungkan agar dapat dijadikan suatu pelajaran.

Tak lama A Depi menelponku. Ia memintaku untuk ke lantai bawah sarapan pagi. Sudah waktunya perut diisi. Gegaslah aku ke bawah dan menemui A Depi yang sudah menunggu dan mengarahkanku mengambil piring dan makanan nasi prasmanan. Ia menyilakan apa pun yang dimau ambil saja dan makan kenyang-kenyang.

Jelas sekali beliau amat paham untuk perjalananku nanti ke depan. Namun aku tak mau mendahulukan nafsu, sebab di depan aku pun mesti belajar dari sekarang bagaimana mengendalikan nafsu agar tak terbawa dalam arus yang melenakan. Lantas makanan aku ambil secukupnya dengan segelas air putih.

Sambil aku makan beliau mengajakku berdiskusi. Diskusinya seputar perjalanan, kekeluargaan dan lain-lain yang rasanya belum pantas aku tuliskan di sini. Dan setelah makananku habis beliau menyilakanku kembali untuk mengambil kopi. Lalu aku ambil kopi sebagai penyegar pikiran di pagi hari.

Setelah selesai makan, ngopi dan bincang pagi hari. A Depi kembali melanjutkan pekerjaannya sementara aku kembali ke kamar me-ngurung-kan diri dengan aktivitas rutinitas. Namun sebelum kaki beranjak pergi beliau menyampaikan pesan, “Raja nanti sore mau bareng, Aa, tidak ke Jakarta? Atau masih mau di Bandung dulu?”, ucapnya. Tanpa pikir panjang kembali aku membalas, “Raja bareng, Aa, saja ke Jakarta nanti sore.”

Hal ini aku sampaikan bukan tanpa pikir panjang. Semalam aku sempat menimbang apakah akan menetap di Bandung beberapa hari atau ikut ke Jakarta. Maka hasil keputusan aku pilih akan ikut ke Jakarta sebab materi yang tersisa sudah menipis. Di Jakarta, aku akan lebih leluasa mengatur materi karena sekali lagi aku bersyukur sebab di sana banyak saudara.

Selang itu, kakiku sudah menaiki tangga menuju kamar dan rebahan di atas kasur nan empuk. Sesekali menyalakan TV barangkali di sana aku mendapati setidaknya hiburan plus informasi. Ternyata setelah tombol remot aku klik mengganti siaran demi siaran tak satupun aku dapatkan acara TV yang menyuguhkan seperti yang aku minta.

Kembali lagi, aku meneruskan membaca buku Agustinus Wibowo, “Garis Batas.”

***

        Dzuhur telah berlalu. A Depi entah jam berapa akan menelpon untuk berkemas menuju Jakarta. Tapi sebelum beliau memintaku berkemas aku sudah berkemas. Sehingga ketika panggilan masuk aku tidak kerepotan merapikan barang.

Namun tubuh yang terlalu enak rebahan dengan buku yang sengaja aku telungkupkan di atas muka agar cahaya tidak masuk ke mata. Tiba-tiba terlelap tak sadarkan diri. Iya. Aku tertidur dan aku bermimpi. Mimpinya itu tak aku ingat lagi.

Aku terbangun ketika dering telepon masuk ke ponselku berkali-kali dari A Depi. Astaga! Betapa bersalahnya aku melenakan diri begitu saja tanpa mengindahkan janji. Tapi apa boleh buat tubuhku tak bisa distel apakah ia harus tidur atau tidak. Kemudian langsung aku menghambur merapikan tas dan gegas ke bawah.

Sesampai di bawah aku cek-out lalu menghampiri A Depi yang sudah menunggu di mobil bersama istrinya. Aku merasa amat bersalah, tetapi di satu sisi kejadian ini sangat alami dan tak dibuat-buat apalagi disengaja seperti para pemain sandiwara dipanggung kekuasaan.

A Depi tentu menerima atas maafku. Aku langsung saja mengatakan, “Tadi Raja ketiduran, A”, dan dijawab “Tak apa, namanya juga lelah.” Baiklah jika begitu dan kami berangkat meninggalkan Bandung – Dago menuju Jakarta, Ibukota sekaligus kota metropolitan yang kebanyakan orang-orangnya amat militan berjibaku dengan kerja, kerja dan kerja.

