Bagian #2
![]() |
Kumpulan foto di sepanjang jalan menuju Masjid Raya Bandung. |
Beda dengan rimba raya
penuh hewan, pepohonan dan kicauan burung saling bersahutan. Di kota
metropolitan aku banyak mendengar deru suara kendaraan, asap mengepul dan
beton-beton tertanam sepanjang tepian jalan.
Sebut saja metropolis. Wilayah
perkotaan yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan, industri dan
perdagangan. Di sini, semua rupa nampak amat jelas antara kalangan pengendara dan
pejalan kaki. Antara ojek pangkalan sampai ojek online (ojol). Dan aku, berada diantara pejalan kaki yang
memanfaatkan fasilitas trotoar.
***
Jalan kaki aku rasa pilihan
tepat walaupun jarak tempuh terbilang lumayan. Tak kalah juga dengan pengalaman
nantinya di depan yang tentu jauh dari kata lumayan. Apalagi di kota, berjalan
nampaknya lebih menarik namun jelas, di kota aku tak akan mendapat tumpangan
dari pengendara yang berlalu-lalang lantaran aku pun tak akan mengacungkan tangan.
![]() |
Tampak depan Stasiun Kiaracondong. |
Terhitung dari google maps gawaiku, Stasiun
Kiaracondong – Masjid Raya Bandung berjarak 6 km. Di sana tertulis jika
ditempuh menggunakan kendaraan bermotor memakan waktu 18 menit tetapi jika
hendak berjalan cukup 1 jam. Sedangkan kenyataan yang aku hadapi, perjalanan
memakan waktu 1 jam 45 menit dengan tambahan istirahat dan berbincang pada tiap
orang yang aku temui di jalan.
Pada etape pertama berjalan,
aku survei rute dan bertanya pada tukang ojek pangkalan juga petugas pom bensin.
Setelah cukup informasi aku langsung gegas perlahan menyusuri rimba kota dengan
hiruk pikuk dan bising kendaraan. Pelajaran bagiku ialah bahwa mempelajari rute
tak cukup berkiblat kepada gawai di tangan, juga kepada masyarakat sekitar yang
lebih tahu dan paham seluk beluk kota.
Berbicara Bandung dengan
sebutan lautan apinya, dahulu TRI (Tentara Republik Indonesia) dan rakyat
sengaja membakar Bandung. Hal ini dilakukan semata agar sekutu dan NICA
(Netherlands-Indies Civiele Administration) tidak menjadikan Bandung sebagai
markas strategis militer. Tentunya dalam sebuah perjuangan sangat dibutuhkan
yang namanya pengorbanan. Kala itu, Bandung menjadi lautan api tepat pada
tanggal 23 Maret 1946.
Sebelum lautan api
terjadi di Bandung akibat faktor ketakrelaan rakyat dan TRI. Tercetuslah satu keputusan
bernama operasi bumi-hangus yang disepakati melalui musyawarah MP3 (Majelis
Persatuan Perjuangan Priangan).
Dalam ingatan sejarah
tersebut, aku melanjutkan perjalanan ke etape berikutnya. Etape ini terbilang
menguras tenaga. Sehingga aku banyak rehat di bangku fasilitas umum atau di
kios yang belum buka, dan kadang juga duduk dipinggiran trotoar yang bisa kaki
berselonjor.
***
Mentari
pagi ternyata cukup membuat peluh tubuhku lekas menetes. Padahal pagi di
Bandung belum seberapa. Tetapi maklum jua, bahwa beban yang aku bawa bagai orang
hendak lari dari rumah dengan tas ransel berisi segala keperluan (lemari
berjalan). Tapi ini bukan lari dari rumah ya, namun backpacking saja mengisi waktu luang kuliah.
(Perihal backpacking ataupun backpacker, di tulisan selanjutnya insyaallah akan coba sedikit
banyak aku ulas menurut pemahaman dangkal ini).
Hingga di depan jalan,
aku menyaksikan seorang Bapak menaiki kursi roda modifikasi dengan kondisi
fisik yang tak lagi sempurna. Di sana aku tertegun menyaksikan cuplikan
peristiwa nyata. Mengapa aku yang hidup dengan fisik lengkap acapkali malas dan
kehilangan gairah perjuangan? Begitu nistakah aku ini? Aku termenung sejenak
dipinggiran jalan.
Dan ketika aku melintasi Kiara
Artha Park, aku rehat sejenak sambil berbicang dengan Pak Sobri (bukan nama
asli) yang menggantungkan hidup pada hasil mengepul botol plastik. Beliau asal
Malang, Jawa Timur yang sudah merantau di Bandung kurang lebih selama 13 tahun.
Istri beliau telah wafat dan meninggalkan 4 orang anak. Beliau bercerita sangat
hangat sekali kepadaku bagai bukan orang asing yang patut dijaga lisan dan
tindakan.
Dari tuturan beliau,
sehari-hari bahkan beliau bisa berjalan sejauh 10 km dengan waktu tempuh 2 jam.
Belum ketika beliau kembali ke rumah yang tentunya juga berjalan. Bagiku, hal
ini tentu sangat melelahkan. Namun bagi beliau, hal ini adalah perjuangan
penghidupan dan pertarungan di kota metropolitan. Kembali aku tertegun bahwa
banyak orang-orang di luar sana yang tetap tabah meski dilanda getir hidup nan
amat pelik.
