Menuju Teluk Lombok #2

#Bagian 5 (P. Tanjung Perak, Surabaya - P. Lembar, Lombok).

            Rasanya bermalam di atas kapal terasa begitu lama jika mata tidak dilelapkan. Apalagi kondisi ruangan yang cukup ramai, agaknya membuat sedikit terganggu untuk beristirahat. Riuh gemuruh, baik dari intonasi suara manusia ataupun televisi dinding yang terpampang pada setiap tiang-tiang ruang.

Tetapi kita penumpang mau tidak mau mesti menerima. Namanya juga moda transportasi publik, jadi wajar. Malah kondisi saat awal agustus 2019 ini terbilang mending dibanding bulan-bulan mudik. Bulan tersebut ruangan kapal akan lebih sesak, bahkan luber hingga bertebar di lantai-lantai.

***

Mata sulit sekali dilelapkan. Yasudah. Dengan ini saya memutuskan mengelilingi kapal mencari Zaki yang tadi sore saya kenal. Saya hendak mencari di mana ia beristirahat atau bermukim selama pengarungan. Tiap ruas saya jejaki, dimulai dari sebelah kanan hingga kiri kapal, sambil melihat-lihat kelas lain apakah ada rupa Zaki berada pada deretan bangku ruangan. Saya juga turun ke tingkat dua dari struktur kapal, menengok apakah ia jua ada di sana.

Sewaktu saya berjalan pada tingkat dua kapal. Di lintasan akan menyeberang dari tangga kiri ke tangga kanan. Pada ujung belakang kapal dekat mesin-mesin tepat belakang pagar larangan penumpang memasuki area itu. Saya melihat satu orang berdiri menyendiri.

Namun saya ragu, apakah itu Zaki atau bukan. Sementara di depannya ada dua orang yang beristirahat pakai hammock dengan tali-talinya digantungkan pada besi pembatas. Serta vespa yang terparkir tepat dekat orang-orang tersebut.

Karena ragu, saya kembali ke atas menuju kelas ekonomi. Lalu duduk manis, serta mencoba mencari celah agar mata bisa terlelap. Setelah sekian lama mencari posisi tidur yang enak, ditambah mata yang sudah berat. Kemudian saya terlelap bersandarkan meja dengan kepala tertelungkup berbantal tangan.

***

Tengah malam saya terbangun berkali-kali. Kenapa? Mungkin saja disebabkan darah yang sudah menggumpal akibat tangan tertindih kepala dan kepala yang sakit lantaran tertelungkup. Mata masih berat, saya langsung ubah posisi menjadi tidur bersandar kursi dengan wajah terbungkus buff.

Singkatnya, saya anggap saja tidur semalam cukup. Pada dini hari, sayup gema adzan subuh berkumandang dari mushola ukuran 4 x 4 meter. Saya terbangun dan bersiap kembali menuju sumber suara adzan untuk melaksanakan kewajiban.

Di dini hari ini. Saya bisa langsung masuk karena antrian tidak seramai kemarin pada maghrib. Langkah memasuki disertai lampu mushola yang remang-remang tak terang, lantainya dingin agak berembun yang dirasa karena AC. Ruangannya berpintu dua dengan kiri untuk laki-laki dan kanan untuk perempuan.

Kondisi alam masih kelam menuju terang. Pelita masih bersembunyi dibalik cakrawala. Beberapa orang juga masih tertidur. Suasana ruangan menjadi hening. Sementara, mata saya sudah tidak bisa terlelap lagi karena saya gedor dengan asupan membaca; membaca buku atau mushaf hingga mentari mulai muncul dan cahayanya berpendar masuk menembus celah jendela.

Pada saat cahaya mentari berpendar. Saya mengajak Kak Nisa yang sudah terbangun dari tidurnya. Sementara Pak Mutas yang juga saya ajak melihat sunrise, ia bilang tidak mau. Yasudah, saya bersama Kak Nisa keluar menyaksikan mentari dari tingkat empat kapal yang terbuka dan posisi lokasi disebelah depan dari kepala kapal. Saat kami naik, para penumpang sudah cukup ramai berkerumun turut menyaksikan fasilitas alami perjalanan. Bagi saya, setiap hal yang membosankan pasti ada penawarnya. Apa? adalah menyaksikan salah satu kebesaran Tuhan, merasakan hangatnya mentari pagi di atas kapal yang mengarung pada lautan luas, dan melihat langsung mentari keluar dari balik perairan.

