Dari Mataram Belok ke Lombok Barat

#Bagian 6 (Mataram – Narmada, Lombok Barat).

            Sekilas mendengar kata Mataram, saya teringat kejayaan kerajaan Islam Mataram atau kesultanan Mataram yang awal keberadaannya pada masa abad ke – 16. Kesultanan Mataram berada di Pulau Jawa, sedangkan Mataram yang saya tandangi ini terletak di dalam lingkungan Pulau Lombok. Menurut literatur, kata Mataram berarti matta yang berarti gembira dan aram yang berarti hiburan. Jadi, Mataram bisa juga disebut sebagai kota yang gembira karena ada hiburan.

Di gapura selamat datang, Lombok Barat.

Kota Mataram pada masa awal dahulu dipimpin oleh Prabu Rangkesari yang di Islamkan oleh Sunan Prapen dan dibantu oleh Patih Mataram Arya Kertasura. Sekarang, Mataram menjadi ibukota dari Nusa Tenggara Barat. NTB yang masuk ke dalam Indonesia tengah terbagi menjadi 2 pulau, Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Nah, nanti setelah saya telah mengenal beberapa daerah Pulau Lombok, lalu saya akan lanjut perjalanan masuk ke Pulau Sumbawa. Cerita ini saya lanjutkan ketika mendekati bagian ke sana.

***

Setiba di Kota Mataram, saya turun pada perhentian bengkel Scooter Rezim komunitas vespa Mataram yang di ketuai oleh Bli Andi. Bli Andi ini merupakan sahabatnya Mas Acil Surabaya. Sedikit cerita, Mas Acil sengaja menitipkan vespa ke Mataram agar vespa tersebut dikerjakan oleh mekanik Bli Andi yang bernama Mas Dodik asal Banyuwangi. Alasan Mas Acil meletakkan vespanya di Mataram ialah, agar ia dapat bertandang ke Mataram dan menyambangi Lombok kembali, serta dapat bersilaturahim dengan kawan-kawannya di Lombok.

Setelah tugas Om Ape selesai, kami berpisah di kota Mataram. Sementara saya terlebih dahulu singgah di bengkelnya Bli Andi. Di bengkel saya berkenalan dengan Bli Andi dan Mas Dodik. Saya juga bertemu dengan orang Minang yang sudah agak lama menetap di Mataram, kebetulan ia juga pakai vespa, namanya Ajo, perantau asal Pariaman. Selama di bengkel saya mengobrol dan agak banyak diamnya karena lelah dan ngantuk. Walau ngantuk, ada satu cerita dari Ajo yang masih saya ingat; bahwa ia merantau ke Mataram untuk berdagang. Kebetulan ia berdagang sendal pada salah satu toko dipinggir jalan kota Mataram. Kalau tidak salah, Ajo sudah merantau di kota Mataram selama beberapa tahun ke belakang. Bahkan, gempa Lombok tahun 2018 Ajo turut merasakan.

Tak salah lagi, nama Padang disematkan oleh orang-orang sebagai singkatan dari ‘Pandai Berdagang’, tetapi dalam kenyataannya rerata orang Padang atau Minang memang berlatar belakang menjadi seorang pedagang. Terbukti dari persebaran perantau Minang hingga ke penjuru Indonesia, Timur Tengah, dan Eropa. Mengenai singgungan bahwa orang-orang Padang itu pelit, bagi saya kembali kepada individunya masing-masing. Kita tidak dapat menjustifikasi semua orang akibat satu orang.

Setelah mengobrol dengan Ajo, tilas balik perhatian saya mengarah ke Mas yang baru datang ke bengkel membawa vespa jenis PTS sewaktu di kapal legundi. Ternyata pevespa di kapal yang semalam saya lihat, ia itu orang Lombok dan termasuk anggota Scooter Rezim. Saya tidak tahu dan tidak menyangka akan bersua kembali. Kebetulan ia mampir ke bengkel karena koleksi vespanya yang lain sedang di letakkan di bengkel ini. Saya lupa menanyakan namanya, tetapi saya ingat berapa jumlah koleksi vespanya. Kira-kira sekitar 5 vespa dan masih akan menambah. Hobi beliau selain naik vespa, juga mengoleksi vespa.

