Sejarah Silungkang Jadi Pemantik Semangat Juang Kaum Muda Desa


               

            Silungkang, nagari kecamatan yang tegak di bawah payung dan naungan kepemerintahan Kota Madya Sawahlunto. Terdiri dari berbagai macam dusun dan desa. Melingkupi segala sisi yang masing bagian memiliki panorama alam nan indah, cekungan bukit nan molek, dan simpanan limpahan kekayaan alam serta surga tersembunyi yang sudah tergali maupun belum sama sekali.

Selain posisi strategis Silungkang yang berada ditepian jalan raya Sumatera serta tempat perlintasan pelancong berbagai kota. Sekaligus menjadikan nagari ini nampak mahsyur dan elok untuk ditinggali. Ditambah para masyarakat yang mandiri dan kreatif dalam pengelolaan barang kerajinan hingga melahirkan buah karya tangan yang bernilai tinggi dan dikenal seantero negeri. Sehingga membuat arus perkembangan ekonomi dan wilayah yang menjadi jalur perdagangan ini merangkak pesat.            

Silungkang kini tentu beda dengan dahulu. Nampak jelas bagi keawaman saya jika melihat segi pembangunan yang meningkat. Hal itu jelas ditandai dengan berbagai akses kemudahan yang sudah banyak dirasakan oleh masyarakat ini negeri.

Selain itu, sektoral pendidikan juga semakin maju. Dengan adanya SDI (Sekolah Dagang Islam) yang awal dahulu bernama Siloengkang Insitoet. Hingga adanya SD IT (Islam Terpadu) yang belakangan ini telah berdiri. Dan tak tertinggal pula Muhammadiyah yang menjadi sekolah pembaharu masa itu hingga sekarang. Pembaharu, karena ia tumbuh dari tangan Sang Pencerah bernama Muhammad Darwis atau dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan. Beliaulah yang mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912 di Yogyakarta.

Tanpa berpanjang. Di sini saya hanya hendak menyampaikan pandangan atas buku yang telah saya baca, yaitu buku “Silungkang dalam Lintasan Zaman” karya H. Sukri Husin St. Langik.

 

Pandangan Terhadap Buku Silungkang dalam Lintasan Zaman

            Setelah lama penantian. Akhirnya saya mendapati buku tersebut: “Silungkang dalam Lintasan Zaman; Dahulu, Kini, dan Masa Depan.” Begitu besar rasa penasaran saya terhadap budaya dan sejarah yang Silungkang simpan. Begitu takjub dan bangga saya terhadap sejarah nan gemilang pada masanya itu. Dan yang paling saya ingat adalah kala pemberontakan Rakyat Silungkang tahun 1926-1927. Hal itu saya ketahui saat membaca buku Tan Malaka “Dari Penjara ke Penjara.”

Saya tidak hendak menuangkan isi keseluruhan buku. Hanya saja saya hendak menyimpulkan dan mengambil sari dari pemahaman selama membaca buku tersebut. Pertama, banyak hal baru yang belakangan ini saya ketahui dari buku itu. Wajar saja karena saya tidak bertumbuh dari lingkungan yang menonjolkan kebudayaan Silungkang, bahkan saya luput dari edukasi perihal hal tersebut. Namun daripada itu, saya menepis gengsi untuk dapat terus belajar, membaca dan menggali sejarah nagari bertempat tinggal. Karena di sinilah saya temukan banyak sekali pengetahuan penting untuk diketahui.

Kedua, perjuangan nenek moyang orang Silungkang dahulu sangat kentara sebab langsung bersinggungan dengan kolonialis Belanda. Hal itulah yang menjadi sikap keteguhan mereka untuk bertahan dari ketertindasan. Jauh daripada itu, buku ini menjelaskan bagaimana asal-usul Nagari Silungkang terbentuk. Tentunya beragam versi dikemukakan sebab tak ada sumber penguat karena masa itu—awal perkembangan Nagari Silungkang setara dengan abad sebelum Islam masuk ke tanah Sumatera (Swarnadwipa)—selain dari naskah buku Adat Istiadat dan Monografi Silungkang karya Bapak Syahruddin S. Dt. Rangkayo Bosa.