Di dekat pagar menghadap laut. Kak Nisa bercerita. Ia menyeberang Lombok – Surabaya tanpa izin orangtua. Ia hanya izin untuk menginap di rumah teman. Sontak mendengar cerita tersebut saya menanyakan, “bagaimana nanti kalau orangtua kakak bertanya, kenapa lama sekali menginap di rumah teman?”

Ternyata, Kak Nisa sudah mempunyai jawaban. Ialah jujur. Jujurlah jawaban paling ampuh untuk tidak memperpanjang masalah. Benar saja. Ketika satu kali berbohong, maka siap-siap akan ada kebohongan lainnya. Sepandai-pandai menyimpan kebohongan. Ibarat bangkai, pasti akan tercium atau ibarat tupai, pasti akan terjatuh. Kak Nisa melakukan hal ini bukan karena permasalahan internal. Ia memutuskan meninggalkan Lombok sementara waktu, adalah untuk memulihkan pemikiran agar tak sesak oleh skripsi dan skripsi. Ia juga berkata, “sekembali nanti ke Lombok, aku akan segera menyelesaikan skripsinya, mas”.

Saya tertegun, sekaligus menjadikan pelajaran, agar ketika saya sudah menapaki semester akhir. Mau tidak mau saya juga harus siap mental menghadapi konsekuensi beresiko. Yaitu, berani ambil alih, tanggung jawab, dan laksanakan.

Difoto diam-diam oleh kang Zaki.

***

Zaki tiba-tiba menyapa dari jauh dan menghentikan perbincangan kami. Pagi ini ia muncul setelah semalaman hilang ditelan malam. Tanpa basa-basi Zaki saya kenalkan dengan Kak Nisa. Lalu kami bertiga membaur saling berbincang mengenai hal mendasar. Kemudian, hal mendasar ini mengarah ke pembahasan. Zaki menawarkan, “han, nanti kalau sudah mau ke Sumbawa Besar, kabarin aja sekalian mampir”. Saya menanggapi dengan senang hati. Han panggilan Zaki sangat khas bagi saya. “Han” diambil dari gabungan nama panjang syeh anugrah. Jika digabungkan menjadi syehanugrah. Kemudian Zaki mengambil huruf “h” dari syeh dan “an” dari anugrah menjadi “han”. (sekedar info).

Setalah sekian lama kami berbincang. Kak Nisa pamit kembali ke ruang kelas ekonomi. Sedangkan saya masih di atas melihat matahari yang sudah mulai meninggi bersama Zaki. Kapal legundi kala itu amat tenang mengarungi lautan Jawa, melintas di tepi gunung agung dan perairan Singaraja, Bali. Biasanya pada lintasan ini, kita akan melihat lumba-lumba muncul, melompat, seakan menyambut sekumpulan manusia di atas kapal. Namun sewaktu legundi melintas, saya tak melihat lumba-lumba tersebut.

Saat berada di perairan Singaraja, Bali.

Bentangan gunung tak putus-putusnya kami lihat. Semilir angin menyapa lembut wajah para penumpang yang berpose, baik berfoto maupun duduk bersila menatap luasnya lautan lepas. Lalu dari kejauhan, mata saya tertuju ke arah orang yang wajahnya tak asing. Saya amat ragu, karena masih bertanya-tanya, “apakah orang yang di ujung dekat bagian depan kapal itu saya kenal?”.