Kembali lagi ke bengkel. Daya mata sudah tinggal 5 watt, kepala berat, saya tak tahu mesti mengapa selain pergi sebentar jalan-jalan sendirian sekalian mencari Masjid untuk rehat, membersihkan diri, dan menunaikan. Selepas bersih-bersih dan menunaikan, saya kembali ke bengkel. Menjelang sore bengkel sudah hendak tutup, aktivitas terhenti sejenak untuk esok kembali dilanjutkan. Suasana sore di kota Mataram terasa indah dengan lantunan Al-Qur’an. Kota Mataram dengan beragam agama dan budaya tetap menjaga toleransi antar sesama. Tidak jauh dari bengkel terdapat pure (pura), tepatnya dekat rumah Bli Andi yang menganut agama Hindu. Meski begitu, hubungan kemanusiaan ialah hubungan yang tidak memandang latar belakang, dan keharmonisasian mesti tetap dijaga.

***

Saya meluncur naik motor supra bersama Mas Dodik menuju rumahnya di Narmada, Lombok Barat, yang masuk ke dalam distrik Ampenan Timur. Di Narmada, terdapat sebuah pura terkenal yang di dalamnya terdapat sebuah mata air mengalir. Menurut penuturan, mata air tersebut berasal dari kaki Gunung Rinjani. Mas Dodik juga bercerita; ketika hari-hari tertentu dan hari Waisak khususnya, orang-orang akan ramai mendatangi pura ini.

Kebanyakan tentu orang-orang yang menganut agama Hindu, dengan tujuan untuk mandi dan minum air dari mata air tersebut. Dalam kepercayaan orang Hindu, mata air Taman Narmada ini bisa membuat awet muda siapa saja yang telah mandi dan minum air di sini. Tak salah juga, nama yang disematkan pada daerah ini ialah ‘Narmada Awet Muda’. Sikap saya sebagai Muslim, tentu cukup mengetahui informasi tersebut tanpa ada rasa penasaran dan keinginan seperti itu pula. Dalam obrolan, saya justru ditawarkan oleh Mas Dodik mandi di sana. Tetapi saya cukup bilang; “lanjut saja mas, mending saya mandi di pantai daripada disana, hehe”, dengan menolak secara halus.

Jarak tempuh antara bengkel menuju rumah Mas Dodik cukup lumayan, kira-kira memakan waktu 20 menit. Jadi, sepanjang jalan saya dan Mas Dodik bisa banyak berbincang sambil melihat panorama keindahan jalan Mataram hingga Narmada, Lombok Barat. Walaupun bagi saya, berbincang di atas motor itu tidak maksimal, dan saya termasuk orang yang agak sulit ketika berbincang di atas motor, apalagi ketika motor kencang, angin sayup membawa suara kabur. Maka dari itu, saya akan meneruskan perbincangan setelah sampai di rumah Mas Dodik nanti.

Sepanjang lintasan, saya terlebih dahulu melewati kota Mataram dengan model lalu lintas satu arah. Pada lampu merah ada semacam tugu jam. Lanjut ke depan ada lampu merah dan berupa tugu juga. Baru, setelah melalui lampu merah dalam kota, lintasan terlepas dari lampu merah. Pada jalan menuju Narmada, jalanan terbilang lengang dengan kiri sawah dan kanan kebun yang berisi pepohonan jati, sampai dengan belukar lahan tak terurus. Udara Lombok menjelang malam cukup segar dengan minimnya polusi kendaraan.

***

Di rumah Mas Dodik saya mendapat teman baru, ialah 2 orang anak Mas Dodik. Anak yang pertama masih SMP, bernama Dika dan yang kedua berumur sekitar 5 tahun, namanya Rezvan. Selama saya bermukim di rumah Mas Dodik, Rezvan nampak malu-malu akan kedatangan saya. Namun, lama-kelamaan Rezvan menjadi teman akrab. Setelah akrab, ia langsung mengajak saya main mobil-mobilan miliknya. Rezvan anak yang aktif, cerdas, dan ceria. Begitupula dengan Dika, ia sangat sopan dengan orang asing, sebab budaya dan agama yang mengajarkan norma sopan santun telah mendarah daging karena didikan bapaknya. Semoga, lain waktu saya dapat bertemu kembali dengan Rezvan dan Dika setelah 3 hari bermukim di Lombok lalu saya mmelanjutkan perjalanan menuju Sumbawa.

Pada malam hari, Mas Dodik menyuguhkan kopi hitam, bukan kopi sasak karena Mas Dodik tidak menyetok kopi tersebut. Sebelum ngopi, kami terlebih dahulu makan nasi kucingnya Lombok, dengan campuran siwir-siwir ayam, ikan, dan tambahan sambal cukup pedas. Lalu kami berbincang-bincang hingga malam, tetapi tidak terlalu larut lantaran esok Mas Dodik akan bekerja. Mas Dodik juga mengundang Bang Pendi ke rumahnya untuk ikut berbincang dengan kami. Bang Pendi ini seorang pendaki, ia bercerita kepada saya, bahwa ia sudah pernah ke Jogja dan naik Gunung Merbabu. Bang Pendi sangat penasaran dengan Gunung Kerinci. Kebetulan Kerinci berada di Pulau Sumatera, berbatasan langsung antara Jambi dan Sumatera Barat. Sumatera ialah daerah asal saya, makanya ia menanyakan gunung tersebut.

