Backpacker; Mensyukuri Nikmat Tuhan dan Kejutan Semesta

 Bagian #3

            Aku mengenal istilah backpacker dari seorang pemuda gokil bernama Raffi Fuji Berkah. Aku tahu beliau ketika melihat salah satu postingan Djeladjah--kedai kopi pejalan--yang bermukim di Jogja. Di sana aku membaca poster Raffi bahwa ia akan jadi pembicara setelah melaksanakan perjalanan “gila”-nya ke India.

Kala di Gedung Merdeka, Bandung.

Aku tertarik kemudian timbul pertanyaan; “Bagaimana cara beliau melakukan perjalanan sendirian dan menjelajah lalu dapat beradaptasi dengan masyarakat lokal tanpa rasa takut?

Singkat cerita. Dari mendengar penjelasan Raffi aku semakin menggali dan memahami apa itu backpacker dan apa pula itu backpacking? Di Indonesia sendiri kata yang kerap digunakan adalah “pejalan.” Terlepas dari itu dengan sempitnya aku memahami backpacker adalah perjalanan membawa ransel dengan berjalan kaki atau menumpang kendaraan apa saja dan berbaur dengan masyarakat lokal.

Kata yang paling aku ingat: “Ingin mengenal Indonesia dari dekat.” Dan di sinilah penjelasanku mengenai backpacker dan backpacking secara singkat setelah ditulisan sebelumnya aku pun sudah janji akan menjelaskan ini dengan pengetahuanku yang masih dangkal tapi masuk akal.

***

            Dalam bahasa Indonesia kita sering mendengar kata “Pejalan”. Namun dalam bahasa Inggris kita familiar dengan kata “Backpacker” atau “Backpacking.” Nah, sebenarnya apa sih kedua istilah tersebut?

Menurut pemahaman dangkalku dan setelah membaca lalu memahami, kemudian aku nekat mengambil satu kesimpulan. Bahwa backpacker adalah orang yang membawa tas ransel dengan kebutuhan secukupnya; cukup memenuhi kebutuhan hidup tanpa memberatkan orang-orang di jalan. Kemudian orang tersebut meninggalkan zona nyaman menjelajah negeri orang menambah pengetahuan.

Menurut yang aku baca dari Kompasiana dan Wikipedia tentunya, backpacker berasal dari bahasa Inggris yang asal katanya ‘backpack’ atau ‘tas ransel’ sedangkan backpacker adalah orang yang membawa tas ransel.

Lalu apa pula backpacking tersebut? Dan backpacking dipahami sebagai wisata beransel kemudian membawa barang yang dikemas dengan seefisien mungkin.

Terlepas dari itu. Backpacker bagiku adalah menjelajah dengan tujuan jelas, yaitu menambah saudara, ilmu pengetahuan, pengalaman dan mengembangkan pola pikir kita dalam melihat dunia. Mengenal kebudayaan setempat, sejarah sampai dengan tradisi yang unik. Melatih diri agar lebih peka dan peduli terhadap sesama serta mampu memandang kehidupan dari sisi berbeda.

Maka dari penjelasan yang singkat di atas jika kawan pembaca masih kurang puas, bisa gali lebih dalam lagi dengan terus membaca, memahami dan renungi dari hasil bacaan yang telah dipahami. Dan di sini saya akan melanjutkan tulisan sambungan dari (Jurnal Langkah Kaki Bagian #2 – Melintasi Rimba Kota).

***

            Aku amat bersyukur mendengar kabar dari A Depi sepupuku yang menjadi GM (General Manager) di salah satu hotel Bandung – Dago. Di tengah ketaktahuan aku harus mengarah ke mana sebab materi yang sudah menipis, kejutan Tuhan datang mengalir tiada habis.

Kejutan semesta itulah yang ku tunggu. Tentu hal ini ada atas usaha dan bagaimana prasangka kita terhadap pemilik semesta alam raya. Jika dalam perjalanan pikiran kita selalu saja diliputi prasangka buruk, tentu hal yang buruk akan terjadi. Karena jelas, “Aku menurut prasangka hamba-Ku” dalam firman Tuhan.

Kemudian tak lama tubuhku melintasi rimba kota Bandung menaiki ojol. Sampailah aku di hotel yang dituju. Sejenak aku mengabarkan telah sampai dan balasan konfirmasi, “Langsung masuk saja ke dalam dan tunggu di ruang depan.” Aku dengan tertatih lekas ke dalam.

Sesampainya aku langsung masuk ke dalam dengan berjalan sedikit elegan menunjukkan bahwa aku bukanlah gembel nyasar yang meminta belas kasihan. Terlepas dari itu, perawakanku kala itu memang bisa dikatakan gembel karena jaketku berlambangkan bendera Indonesia di kanan dan Palestina di kiri sedikit lusuh, rambut jabrik terurai dengan topi sedikit kumuh dan tas ransel yang melebihi besar tubuhku.

Peduli apa aku dengan pandangan orang. Memangnya begitukah cara menilai orang. Melihat penampilan tanpa mau mengenal lebih dalam. Dan benar saja, tak lama aku disambut oleh A Depi yang sedang rapat kecil-kecilan.

Aku dihampiri, di temani menghadap resepsionis, letakkan tas di sana kemudian ditawarkan ke ruang makan untuk menambah asupan. “Wah, tahu sekali kalau saya sedang lapar”, ucapku dalam hati. Sementara A Depi kembali melanjutkan rapatnya dalam ruangan yang menyebelah denganku.

Kemudian aku yang duduk di ruang makan dihampiri oleh seorang karyawan membawakan daftar menu. Sekilas aku baca dan agak tercengang melihat harga. Namun seketika aku berpikir kembali, ini makan jauh lebih besar daripada isi kantongku. Tetapi tanpa pikir panjang aku pesan saja nasi ayam dengan minuman milkshake vanilla. “Bismillah menuju Alhamdulillah.”

