KELAS ALAM TAMAN BACA RIMBA

 #Bagian 1

        Pengalaman hadir karena dicari bukan dikutuki datang sendiri. Apakah benar? Pengalaman tak berlabel harga namun ratusan gram emas belum tentu mampu membandrol satu pengalaman. Apakah begitu?

Alam raya guru kami, tempat biji filosofi tumbuh meninggi. Di alam kami bebas berekspresi, berkarya, berinovasi, dan membuat apa saja yang kami inginkan. Di alam tawa kami alami tanpa diskriminasi. Di alam kami boleh bebas namun kami pun tahu batas.

(Kakak-kakak Taman Baca Rimba foto bareng adik-adik di Lubuk Talaok, Ahad, 15/11.)

***

        Saya bersyukur masih diberi kesempatan berbagi ceria dengan adik-adik sudut nagari. Kesempatan ini tentu merupakan tinta emas catatan pengalaman, yang kelak di masa depan akan ranum buah kenangan dan pengajaran. Kali ini saya hendak menuliskan secuil kisah dan cerita tentang rimba bertaman. Bukan bunga kiranya, melainkan buku berisikan lautan ilmu. Apakah gerangan? Adalah Taman Baca Rimba. Hadir untuk membuka lembar sejarah di Kenagarian Banai, Dharmasraya.

Taman Baca Rimba lahir dipelopori oleh pemudi asli Banai, Dharmasraya bernama Kak Novela (Co Founder) dan pemudi sekaligus kakak kami asal Bima, NTB bernama Kak Rahma (Founder). Mereka merupakan salah dua dari salah banyak pemuda-pemudi yang memiliki keresahan sama, yaitu miris melihat minimnya akses bacaan di desa, sistem pendidikan yang belum maksimal, dan fasilitas yang belum memadai. Pada akhir premis, mereka bersepakat dan mecanangkan gagasan yaitu mendirikan taman baca bernama Taman Baca Rimba. Taman Baca Rimba diinisiasikan sebagai wadah pemuda-pemudi dan tempat belajar-bermain adik-adik desa yang berbasis literasi.

Kini, Taman Baca Rimba sudah bergerak sekitar dua bulan lalu hingga sekarang. Meskipun baru berjalan, rencana pendiriannya sudah ada sejak tahun belakangan. Bagi saya, hal ini adalah suatu hal yang luar biasa karena adik-adik di pelosok nagari bisa mendapat akses bacaan bergizi. Jika diperjelas lagi, Taman Baca Rimba terdiri dari lambang matahari, buku, dan pohon dengan filosofi. Matahari: “Menggambarkan Taman Baca Rimba sebagai cahaya yang bisa menerangi.” Buku: “Menggambarkan simbol membaca yang merupakan aktivitas utama Taman Baca Rimba.” Dan Pohon: “Disimbolkan dapat memberikan kesejukan seperti halnya taman." (Sumber filosofi: @tamanbacarimba).

Dengan adanya Taman Baca Rimba, ia ada bukan hanya akan memajukan desa, tetapi mencoba memperbaiki sistem pendidikan desa yang terkungkung oleh jelimet sistem. Taman Baca Rimba bagi saya ialah sebuah kritik sadar di atas tindakan. Karena Taman Baca Rimba bergerak bukan sedang berkoar omong kosong belaka, tetapi aksi nyata yang suatu saat akan mekar bagai bunga taman surga. Perlahan Taman Baca Rimba akan melebarkan sayap dan menjangkau desa demi desa yang masih kesulitan akses baca. Saat itu pula, Taman Baca Rimba akan menjadi rimba raya buku baca yang meluaskan cakrawala pengetahuan anak-anak desa untuk meraih cita-cita.

(Ayi, Irvan, Datul, Rofi, dan Jamal berpose apa adanya ketika di foto Kak Rahma)

***

        Lokasi Taman Baca Rimba dari rumah saya memakan waktu 4 jam perjalanan. Estimasinya, dari rumah ke simpang jalan raya sebagai pintu masuk jorong kenagarian memakan waktu 3 jam, dan masuk dari simpang ke dalam 1 jam, itu baru sampai nagari Silago, kemudian dilanjutkan ke Lubuk Talaok di kenagarian Banai sekitar 30 menitan. Jadi total 4 jam 30 menit dengan jarak kira-kira 120 km.