Ketiga, pemuda Silungkang turut andil menjadi aktivis pergerakan masa itu. Mulai dari zaman kerajaan ketika hulubalang Silungkang yang dikirim untuk membantu kerajaan Melayu di Dharmasraya menghadapi kerajaan Singosari dari Jawa. Serta pemuda Silungkang pada masa pendudukan Belanda yang menentang kesewenang-wenangan kolonialis. Disamping kita ketahui, Silungkang pula menjadi daerah perlintasan kereta api pembawa batubara dari Batang Ombilin, Sawahlunto menuju Pelabuhan Teluk Bayur di Kota Padang.

Tanpa angka-angka. Sebenarnya banyak sekali yang dapat saya jadikan pemantik semangat perjuangan kaum muda. Banyak sekali pelajaran yang mesti saya pelajari dan berusaha untuk menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi diketahui bahwa Sarekat Islam pernah bertumbuh di sini. Andiko yang sangat dihormati dengan keluhuran budi dan tinggi pengetahuan. Serta kecemerlangan cadiak pandai dalam memutuskan masalah dalam kegentingan. Hingga perstiwa tahun 1926-1927 itu tejadi, akibat pemberontakan Rakyat Silungkang bersama Serikat Buruh Kereta Api lantaran Gubernemen yang menikmati beras sendiri dan melupakan pribumi.

Saat itu, terjadilah kelaparan dan krisis yang mencekik kehidupan masyarakat—terkhusus wilayah Silungkang—dan ketakutan akibat penindasan berubah menjadi keberanian yang digerakkan atas dasar satu tujuan: keluar dari ketertindasan mencapai puncak keadilan. Dan meletuslah pemberontakan yang diabadikan menjadi sebentuk tugu bernama “Tugu Perintis Kemerdekaan” yang diresmikan tahun 1947 oleh Drs. Moh. Hatta. Maka tugu itulah yang kini dapat kita lihat dan saksikan tepat berada di depan SDN 01 Silungkang Tigo, sekaligus menandakan bahwa di nagari kita: rakyat melawan!

Lalu tentang nagari kecil Silungkang masa itu yang mendapatkan pasokan listrik disamping nagari lain belum sama sekali mendapatkannya. Hal ini karena kedekatan salah seorang bernama Ibu Siti Salamah dengan wakil presiden RI pertama, yaitu Drs. Moh. Hatta yang mengenal baik salah satu warga Silungkang tersebut saat masa pengasingan di Boven Digoel, Papua.

Kemudian adapun mengenai sejarah khazanah rajutan tenun yang melahirkan songket Silungkang hingga memuncak ke taraf Internasional, adalah hasil mahakarya indah yang tercipta dari kepandaian para pemuda-pemudi Silungkang yang menarik banyak pendatang untuk sekedar belajar maupun bekerja.

Ketokohan Sosok Masa Lalu Silungkang yang Terkenang

            Sebagaimana dahulu saat kolonialis Belanda datang ke Nusantara mengeksploitasi lantaran mengincar kekayaan alam yang melimpah. Sawahlunto tak luput menjadi pusat perhatian karena menyimpan emas hitam yang ditemukan pada awal ekspedisi oleh De Grout kemudian diteruskan oleh De Greve di tahun 1858. Lalu Silungkang, ialah wilayah perlintasan yang tentu turut merasakan imbas praktik kolonial tersebut.

Persinggungan demi persinggungan yang terjadi oleh praktik kolonial, melahirkan kemarahan laskar rakyat yang tak tinggal diam melihat tindak kesewenangan. Para penggerak terus berupaya bagaimana cara memberontak dan berjuang demi kesejahteraan dan keadilan.

Salah satu dari ketokohan perempuan yang paling terkenang saat itu adalah sosok Ibu Siti Salamah yang dijuluki Srikandi Silungkang. Beliau perempuan yang turut bergerak dalam pemberontakan rakyat Silungkang. Pemberontakan, terjadi lantaran keterdesakan bahan pangan sehingga rakyat Silungkang dan sekitarnya tidak mendapat jatah pangan.