Di pertengahan cerita, Mas Dodik bercerita; “Dahulu semasa muda, saya juga pernah seperti kamu. Naik gunung sampai dengan turing vespa. Kalau naik gunung saya pernah naik Semeru, atap Pulau Jawa. Saya juga pernah survive di hutan Banyuwangi selama 7 hari, bermodalkan peralatan seadanya, makan dari alam, dan tidur dengan perlindungan seadanya. Kalau turing, saya turing hingga ke Aceh, tepatnya sebelum bencana Tsunami Aceh 2004. Saya juga pernah ke Pulau Sumba, dan terjebak di sana akibat badai, keberangkatanpun kapal menjadi tertunda.” ucap Mas Dodik menceritakan pengalamannya semasa muda.

Mas Dodik kembali bernostalgia melihat saya. Ia juga berpesan, “tak apa selagi muda kita berkelana, menjelejah, hingga melintas pulau dan provinsi. Manfaatnya nanti juga untuk kita, serta orang-orang sekitar kita”. (Sampai tulisan ini ditulis, saya juga tidak ingin membagikan kebahagiaan sendiri, saya mau pembaca turut membangun manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Harapan saya, semoga tulisan ini dapat memberi manfaat dalam kebaikan, meskipun masih minim keindahan, dan belum sehebat penulis-penulis terkenal).

Dengan larut malam yang ada, Bang Pendi pamit kembali ke rumah. Sebelum itu, saya bertanya keadaan Rinjani, ia bilang “Rinjani masih belum di buka untuk jalur pendakian akibat masih adanya gempa dengan SR (skala richter) kecil. Meski tak begitu terasa, tetapi sangat berpengaruh pada kerentanan tanah lunak di jalur pendakian”. Baiklah jika begitu. Kebetulan Bang Pendi ini termasuk anggota BKPH (bagian-bagian kesatuan pemangkuan hutan) Rinjani Barat yang bekerja di kehutanan Rinjani. (dok. 7 agustus 2019).

Sebelum Bang Pendi kembali ke rumah. Saya meminta rekomendasi dari Bang Pendi dan Mas Dodik untuk wisata-wisata mana saja yang terjangkau saya kunjungi. Malam ini saya hendak membuat list daerah mana saja yang akan saya datangi dan rute menuju kesana. Dalam diskusi malam, saya banyak sekali mendapatkan rekomendasi. Namun akhirnya, saya hanya mengambil tiga lokasi untuk saya sambangi. Jika semua saya pilih, rasanya tidak akan memungkinkan kalau waktu eksplorenya hanya satu hari.

Hasil dari rekomendasi tersebut. Mas Dodik dan Bang Pendi menetapkan wilayah bagian rekomendasi yang akan saya kunjungi, ialah wilayah Lombok Tengah. Nanti rutenya ambil dari kota Mataram dan masuk ke sebagian wilayah Lombok Barat. Dari arah kota Mataram nanti melewati tugu sapi, belok kiri arah menuju Airport Bandara International Lombok. Di sana saya akan melewati terlebih dahulu Desa Sade, selepas itu ada sirkuit motor Gp yang tengah di bangun, lalu pantai Kuta Mandalika, dan Selong Belanak. Jadi, saya memilih tiga saja, yaitu Desa Sade, Pantai Kuta Mandalika, dan Pantai Selong Belanak.

Catatan saya simpan untuk besok kembali di buka. Karena sudah malam, Mas Dodik pamit istirahat untuk esoknya kembali bekerja, dan Bang pendi sudah kembali ke rumah. Sementara saya mencoba memejamkan mata, lalu terlelap. Awal malam di Lombok saya mencoba berbaur dengan sekitar, beradaptasi dengan keadaan, menyesuaikan, dan memposisikan diri pada tempat yang tepat.

***

Paginya saya terbangun. Lalu setelah menyelesaikan segala-galanya, kami sarapan masakan istri Mas Dodik dengan cita rasa Banyuwangi. Sambal di cocol dengan tempe dan kuah-kuahan. Selepasnya, saya dan Mas Dodik menuju ke bengkel Scooter Rezim di Mataram. Mas Dodik kembali bekerja dan saya dipinjami motor supra milik Mas Dodik untuk eksplore menuju rute yang telah kami tentukan semalam.

-Bersambung-

 

 


Komentar