#Bagian 9 (Dusun Sade,
Rembitan, Pujut, Lombok Tengah).
Selain pola tradisional yang mengakar kuat dalam
kehidupan masyarakat Sade, lambat laun masyarakat Sade juga akan turut merasakan
terjangan arus modernisme yang mulai masuk mengetuk pintu batas tradisi. Hal
ini di akibatkan oleh ratusan bahkan jutaan wisatawan yang masuk ke kawasan Dusun
Sade setiap tahunnya (termasuk saya yang menorehkan nama di buku kunjungan).
Terhitung semenjak ditetapkannya
Sade ke dalam peraturan pemerintah daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat No. 7
Tahun 2013, terkait dimasukkannya Dusun Sade ke dalam Kawasan Strategis
Pariwisata Daerah NTB. Maka, semenjak itulah Sade terbuka menjadi kawasan
wisata budaya.
Tak bisa dipungkiri, arus
zaman semakin hari semakin berglobalisasi karena tidak dapat menahan gejolak
pertambahan populasi manusia muka bumi. “Saya turut mengamati itu”. Walaupun
saya bukanlah pakar pengamat yang bisa dengan mudah menganalisis secara
saintifik lalu menyelipkan data-data dan mengklasifikasi ke dalam sebuah jurnal
ataupun disertasi penelitian. Tetapi melalui kaca mata penglihatan ini, di
samping saya masih amatiran, ialah seorang mahasiswa yang tengah mengembara
sambil menyelam minum air, namun saya bisa mempresentasikan, bahwa adat dan
budaya di Sade telah bertransformasi.
“Kalaulah boleh bercerita,
maka blog ini akan menjadi wadah saya menuliskan kisah selama
perjalanan sekaligus alat komunikasi tak bersuara mengenai keadaan desa-desa hingga kota-kota Nusantara.”
Dalam tulisan
sebelumnya, saya sudah menuliskan sedikit penjelasan mengenai pola tradisonal Dusun
Sade. Nah, namanya sungguh tak asing kan? Apalagi Sade ini sangat familiar di kalangan
para pelancong, traveler Indonesia,
maupun backpacker nusantara sekalipun.
Sebab, wisata Sade seakan membuka tabir kearifan budaya sekaligus menjadi media
pembelajaraan untuk mengenal budaya Indonesia yang kiprahnya semakin lama
tenggelam di tengah-tengah peralihan zaman.
Selain nilai historis
Dusun Sade yang masih bertahan pada struktur bangunan, upacara, tradisi,
bahasa, dan sistem pernikahan. Tetapi arus modernisasi bukanlah orang asing
yang numpang singgah lalu kembali, melainkan akan menetap meninggalkan jejak di
jalur perkembangan dan pergantian generasi.
Gapura tempat pintu masuk Dusun Wisata Sade. |
Baiklah. Saya akan
mencoba menuangkan hasil pengamatan melalui tulisan sederhana, tentang titik
keresahan yang membuncah dan kebahagiaan sebab nilai budaya dijadikan sebagai
rujukan pengetahuan.
Arus
Modernisasi di Dusun Sade nan Tradisional
Saya
memang pengunjung baru yang bertandang di bulan agustus (2019) belakangan,
namun saya dapat melihat dengan jelas melalui mata kepala sendiri ketika
mendatangi Sade, betapa hal yang dianggap tradisional sudah sejalan dengan
arus-arus kemodernisasian. Ya, sudah bukan hal tabu lagi melihat hal ini, sebab
keadaan pula-lah yang merubah pola tradisional jalan berbarengan dengan
modernisme. Bukan hal yang buruk, tetapi bagus dalam kemajuan zaman jika di
arahkan sesuai nilai-nilai adat yang berlaku.
Sebenarnya saya tidak
mau menyampaikan, biar handai tolan lihat secara langsung dan datangi Dusun Sade
ini (kalau boleh ajak saya lagi, hehe). Tetapi kenyataan tidak akan bisa
ditutupi sekalipun dibungkus dengan gaya kultur nyata yang tampak di mata.