Mengenai akses jalan jangan harap mulus seperti sirkuit formula satu, karena di sini bukan jalanan kota yang ramah dan mulus. Lubang jalanan di sini saja sudah bisa dijadikan tempat bertenak lele. Tanah longsor dan tanah merah menyebar dibeberapa titik, hingga ular dan kera kerap melintas sebagai pewarna fauna endemik rimba Dharmasraya.

(Jalanan Lubuk Talaok)
Meski tidak semua jalanan berlubang, tetap saja lubang salah satu masalah utama. Tak bisa dipungkiri. Selain jalanan, tower atau sutet hanya ada satu yang memancarkan sinyal ke beberapa kenagarian sekitar. Banai termasuk salah satu desa yang kesulitan akses sinyal internet. Jangan harap ketika globalisasi menghadirkan teknologi jaringan 5G masyarakat di sini bahagia, sinyal sms atau telepon masuk saja sudah sangat bersyukur. Menanggapi hal ini, lalu bagaimana caranya para akademisi yang terdiri dari mahasiswa belajar daring? Anak-anak SD, SMP, SMA pun bagaimana?

Saat itu saya mendengar ungkapan kecewa dari salah satu bapak-bapak desa. Ucapnya, “Baraja di lokal se paja ketek ko ntah manyimak ntah ndak, ntah dapek pelajaran ntah ndak, tambahlo kini paja tu baraja online, lai kok ka dapek di paja ko. Sinyal alah payah, kadang ntahlah. Baapo di ndak ka batambah entong se paja sekolah ko da”. Begitulah kira-kira ungkapan bapak tersebut. 

Tentu bukan hanya di Lubuk Talaok Kenagarian Banai saja yang susah sinyal sehingga terkendala proses belajar-mengajar. Tetapi masih banyak desa-desa di Indonesia yang mungkin jauh lebih parah dari ini. Hanya saja, di sini saya memaparkan apa yang telah saya lihat, dengar, dan rasakan. Barangkali teman-teman yang membaca tulisan ini dapat pula memberikan cuplikan kisah desanya di kolom komentar.

***

        Kegiatan Taman Baca Rimba bertajuk membaca buku bareng di akhiri dengan sesi foto bersama. Di depan kamera kami semua menyimpulkan senyum bahagia, namun dibelakang kamera, rimba raya Lubuk Talaok nampaknya makin murung lantaran janji yang tak kunjung ditepati oleh para petinggi. Saya makin heran, mengapa anak-anak di sini sangat menikmati suasana? Apakah mereka tidak tahu bahwa di Jakarta orang-orang sudah lebih dahulu bertanam beton?

Tiba-tiba adik kecil bernama Ayi yang sedari tadi kegiatan usai terus mengikuti kami. Duduk bareng kami ketika diskusi, dan turut mengikuti kami ketika mendirikan ibadah di surau yang tempat ambil wudhunya di sungai. Saya kembali menaruh pertanyaan tadi di depan alam pikiran ketika menatap Ayi. Mendengar bahasa Ayi yang masih sulit saya mengerti membuat saya harus benar-benar memahami riak muka yang penuh makna. Ternyata, bagi mereka sempurna bukan angka seratus dalam bilangan, nilai tinggi bukan juga puncak kesempurnaan. Tetapi bersyukur, menikmati yang ada, menerima yang telah disediakan alam bagi kita sekalian manusia adalah kesempurnaan hakiki yang menambal sulam lubang kekurangan akses jalan, pendidikan, dan buku bacaan.

Saya menjadi malu; menjadi manusia yang terpaku dan pasrah padahal setiap cita dapat diraih dengan usaha. Bahwa berdo’a saja tak cukup dengan diam, melainkan berdo’a dengan perjuangan. Terima kasih Ayi, terima kasih pemuda-pemudi Silago, Banai, dan sekitarnya. Terima kasih kak Rahma dan kak Novela, terima kasih semesta. Terima kasih ini saya letakkan di bawah dengan atasnya ridho Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

(Salam dari kami Taman Baca Rimba yang jauh dari jamahan ibukota)

Bersambung.

Komentar