Kemudian diikuti oleh Yusuf Rajo Kociak yang terlebih dahulu diasingkan ke Boven Digoel, Papua. Sekaligus beliaulah yang merupakan aktivis di organisasi Sarekat Islam. Kala itu beliau sudah diasingkan terlebih dahulu sejak tahun 1926 sebelum pecahnya pemberontakan karena diduga oleh pemerintah kolonialis bahwa beliaulah yang akan mengakomodir pemberontakan. Hingga pada akhir hayatnya, beliau wafat di Aur Duri saat berjibaku dengan kolonialis sebab mempertahankan hak.

Pemberontakan ini tak luput dari sejarah kepemimpinan Bapak Sulaiman Labai yang tentunya beliau sekaligus dikenang sebagai pahlawan Silungkang. Dalam kutipan buku Silungkang dalam Lintasan Zaman, “Melihat kondisi yang demikian para pemimpin perjuangan diwaktu itu berpikir lebih baik mati berkalang tanah, daripada melihat anak kemenakan mereka mati kelaparan.” Hingga hal inilah faktor penguat yang menjadi pokok tonggak semangat perlawanan. Dan tak lupa juga bahwa peran ketokohan Buyung Sutan Sinaro sebagai salah satu yang diasingkan ke Boven Digoel, Papua. Turut mewarnai semangat perjuangan rakyat Silungkang.

Adapun selama pemberontakan. Adanya orang-orang yang berjuang hingga titik darah penghabisan kemudian menemui ajal ke hukum gantungan. “Semoga beliau yang telah berjuang di masa lalu dapat menularkan api semangat kepada pemuda masa kini dan hari depan.” Yang diantaranya ialah, Bapak Kamarudin Mangguluang, Yusuf Sampono Kayo dan Pokiah Ibrahim (Padang Sibusuak).

Dan sederet perjuangan di Silungkang yang dapat menjadi poros semangat anak muda masa kini. Antara lain saat Zaman Gajah Tongga Koto Piliang dengan para hulubalangnya yang terdiri dari pemuda untuk dikirim menghadapi kerajaan Singosari yang hendak menaklukan kerajaan Melayu di Dharmasraya kemudian mereka prajurit pemberani membangun benteng pertahanan di Lembah Kupitan. Saat Perang Rajo Sitimbago yang hendak pula menguasai nagari Silungkang hingga bergabungnya elemen dari Kubang dan Padang Sibusuak. Lalu saat agresi Belanda 1948-1949 dan PRRI 1958-1961.

Maka secara garis. Romantisme sejarah ini hendaknya tidak sekedar dikenang namun dapat menjadi bahan pembelajaran bagi kita pemuda di masa kini. Lalu kita dapat mentadabburi untuk turut pula mengambil hikmah di dalamnya dan menyerap sebagai pokok kesadaran karena telah dibuai oleh era globalisasi.

Pembahasan ini tentu sangat singkat sekali, dan penulis hanya meneruskan dan menuliskan atas apa yang dipahami. Jika ingin lebih tahu kedalaman isi buku tersebut. Saya rasa di Silungkang sudah ada lembaga dan instansi yang menyimpan literatur sejarah yang dapat dibaca oleh khalayak terkhusus masyarakat Silungkang.

Bukan hal yang ditutup-tutupi lagi mengenai sejarah ini, karena ini penting maka sudah semestinya diperkenalkan dan disosialisasikan. Guna kelak mencetak generasi yang berjiwa pejuang. Yang menyelaraskan adat istiadat, kebudayaan dan keadaan. Bagi saya sendiri, meskipun buku tersebut tidak memuat secara mendalam, untuk pengenalan dasar sudah sangat bermanfaat sekali. Apalagi buku tersebut dalam perjalanannya ditulis dan dikisahkan oleh H. Sukri Husin St. Langik dengan narasumbernya H. Munir Taher Rahimahullah dan Syahruddin S. Dt. Rangkayo Bosa yang telah banyak mengetahui perihal kesejarahan terkhusus Silungkang.


Tabik!

Komentar