Usai makan A Depi menemuiku. Ia pun usai pula rapat. Di sana aku bersalaman dan saling bertanya kabar sebab terhitung sudah dua tahun lebih kira-kira kami tak berjumpa. Beliau A Depi, anak dari Kakak Ibuku bagai abang kandung yang rindu dengan adiknya. Dengan perhatian penuh menanyakan apa tujuanku sebenarnya melakukan perjalanan ini?

Lantas aku jawab dengan kalimat singkat, padat dan jelas kemudian dengan sedikit uraian lubuk hatiku terdalam, “Aku melakukan perjalanan ini, A, sebab ingin melihat Indonesia dari dekat. Aku ingin menambah pengalaman, pengetahuan dan mencari saudara baru. Karena juga belajar tak sebatas duduk di bangku kuliahan, namun keluar berkelana dan menjelajah.” Dengan kutipan Minang yang selalu aku pegang, “Alam takambang jadi guru. Alam adalah guru kehidupanku.”

Dengan mafhum A Depi mengangguk. Ia pun menanyai kabar Ibu dan Ayah di kampung. Dan memberikan aku nasihat-nasihat agar tetap menjaga sholat. Sebab ujarnya, “Sholat itu penting. Sholat adalah tiang agama. Kalau tiang itu runtuh hidup tiada guna.” Beliau juga mengingatkan aku untuk selalu membaca al-Qur’an dan al-Ma’Tsurat bahkan kalau bisa menghafalkannya.

Selonjoran di Hotel.

Selepas kami berbincang lama. Mungkin air mukaku sangat menonjolkan kelelahan. Akhirnya A Depi memintaku untuk istirahat saja dahulu. Lalu beliau menemaniku kembali ke resepsionis mengambil tas sekaligus cek-in. Bukan main gembiranya, alhamdulillah aku bersyukur, perjalanan kali ini aku dapat istirahat di tempat yang agak nyaman.

***

            Aku larut dalam tanya. Tubuh lelahku seketika hilang sirna. Entah karena sudah tergerus oleh gembira atau kenapa aku tak tahu. Setibanya di kamar aku segera meletakkan tas dan membersihkan badan. Kemudian sore hari di Bandung yang gerimis membuat aku lebih tertarik membaca buku, menulis kemudian bersemedi menyaksikan kerlap-kerlip lampu kota yang mulai menyala.

Kebetulan aku membawa kopi AA Jambi. Di sana aku menyeduh menggunakan kompor yang aku bawa. Tapi tak salahkan memasak kopi di dalam kamar? Seketika saja aku bertanya demikian. Namun untuk pertama agaknya tak apa. Lagi pula aku bertanyanya sesudah kopi sudah dibuat dan kompor dikemas.

Kota Bandung – Dago amatlah indah. Apalagi jika di lihat dari kamar hotel lantai tiga. Jendela kemudian aku buka, deru mesin AC bergemuruh bersahutan dengan murattal al-Qur’an bersenandung merdu menjelang adzan magrib tiba. Buku ku buka, “Garis Batas – Agustinus Wibowo” yang menjadi bekal asupan literasi selama di jalan.

Buku dan pemandangan.

Buku itu aku pilih karena memuat kisah Agustinus mengembara di negara-negara Asia Tengah sana. Mulai dari Afghanistan, Tajikistan, Kazakhstan, Kirgistan dan tan-tan lainnya. Bercerita kala ia masuk jalur konflik yang dijaga oleh tentara perbatasan sampai dengan ketika beliau menyeberangi sungai Amudarya. Sungguh indah dan memikat jiwa membuat langkahku semakin menggebu menuju laskar pelangi – Belitung.

Berselang itu malam mulai datang sementara magrib dan isya telah aku tunaikan. Ketika berselancar di atas gawai tiba-tiba ada DM masuk dari salah satu orang, pejalan, namun tak aku kenal. Namanya Andre. Ia menayakan kabar dan posisiku untuk kemudian hendak singgah berbicang barang sejenak.

Tentu aku menyambut baik. Sebab esensi perjalanan adalah kejutan semesta. Tetapi aku tak menyebutkan kebetulan karena tentunya ini semua sudah masuk dalam skenario Tuhan. Lantas obrolan kami berlanjut di WA dan Andre singgah di hotel tempatku menginap.

Padahal kala itu Bandung – Dago tengah diguyur hujan. Namun ia tetap memaksakan singgah di sini. Setibanya aku langsung menyuguhkan kopi AA Jambi. “Tanpa gula”, ucapnya. Di sana kami saling bertukar cerita satu sama lain. Cerita yang aku ingat dari Andre adalah wilayah tempat tinggalnya yang kerap kebanjiran karena pengelolaan sampah yang masih kurang alias kebanyakan masyarakat membuang sampah ke sungai. Akibatnya air meluap dan membanjiri sebagian desa yang terkena imbasnya.

Kemudian ketika hujan sudah cukup reda, Andre mengajak makan di luar. Ujarnya, “Sekalian melihat Bandung – Dago kala malam.” Walau lelah ajakannya aku penuhi karena kejadian ini entah kapan terulang lagi.

Lalu kami makan pecel ayam di emperan kaki lima. Sampai makanan habis dan cerita sudah mengembara sampai mengemukakan tujuan perjalananku. Ia menitipkan doa kepada Tuhan semoga aku tetap baik-baik saja di jalan.

“Terima kasih Andre sudah mengajak saya makan pecel ayam di Dago,” sambil melambaikan tangan ke Andre yang hendak pulang selepas mengantarkanku kembali ke hotel.

 

Bersambung!


Komentar