Di lansir dari sebuah
jurnal destinasi wisata vol. 6 no 1, 2018 tentang “Dampak Sosial Budaya
Pengembangan Dusun Sade sebagai Dusun Wisata di Kabupaten Lombok Tengah” yang
di tulis oleh: Nur Kumala Sari dan Saptono Nugroho, mahasiswa program studi
Destinasi Wisata, fakultas Pariwisata, Universitas Udayana Bali.
Dalam jurnalnya, mereka
merangkum sebuah penelitian perbandingan terkait dampak sosial budaya di Dusun
Wisata Sade, antaranya: aspek kondisi sebelum
dan sesudah yang terdiri dari mata
pencaharian, sistem organisasi, dan bahasa.
Sebelum:
Mata pencaharian; pekerjaan utama adalah petani. Sistem organisasi; sistem
pemerintahan tingkat dusun yang dipimpin jero
keliang dan perkumpulan komunitas bebanjar.
Bahasa; penggunaan basa jamak (bahasa sasak kasar) dan basa dalem (bahasa sasak
halus). Sesudah: Mata pencaharian;
pekerjaan utama petani dan pekerjaan sampingan yaitu, pemandu lokal, pengrajin,
dan pembuat tenun. Sistem organisasi; Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) dan
spesialisasi kelompok pengelolaan dusun wisata. Bahasa; masyarakat sudah mulai
mengenal dan mempelajari bahasa asing seperti bahasa Inggris, Jepang, dan
Perancis.
Data ini adalah hasil
penelitian di tahun 2017. Lalu 2019 sewaktu saya datang? Tentu semakin
berkembang. Apalagi kini 2020 saat di tulisnya blog ini?
***
“Masuknya
listrik tentu alhamdulillah, menjadi kemudahan bagi masyarakat Sade agar segala
aktivitas terfasilitasi, dan sebagai bukti adanya perhatian khusus pemerintah.
Beda lagi dengan masyarakat Badui Dalam yang memang meng-isolasikan diri dari
dunia kemodernisasian, dan tak menerima segala macam tamu yang berpangkat konglomerat
atau korporasi institusi, kecuali lembaga penelitian (karena adat dan tradisi
sangat dipegang teguh oleh masyarakat Badui Dalam).”
Letak geografis Dusun
Sade berada di tepi jalan raya, dekat dengan ibukota Mataram, Bandara
Internasional, dan kawasan pantai. Ditambah lagi adanya KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) di Lombok Tengah, di fungsikan sebagai
titik fokus pemerintah daerah untuk memajukan sektor wisata, dan akan hadirnya sirkuit
Motor GP berstandar Internasional. Luar biasa; kemajuan.
Kembali lagi ke segmen saya
bersama Pak Dase. Beliau turut menceritakan bukti masyarakat yang sudah
membangun rumah-rumah di luar kawasan Dusun Sade yang jaraknya masih
bersebelahan. Alasannya tentu karena pertambahan penduduk, dan terbatasnya
lahan yang mengakibatkan, mau tidak mau hidup mesti berjalan. Yaitu, dengan
cara membangun rumah tinggal di luar kawasan dari Dusun Sade ini.
Tercatat sekitar 150
kepala keluarga dan 700 jiwa yang mendiami Dusun Sade. Tentu jumlah ini tidak
akan bertahan melainkan adanya pertambahan. Maka dari itu, sebagian masyarakat sudah
mulai membangun rumah di luar kawasan Dusun Sade, berbahan dasar ubin atau
lantai dan beratapkan seng, bukan lagi seperti yang sudah kita ketahui.
Bukankah ini modernisasi (sebab kultur sudah mulai bergeser; dilihat dari
sebagian masyarakat yang sudah membangun rumah tinggal). Kalau saya sih
menganggapnya, iya. Tapi ini bukan suatu kemunduran, melainkan kemajuan untuk
menyesuaikan kondisi zaman.
Namun, di tengah merembaknya
modernisasi, masyarakat Sade tentu bukanlah tipe kelompok masyarakat yang mau
menerima begitu saja secara mutlak. Mereka ialah sekelompok masyarakat yang
menyaring dengan teliti, dan tetap kuat berpegang teguh pada adat dan tradisi.
