Bagian #1
![]() |
Kiri Radit dan kanan Abid saat foto bersama depan gapura stasiun. |
“Tulisan tertinggal, diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa, menginspirasi anak, cucu, buyut. Lalu lahirlah
petualang-petualang muda, yang menggenggam tulisan warisan kuno laksana nubuat,
melakukan napak tilas dan melihat kembali bagaimana zaman berlayar.” -
Agustinus Wibowo
Pilihan sudah diputuskan. Aku pilih melangkah, menjelajah meninggalkan
zona nyaman dan menuliskan dengan tinta peradaban dalam lembar yang kelak kupersembahkan
kepada anak-cucuku nanti. Meski entah kapan, namun untuk memandang agaknya perlu
melibatkan angan hari depan dalam rancang berpikir sedari sekarang.
Liburan tak lain hanyalah waktu luang. Sedangkan
pergi berlibur artinya segala hal mesti dikorbankan dan kebutuhan mesti dipersiapkan
jauh sebelum libur itu datang. Hingga pada suatu perenungan, aku memutuskan Bangka Belitung sebagai pilihan penjelajahan.
Setelah pikir panjang, backpacker jadi modeku dalam langkah ini dan melandasinya sebagai
gaya jelajah budaya, sosial dan sejarah sebagai basis yang dipadukan
keingintahuan mengenal masyarakat dan tanah air dari dekat.
Bangka Belitung sendiri aku pilih sebab ia masyhur
sebagai provinsi timah terbesar di Indonesia. Ladang kekayaan yang semestinya
memperkaya negeri kita dan mensejahterakan rakyatnya. Disamping itu aku pun
hendak mengukir mimpi di laskar pelangi, Belitung.
***
Bulan Januari
di Jogja agaknya tak terlalu istimewa. Ditambah menyaksikan sistem kampusku yang
berbeda dari kampus lain menjadikan suasana tampak tak begitu menarik. Apalagi
semenjak ujian akhir semester memasuki pekan kedua. Sunyi mulai terasa. Namun jauh
sebelum ujian tiba, aku telah merencanakan agar libur mendatang dapat melangkah
dan menyambangi negeri Bangka “Serumpun Sebalai”.
Aku punya seorang kawan asal Bangka bernama
Akbar. Sahabat satu universitas, satu fakultas dan satu kelas. Suatu waktu aku pernah
bertanya padanya, “Bar, nanti liburan kau pulang ke Bangka gak? Kalau iya,
nanti aku mampir ya di rumahmu.” Waktu itu ia menjawab ragu pulang atau tidak.
Hingga hari ujian kampus sudah mendekati mata kuliah terakhir barulah jawaban
tegas aku dapatkan, bahwa ia akan pulang ke Bangka.
Selekasnya segala persiapan dan kebutuhan aku penuhi.
Mulai dari mempelajari peta wilayah dan rute perjalanan, mempersiapkan alat
keperluan, mengecek akomodasi apa saja yang aku naiki dan tak lupa mempersiapkan
budget yang akan aku gunakan. Sebelum
berangkat logistik terlebih dahulu aku penuhi sebagai bekal salama awal
perjalanan, pertengahan dan syukur-syukur sampai akhir.
Ternyata setelah dihitung-hitung belanjaan logistik
cukup banyak memangkas modal awal perjalanan. Apa boleh buat, lagi pula
logistik inilah penopang kebutuhan perut di jalan, dan mengenai picis yang
tersisa aku mesti hemat-hemat penggunaannya atau bisa dikatakan lebih bijak.
Sisa kelebihan dana langsung aku belikan tiket kereta yang harganya cukup
terjangkau. Yogyakarta, Stasiun Lempuyangan – Bandung, Stasiun Kiaracondong
dan aku pilih tanggal keberangkatan pada 6 Februari 2020.
Abid telah membantuku dalam hal pembelian tiket
kereta api melalui aplikasi gawainya. Tentunya kelas yang aku pilih adalah
kelas ekonomi. Kala itu cukup 80k sudah membawa diri seorang ini melintasi rel Jawa dengan waktu tempuh selama 7 jam 22 menit.
Dan setelah segala persiapan aku rasa sudah
cukup, apalagi niat pun sudah diluruskan. Tak lupa restu kedua orangtua aku butuhkan
sebagai pintu keselamatan kelak selama di jalan. Sebab tanpa doa restu beliau
apalah aku hanya belulang lapis daging yang terlahir ke dunia lantaran mereka,
Ibu dan Ayahku.
***
Tibalah
pada waktu keberangkatan. Tak terasa aku akan meninggalkan kota istimewa ini
sejenak. Selepas Isya ketika sayup malam mulai terasa. Abid, Radit dan Livia
mengantarku ke stasiun Lempuyangan.
Kereta Kahuripan belum tiba di Lempuyangan. Sementara
waktu masih ada setengah jam sehingga meluangkan kami bernostalgia di pelataran
stasiun yang ramai penumpang lalu-lalang hendak masuk-keluar. Canda tawa lebur
malam itu hingga menyisakan kenangan bagi kota yang akan selalu aku rindukan.
Dan ketika dalam suasana senang, panggilan untuk penumpang Kahuripan tiba.