Sepanjang jalan aku melihat banyak pembangunan berderet di tepi lintasan. Gedung-gedung mulai tegak dan sawah-sawah rakyat dibabat. Entah melalui rundingan damai atau perseteruan aku pun tak tahu. Yang jelas aku melintas menyaksikan dengan lepas bahwa sawah-sawah sudah amat sedikit disabit.

Jika menyelami mengenai arah pembangunan ini, ranahku agaknya belum sampai ke sana. Apa dayaku hanya duduk di atas mobil yang melaju kencang di tol layang terpanjang di Indonesia. Kabarnya tol ini berhasil dibangun atas persetujuan negara Indonesia dengan pihak swasta. Dan negara kita, Indonesia, mendapat kebagian untung yang tak sebanding.

A Depi bersama Istrinya di sore nan syahdu dengan gemuruh ban dan angin melafazkan lantunan dzikir pagi-sore, yaitu al-Ma’Tsurat bersama-sama. Aku yang menyaksikan senyum sekaligus terbesit, “Alangkah indah kelak jika bersua dengan seorang istri satu visi satu misi yang saling mendukung segala potensi, sehingga gagasan dapat dikembangkan secara bersama.”

Tak sampai 3 jam perjalanan mobil sudah mendekati gerbang tol Ibukota, Jakarta. Dari sana barulah kami memasuki jalanan kota yang padat merayap lantaran banyaknya kendaraan pulang-pergi ke rumah sehabis kerja. Malam yang tak bisa dibendung menampakan cahaya kota yang benderang kerlap-kerlip lampu jalanan.

Di tengah kemacetan yang sedang berselang, A Depi menepi untuk berbuka. Kemudian kami singgah di sebuah warung makan yang cukup ternama di Jakarta ialah Bebek Bakar. Posisinya tak jauh dari Depok. Di sana kami menunaikan dan makan bersama. Sekali lagi, alangkah bersyukurnya dengan segala kebaikan Tuhan pemilik semesta.

***

        Mobil tiba di depan gang kediaman Kakak dari Ibuku. Letaknya di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Aku pun berpamitan dengan A Depi beserta istri yang sudah sudi mengantar.

Dengan motor aku ke dalam bersama A Djafar. Setiba dikediaman aku bersua dengan Kakak Ibuku. Bersalaman lalu banyak berbincang seputar perkembangan pendidikan selama di Kota Jogja, kabar Ibu di kampung halaman juga tujuan perjalananku tentunya.

Dengan keteguhan yang sudah aku persiapkan dengan matang aku melewati pertanyaan dengan penjelasan yang sederhana dan mudah dipahami. Toh tak semua orang yang mengetahui apa itu backpacker atau backpacking dan sejenis  lainnya. Kala itu aku cukup bilang saja, “Ingin melihat Indonesia dari dekat, mencari pengalaman, saudara baru dan menambah wawasan dari negeri orang.”

Tentu Kakak Ibuku mengangguk mafhum. Aku pun turut mendoa agar beliau lekas diberi kesehatan. Karena kala aku ke rumah, Kakak Ibuku sedang dalam keadaan sakit. Semoga beliau ditabahkan dan penyakitnya diangkat atau setidaknya menjadi penggugur dosa-dosanya. Dan di sini aku pun kembali bersua dengan sepupuku, Faiz dan Alika. Mereka sudah besar bahkan lebih besar badannya daripadaku.

Tanpa berpanjang sejak aku datang. Kakak Ibuku juga Kak Yus yang ada di sana menyilakanku istirahat. Lalu malam yang cukup larut membuat tubuhku lelap dalam tidur. Kemudian keesokan harinya aku melanjutkan perjalanan menuju rumah Kakak kandungku di Bojong.

Akhirnya aku pun tiba di Ibukota, di rumah Kakak Ibuku bersua dengan saudara lama. Bukankah bersilaturahim dapat memanjangkan usia dan merekatkan pertalian saudara. Aku suka sekali, suka kunjung-mengunjungi, karena hubungan kemanusiaan akan melekat amat erat dengan begini.

 

Bersambung!

 

Komentar