Saya dan Zaki memutuskan menunggu orang tak asing yang dilihat. Tepat di depan dek pintu kelas ekonomi. Beberapa menit kemudian. Orang tak asing itu berjalan menuju arah kami. Semakin mendekat wajah itu semakin saya kenal. Dan ternyata, benar saja. Orang ini saya kenal. Lantas saya langsung menyapanya dengan basa-basi menanyakan, “apakah masnya anak UAD?”. Ia bilang, “benar”. Sayapun memberitahu bahwa saya juga dari UAD dan menjabatkan tangan. Saya tahu orang ini bernama “Uyeng”, anak Ilkom UAD 2018. Sewaktu ia mengatakan nama, dugaan saya benar. Saya memperkenalkan diri kepadanya sambil bertanya, “apakah kenal dengan Reza, Abid, Aji?” (nama-nama ini teman saya mahasiswa ilkom UAD). Ia jawab, “kenal”.

Tak menyangka saya bisa bertemu dengan kawan sekampus di kapal yang perkiraan saya kemarin isinya orang-orang asing tak dikenal. Uyeng di kapal bersama kawan-kawannya yang kuliah di beberapa universitas Jogja, kira-kira ada 7 orang. Ia menanyakan, “mas memang aslinya mana?”. “Trus di kapal menuju Lombok ini tujuannya mau kemana?”. Saya menjawab secara apa adanya, “bahwa saya asli Sumatera Barat, hendak menuju Labuan Bajo dan transit dulu di Lombok”. Saya juga menanyakan, “kalo mas di Lombok ini, bagian mananya”? Ia bilang, “Lombok Timur, dekan Labuan Haji”.

***

Karena bersama Om Ape. Saya masih harus melanjutkan perjalanan ke Mataram. Kebetulan Zaki juga saya ajak bareng naik mobil pick-up agar ia di pelabuhan tidak susah-payah mencari angkutan menuju pol damri. Sebelumnya ia memberi tahu sewaktu kapal berada di teluk Lombok. Bahwa, selepas turun kapal nanti akan menuju pol damri tujuan Lombok – Sumbawa Besar. Sebelum mengajak, terlebih dahulu saya meminta izin kepada Om Ape berkenan atau tidak? Dengan tangan terbuka Om Ape menerima.

Tak lama kemudian, kapal menyandar pukul 14.30 WITA lewat sedikit.  Setelah sudah benar-benar bersandar. Barulah satu persatu penumpang turun. Tak terkecuali Kak Nisa yang turut turun. Ia pamit dengan kami, dan ia juga sudah di jemput oleh adiknya kalau tak salah. Pada saat kapal menyandar, itulah akhir perjumpaan kami dengan Kak Nisa, Uyeng, beserta kawan-kawannya.

Saya berkemas, Zakipun sudah pula berkemas dengan tas ransel di punggung dan daypack di dada. Kami langsung menuju mobil pick-up yang terparkir di bawah. Barang-barang dinaikkan, bersamaan dengan bapak ibu yang ikut pula dengan mobil pick-up kami. Ya beginilah perjalanan, saling tolong menolong untuk menjalin persaudaraan. Begitu indah, begitu bahagia, ketika kita mampu turut menggoreskan senyum pada setiap wajah manusia.

Setiba di bawah, kami menunggu rombongan mobilnya Pak De dan Pak Mutas. Berselang waktu, akhirnya Pak De dan Pak Mutas melintas. Ketika hendak beranjak, Om Ape di tahan polisi pelabuhan untuk di cek surat-suratnya. Sewaktu di cek, surat-surat sedikit terkendala. Namun Om Ape bisa meyakinkan polisinya dan melakukan pembelaan. Akhirnya mobil kami berangkat dengan suasana Lombok yang cerah dan panas cukup menyengat. Mungkin inilah sambutan semesta; selamat datang di Lombok Island.

Tak lama mobil pick-up berangkat. Zaki berpindah ke mobil Pak Mutas dan duduk di depan. Begitupula saya duduk di depan bersama Om Ape, jadi kami masih bersyukur tidak terpapar terik matahari jika harus duduk di bak belakang.