![]() |
Peron stasiun Lempuyangan. |
Tak lupa sebelum pamit aku mengabadikan momen di
depan gapura stasiun bertuliskan “Stasiun Lempuyangan” yang dipotret oleh Livia
melalui lensa gawainya. Selesai itu, aku langsung bergegas memasuki peron
stasiun dengan kereta yang sudah berhenti menanti kaki-kaki penumpang yang siap
melaju menuju Bandung dengan sejarah lautan apinya. Malam sunyi memisahkan kami
sementara.
Kereta melaju, masinis tahan kantuk siap menembus
kelamnya jalur rel kereta api yang dibangun oleh bangsa Jawa kala masa
penjajahan kolonialis tempo dahulu. Sedangkan aku, mesti rela duduk tegap di
kursi kelas ekonomi yang dinyaman-nyamankan untuk setidaknya memejamkan mata. Walaupun,
mata tak kunjung mau terpejam karena sebentar-sebentar kepala yang tak mendapat
sandaran oleng tak tentu arah menghambat mimpi yang datang tanpa permisi.
Kereta api yang tengah aku naiki ini dahulu
adalah akomodasi lokomotif masyarakat kelas atas dan bawah tempo lalu yang dirancang
oleh seorang Eropa bernama George Stephenson. Dahulu kereta api dijalankan
dengan bahan bakar batu bara. Dan kini kereta uap yang bertranformasi menjadi
kerera api itu lebih maju dengan banyak perubahan baik pada sisi bahan bakar
maupun kelas-kelas seperti kelas ekonomi, bisnis dan eksekutif.
Sepanjang perjalanan suasana bangku yang aku duduki
sunyi obrolan, terlebih diskusi. Malam nampaknya membuat para penumpang lelah
setelah siang harinya menghabiskan waktu panjang di Malioboro. Tak apalah,
mungkin nanti menjelang subuh akan ada obrolan. Mengenai hal ini sangatlah aku butuhkan
untuk setidaknya mendapat informasi mengenai Bandung dan hitung-hitung menambah
saudara.
Kemudian tak berapa lama setelah kereta melintasi
rel Jawa beberapa jam membelah malam. Saat berhenti di stasiun Banjar, barulah
para penumpang turun menikmati hidangan kopi, ngaso dan subuhan
sendiri-sendiri. Di sana pula saya dapat sedikit memecah ketegangan selama
perjalanan bersama kawan sebangku. Namanya Dwi, bukan perempuan tetapi
laki-laki. Ternyata beliau adalah kawan dari temanku Zul orang Tulungagung. Tak
menyangka memang.
***
Kereta
api Kahuripan telah tiba di Stasiun Kiaracondong. “Assalamu’alaikum Bandung”,
ucapku dalam hati setelah sekian lama tak menjejakkan kaki di sini dan terakhir
kala itu pada masa SMP kelas delapan. Itupun kunjungan study tour dari sekolah semasa aku mengeyam pendidikan di Jakarta.
Tak menyangka memang. Tetapi bukankah perihal
perjalanan selalu begitu. Penuh ketaksangkaan dan kejutan-kejutan tak terduga. Tiba-tiba
Dwi menyapaku dan berpamit menuju pintu depan stasiun karena akan segera
dijemput saudaranya. Sedangkan aku masih menikmati obrolan dengan salah seorang
teman sebangku lagi bernama Mas Bono yang ternyata, beliau adalah temannya Mas
Arsal Bahtiar.
Berselang beberapa menit, beliau dijemput pula
oleh temannya dan beliau bilang, “Kalau ada apa-apa kabari saja saya. Kebetulan
saya sedang ada proyek di Bandung.” Itulah Mas Bono, berprofesi sebagai
perancang bangunan. Sedangkan aku masih mahasiswa yang saat ini tengah merancang
akan ke mana kaki hendak dilangkah karena memang tak ada siapa-siapa yang akan
menjemputku.
Sedih memang. Namun disisi lain aku senang akan
bersua kejadian manis di depan yang sama sekali tak aku ketahui seperti kejutan
semesta. Terpenting pilihan yang aku pilih adalah niat penuh syukur. Hingga
menimbang keputusan, berdialog dengan diri sendiri dan kembali mempelajari rute
yang akan aku lewati. Akhirnya aku memutuskan jalani dengan titik tujuan awal
Masjid Raya Bandung yang terletak di Alun-Alun Bandung dan menyebelah dengan
Asia Afrika.
Setelah menggali informasi dari masyarakat sekitar
stasiun sampai dengan menanyai tukang ojek dan penjaga pom bensin. Ternyata
untuk akses menuju sana membutuhkan akomodasi angkot dua kali naik dan tentunya
akan memangkas keuanganku. Kembali menimbang dengan mengukur jarak waktu dan
jarak tempuh. Dan setelah melihat suasana masih pagi di Jumat yang berkah Kota
Bandung ini, aku memutuskan berjalan kaki.
Betul. Jalan kaki adalah pilihanku. Disamping
suasana masih pagi, jarak tempuh pun hanya memakan beberapa jam. Lagi pula hal ini
sekaligus menjadi pemanis perjalanan sebab aku dapat menyaksikan Bandung dari
dekat.
Kiranya ke depan, aku dapat pula melihat bagaimanakah
pola masyarakat di sini dan hal apakah yang aku temukan nanti. Tentunya pengalaman
ini menjadi nilai lebih dan sisi lain perjalanan yang tengah aku jalani ini.
Bersambung!
Komentar
Posting Komentar