Setelah rehat aku
melanjutkan perjalanan melewati Pasar Kosambi. Di sini toko sepatu sampai emas
berjejer sepanjang jalan. Rutinitas berjalan kondusif dengan kemacetan yang tak
terlampau, agaknya memang wajar kalau Bandung diakui dengan tata ruangnya yang
begitu indah. Hingga aku menyusuri jalan Asia Afrika dan mengabadikan momen di
depan gedung Museum Konferensi Asia Afrika.
Berbicara konferensi Asia
Afrika atau disebut pula sebagai Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika yang
pernah terselenggara pada tahun 1955, menyisipkan sebuah kesepakatan 29 negara
yang turut hadir masa itu dan menegaskan tujuan, bahwa konferensi ini bertujuan
mempromosikan kerjasama ekonomi, kebudayaan Asia-Afrika dan melawan praktik
kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara
imperialis lainnya.
Maka setelah momen
terabadikan, mengamati dan membaca sejarah. Pelajaran hidup amat terasa dan
merasuk kalbu. Belajar tak semata duduk diam, namun berjalan dan merasakan. Tak
terasa langkah gontaiku mendekati Masjid Raya Bandung.
Selepas menyusuri lorong
Asia-Afrika bertuliskan: “Dan Bandung
bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan,
yang bersamaku ketika sunyi.” – Pidi Baiq & “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.” – M.A.W.
Brouwer. Tibalah aku dipelataran Alun-Alun Bandung yang menyebelah dengan
Masjid Raya Bandung.
***
Waktu sholat Jumat baru akan mulai beberapa jam ke depan. Sejenak aku menikmati terlebih dahulu suasana Alun-Alun Bandung dengan rumput sintetisnya yang eksotis sekaligus menjadi ruang ramah anak. Sambil sesekali menyaksikan masyarakat lokal menjajakan barang dagangannya juga wisatawan yang datang berkunjung.
![]() |
Bagian dalam Masjid. |
Setelah dirasa cukup
menikmati suasana Alun-Alun Bandung yang tak begitu istimewa bagiku. Aku
langsung mencari kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap menunaikan
kewajiban. Berselang itu lantunan murattal
al-Qur’an bersenandung merdu, aku lekas menuju ke ruang dalam masjid membawa
tas ransel sekaligus menitipkan gawai di tempat penitipan dan men-charger-nya.
Saf aku ambil bagian
belakang ruang utama dekat imam berkhotbah. Menyoal ruangan, Masjid Raya Bandung
terbagi oleh beberapa ruang nan amat luas. Perkiraanku, kemungkinan masjid ini
mampu menampung orang satu kecamatan. Entah pastinya berapa aku tak lagi peduli
karena diriku yang begitu tak ada artinya ini memilih bersimpuh tenang di dalam
rumah Tuhan yang menyejukan.
Khatib naik mimbar dan
berseru menyampaikan pesan agar manusia menjadi seorang yang bertawakal kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Seruan itu amat lantang. Tak terlepas diriku yang
kelelahan mesti kuat menahan kantuk godaan ketika khotbah berlangsung.
Sayup-sayup suara khatib pun sedikit banyak menyadarkan dan mencoba menepis
kantuk berat ini. Kemudian iqamah dan sholat Jumat berlangsung.
Masjid Raya Bandung penuh
sesak dipadati orang-orang dari berbagai penjuru kota. Baik masyarakat lokal
maupun wisatawan semua berbaur jadi satu. Tak terlepas pula hal yang sangat
disayangkan ketika para pedagang berjualan melewati batas etika dan norma yang
berlaku. Memang hal ini adalah hak, tetapi etika tetaplah mesti dijaga sebagai
bentuk toleransi terhadap bangunan suci.
***
Selepas menunaikan kewajiban, selanjutnya aku kembali memetakan
rute perjalanan. Awalnya aku akan singgah di Nusa Layaran yang terletak di
Jalan Cukangkawung. Namun karena kondisi tidak memungkinkan akhirnya aku
memilih singgah di tempat saudara, yaitu anak dari Kakak Ibuku.
Dengan sisa materi yang
ada, aku pilih naik ojol karena sudah tak sanggup lagi melangkah. Hal ini
karena sudah etape akhir di hari Jumat ini. Lokasi tujuanku adalah Dago,
tepatnya di salah satu hotel. Betul, hotel. Nampaknya aku patut bersyukur akan
bisa rehat di hotel sekaligus menjadi pengalaman pertama kali.
Sementara ojol belum
datang, tiba-tiba seorang mahasiswi menuju ke arahku. Ternyata mahasiswi ini
menawarkan suatu produk minuman. Aku sungguh apreasiasi dengan kreatifitasnya
di tanah rantau. Namun sangat sayang memang, aku tak sanggup membeli produknya
karena budget yang tersisa hanya
cukup untuk naik ojol dari Masjid Raya Bandung menuju Dago.
Berselang mahasiswi itu pergi tak lama ojol pun datang. Dalam kondisi badan letih, tubuh tipis berbungkus tulang pun dibawanya melintasi jalanan kota menuju Dago dengan waktu tempuh 15 menit saja.
Dan aku berpikir, “Akhirnya aku bisa mengisi ulang tenaga
ketika sampai di hotel nanti. Dan tentunya ini akan menjadi pengalamanku
pertama kali bisa rehat di hotel yang nampaknya akan menjadi pengalaman tak
terlupakan.” Wajar memang, sebelum itu aku tidak pernah mencoba apalagi
bermimpi.
Bersambung!
Kerennn
BalasHapusYang bilang keren juga keren.
Hapus