Sekitar tahun 2018, Lombok dilanda gempa berkekuatan 7,0  SR. Tepat tanggal 5 agustus 2018, pukul 18.46 WITA. Gempat tersebut meluluhlantakan sebagian daerah dengan bagian daerah terparah, yaitu Lombok Utara. Saya masih melihat setidaknya sedikit bekas puing-puing. Daerah Lombok Barat dan Mataram tidak begitu membekas, namun gunung tertinggi di Lombok, yaitu Rinjani mengalami kerusakan pada jalur pendakian menuju ke puncak. Bahkan akibat gempa tersebut. Ada beberapa pendaki yang meninggal. Mudah-mudahan dilain waktu saya bisa menceritakannya. Dan saya tiba di Lombok, tanggal 6 agustus 2019. Tepat berselang 1 hari setalah kemarin 1 tahun gempa Lombok.

 

***

Om Ape bercerita banyak di mobil. Ia memperkenalkan Lombok kepada saya. Tentang kota seribu masjid, kota dengan percampuran agama, budaya, dan suku bangsa. Mulai dari kekentalan percampuran masyarakat Hindu dan Islam yang berbaur saling menjaga toleransi antar-sesama. Apalagi Islam Lombok cukup kuat, ditandai nuansanya yang cukup terasa. Begitupula pada tampakan ornamen masjid nan megah pada sisi-sisi bangunan dindingnya. Membuat Lombok lebih bewarna. Selain itu, Hindu di sini juga mendominasi. Ditandai adanya banyak (pure) pura.

Namun atas semua itu, luka mendalam yang di alami masyarakat Lombok nampaknya belum sepenuhnya hilang. Dan seiring waktu berjalan, pemugaran dan pembangunan kembali digencarkan, membuat trauma itu kian menghilang seiring bangkitnya Lombok dari bencana yang meninggalkan luka menganga. Om Ape bercerita tentang politik, sosial-budaya, agama, hingga pengalaman tersesat saat mendaki di gunung Rinjani. Ia juga pernah mendebat seorang pejabat daerah yang berlaku sewenang-wenang terhadap keadilan. Sebab bagi Om Ape, ketika kita berada pada posisi benar, jangan mundur apalagi kalah, karena kita sudah benar. Satu-satunya jalan adalah merelakan kemerdekaan terenggut secara licik daripada tunduk pada ketidak-adilan.

Om Ape memiliki sifat keras, berpendirian, menolak tindakan represif. Saya banyak belajar dengan beliau. Sepanjang jalan yang kami lewati, Om Ape juga menceritakan setiap sisi-sisinya. Ia bagai guru tak resmi. Dan kembali, ‘alam takambang jadi guru’. Alam berkembang menjadi guru, guru bukan hanya pengajar yang membina kita di sekolah. Guru itu siapa saja, yang mengajarkan moral, kebaikan, serta ilmu-ilmu kebaikan. Setiap orang guru, kita patut belajar dari setiap orang.

Oh Lombok. Padahal dahulu saya hanya bermimpi akan kesini. Saya hanya berencana tanpa berambisi. Nyatanya, mimpi tersebut tercapai, berkat do’a-do’a yang telah dipanjatkan. Oh Lombok, potongan pulau dari NTB yang memiliki luas wilayah tidak besar namun padat. Kota destinasi wisata favorit, baik mancanegara maupun domestik. Kota dengan nuansa Islam yang kental karena giatnya masyarakat membangun masjid-masjid di setiap sudut. Kota yang sempat dipimpin oleh Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi, M.A. Ialah seorang gubernur yang hafizd qur’an.

Sungguh indah ketika menjadi pejalan yang berpedoman pada kitab suci. Kitab dengan tatanan presisi dan bahasa paling murni. Menyaksikan, menafsirkan, dan menjadikan perjalanan menjadi pelajaran penting kehidupan.

***

Setelah turun dari kapal legundi. Akhirnya saya dan Zaki berpisah. Kami saling tukar kontak. Saya turut berpisah juga dengan Pak De dan pekerjanya, juga Pak Mutas. Kemudian Om Ape mengantar saya bersama barang titipan Mas Acil menuju Mataram. Ucap saya, “Mataram, saya datang. Lantas, kejutan apa lagi yang akan menyambut saya?”.

Lokasi menyaksikan bentangan cakrwala.

-Bersambung-

 


Komentar

Posting Komentar