“Jika diceritakan semua
di sini, saya agak kebingungan mendetailkan satu persatu, dan saya juga tak mau
menjustifikasi modernisasi ini buruk bagi masyarakat Sade, tetapi kebaikan yang
baik jika diarahkan ke arah yang baik. Tergantung daripada cara menyikapi dan bagaimana
mengatur agar modernisasi ini tidak mencemarkan nilai-nilai kearifan yang ada.”
***
Saya
terus mengamati setiap sisi-sisi dan sudut-sudut Dusun Sade nan historisnya
masih terjaga dengan sangat indah, terbungkus oleh bahan bangunan yang masih
alami, berlantaikan tanah yang menyatu dengan bumi, menandakan bahwa arus
modernisasi tidak akan sanggup menembus pertahanan masyarakat kultur yang
meskipun sudah menjadi Dusun Wisata.
Saya sekaligus bangga
berpijak di sini, sebab begitu nyata dengan adanya peninggalan-peninggalan dan
pola tradisional yang masih terjaga, namun saya sekaligus berpikir dan
mengawang jauh (mudah-mudahan hanya perasaan saja) tentang bagaimana generasi
selanjutnya akan meneruskan tongkat estafet budaya Sade ke masa depan. Apakah
mereka tidak akan merasakan beratnya berbaur dengan mode global yang berarus
hingar bingar teknologi? Ah, saya rasa mereka akan disuapi asupan nilai-nilai moral
dan norma-norma yang berlaku. Lagi pula ini bukan ranah kendali saya; semacam
kekhawatiran belaka.
“Kebudayaan
adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan
manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”.
(Koentjaraningrat, 2014:72).
Melihat kutipan di atas; oleh tokoh Antropologi
Indonesia, Pak Koentjaraningrat Rahimahullah,
bahwa kebudayaan itu melingkupi kultur yang sudah ada sejak turun temurun,
yaitu tentang bagaimana kita dapat menjaga, dan mengenal dengan rasa cinta serta
keingin tahuan akan kebudayaan itu sendiri. Lalu? Apakah kita akan menjadi
generasi yang buta terhadap budaya sendiri? Apakah kita rela budaya kita
diklaim oleh asing?
Mencoba secara langsung penggulungan benang sutra secara manual. |
***
Budaya Indonesia? Itulah hal yang ingin saya kenal lebih
dalam dan lebih dalam. Tetapi, saat ini saya tentu masih belajar tentang tata
cara mengamati, mempelajari, dan mencintai kearifan lokal yang mengajarkan kita
nilai moral kehidupan. Meskipun pergesaran sudah terasa, tetapi kecintaan dan
kesetiaan akan bertahan di tengah-tengah perkembangan zaman.
“Satu lagi; nilai moral
yang terkandung dalam kebudayaan adalah hubungan campur tangan agama yang memiliki aturan
lengkap, seperti contoh tentang tata cara kita berperilaku mulai dari bangun
tidur hingga tidur kembali.”
Kemudian saya pamit dan
berterima kasih sekali kepada Pak Dase yang sudah mengantar berkeliling Dusun
Sade, serta mengenalkan kepada saya adat dan tradisi, budaya tradisional, dan bukti
adanya arus modernisasi.
Sebelum kami berpisah, saya meninggalkan kenang-kenangan berupa stiker yang berbentuk fisik; maaf Pak hanya itu yang dapat saya tinggalkan, tetapi saya tak akan melupakan kebaikan Pak Dase. Semoga saja do’a yang tak terlihat akan selalui mengiringi langkah Pak Dase, aamiin.
Gapura di sebelah kiri jalan dari Dusun Sade. |
Selepas dari Sade saya
kembali menuju Mataram menaiki motor supra milik Mas Dodik. Rasanya ketika
beranjak meninggalkan Sade, ada rasa rindu yang tinggal dan ada rasa ingin
kembali. Tetapi begitulah hidup, ia terus berjalan dan akan selalu berganti. Mudah-mudahan suatu saat nanti saya dapat kembali. Akhir kata; rasanya indah ketika
hal sederhana kita syukuri, maka bersyukurlah.
Stiker SAC (Sawahlunto Adventure Comunnity) di Sade. |
-Bersambung-
Komentar
Posting Komentar