#Bagian 4 (P. Tanjung Perak, Surabaya - P. Lembar, Lombok).
Pengarungan laut Jawa menuju selat Lombok adalah
pengalaman pertama saya. Karena daerah asal yang lebih dekat ke barat, membuat
gerak ruang serta jangkauan saya terbatas bertualang ke timur Indonesia.
Saya menaiki kapal
Legundi yang nantinya akan mengarung dari Tj. Perak menuju Lembar menempuh
waktu kurang dari 24 jam. Bisa cepat atau sebaliknya, tergantung cuaca
serta muatan. Waktu Indonesia Baratpun akan berganti menjadi waktu Indonesia
Tengah.
Di atas kapal, saya
ialah orang asing di antara ribuan penumpang. Sebab, saya sama sekali tak
mengenal rupa manusia yang ada. Namun, bagi saya keasingan adalah jalan. Jalan
apa? Ialah jalan kemudahan menjalin komunikasi dan berdiskusi sesama orang
asing pula.
***
Saya memilih
beristirahat di ruang ekonomi saja. Karena di sini gerak saya lebih bebas dan
leluasa keluar-masuk tanpa hambatan penjaga pintu kamar khusus supir. Kebetulan
lagi, tempat duduk yang saya pilih bersebalahan dengan Pak Mutas. Orang yang
mengendarai mobil Mas Acil sewaktu pagi tadi.
Saya sempatkan mengobrol,
berkenalan, hingga kami menjadi akrab. Pak Mutas baru kembali dari Malang
mengantar anaknya mendaftarkan diri di salah satu universitas Malang. Perjalanan
ke Lombok ini sekaligus kali kedua ia bepergian naik kapal Legundi setelah
sebelumnya berangkat dari Lombok ke Surabaya (perjalanan pertama) dan saat
sekarang ini (kedua).
Selain Pak Mutas yang
duduk di sebelah saya. Juga ada orang duduk di depan Pak Mutas. Ia sedang
tidur, lalu terbangun ketika mendengar obrolan kami. Ialah Kak Nisa, seorang
mahasiswi Universitas Mataram yang baru saja kembali dari Surabaya, Malang,
Kediri untuk berlibur sebelum ia menyusun skripsi dan mendapatkan gelar sarjana
ekonomi.
![]() |
Ruangan kelas ekonomi; kapal Legundi. |
Awalnya kami bertiga
adalah orang asing yang saling segan mengucap sepatah kata pemecah lamunan.
Namun saya memberanikan diri memulai obrolan-obrolan agar perjalanan kapal yang
cukup lumayan tidak terasa membosankan. Toh, obrolan kecil ini jua yang akan
membuka jalan serta kejutan tak terduga nantinya. Bukankah indah ketika
penumpang satu meja saling mengenal?
Perbedaan seringkali
menjadi sekat sosial di masyarakat kita. Sehingga menutup informasi penting
yang membuat sebagian masyarakat kehilangan arah langkah. Informasi bukan
terpatok dengan berita saja, tetapi bisa dari narasumber yang tak sengaja kita
kenal. Apalagi Pak Mutas dan Kak Nisa adalah orang Lombok, sedangkan saya orang
Minang perantau yang tengah mengarung di negeri asing dan menuju Lombok, daerah
asal mereka. Maka, tak salah jika saya mengenal terlebih dahulu orang Lombok
dari kapal ini.
***
Menjelang sore hari. Om
Ape keluar dari kamar supir menuju tempat duduk saya. Ia mengajak untuk ikut ke
ruang kemudi nahkoda. Ia berpikir, mungkin ini akan menjadi suatu pengalaman
dan pengetahuan baru bagi saya. Langsung saja. Tanpa basa-basi saya meng-iyakan
ajakan tersebut. Lalu saya lekas berdiri dan mengikuti Om Ape dari belakang yang
sudah berjalan duluan.
Pada lintasan yang di lewati,
saya melihat ruang-ruang khusus awak kapal. Di antaranya ada ruang ABK, kapten
kapal, ruang navigasi, dan nahkoda. Barulah selepas itu saya sampai di ruang
kemudi kapal.
Di luar dugaan. Saya kira kemudi kapal itu masih berbentuk stir bulat seperti kapal bajak laut. Ternyata zaman yang modern ini menggeser dan membuat perubahan yang super canggih. Kemudinya kecil saja, dengan sistem yang lebih efektif tetapi rumit. Dari kanan-kiri juga terhampar tombol-tombol yang sama sekali tak saya ketahui.
Di sana saya tak lama.
Jadi pengamatan saya hanya sekilas tanpa bisa bertanya fungsi semua
tombol-tombol itu. Seingat saya, di ruang kemudi ini di isi kurang lebih 3
orang nahkoda yang memiliki tugas masing-masing.
Keterbatasan ingatan
juga menjadi hambatan, karena saya hanya sebentar memijakkan kaki di dalam
ruangan. Kemudian, saat itu Om ape menyerahkan sesuatu ke salah satu awak dan
ia segera keluar. Entah ia segan jika berlama-lama, atau memang tak boleh orang
asing masuk ke ruangan tersebut. Lantas untuk apa saya di ajak?
Jika di pikir kembali,
seorang pelaut mesti amat teliti dan konsentrasi. Baik berupa navigasi maupun
pertimbangan menghindar dari litasan-lintasan kapal yang datang dari arah
berlawanan.
Melihat sejarah, betapa
dahulu kemaritiman nusantara di kuasai oleh emporium Sriwijaya dan Majapahit
yang menguasai nusantara. Serta orang-orang sulawesi yang berani mengarungi
samudera luas menembus batas dengan mengandalkan mata hati (mata angin) yang di
pertautkan dengan kondisi alam. Apalagi mengingat sebauh pulau Mentawai yang
ada di Sumatera Barat, dengan keindahan gulungan ombak terindah nomor dua
setelah Hawai, menandakan serta mengingat kembali sebuah pepatah, “nenek moyangku seorang pelaut”.
![]() |
Penampakan laut Jawa perairan Singaraja, Bali. |
Akan panjang jika saya
menuliskan sejarah orang-orang laut nusantara. Lagipula ilmu saya belum jua
cukup untuk menjabarkan secara mendetail. Cukuplah pengetahuan yang masih
sedikit ini sebagai sebuah pelajaran yang kontinu atau pegangan memperluas
jangkauan sambungan dengan orang-orang yang memang sudah mengetahui secara
mendalam mengenai orang-orang laut.
***
Menjelang matahari
terbenam di ufuk barat dan tenggelam di balik perairan. Saya lekas keluar
hendak menyaksikan salah satu kebesaran Allah Pencipta Alam. Saat itu saya
mengambil inisiatif dan menyaksikan sendirian. Betapa angin laut menjelang
malam bertiup cukup kencang, dengan deburan ombak bersuara riuh terkena
hempasan bagian bawah kapal yang kokoh.
Saya tak hanya ingin
melihat secara langsung dengan mata super canggih yang tiada satupun kamera di
dunia ini mampu mengalahkah pixel fokus mata manusia. Namun saya juga hendak
mengabadikan momen dengan sebuah dokumentasi potretan.
Kiri-kanan saya
melihat-lihat apakah ada orang yang bisa membantu. Dan saya terhenti ketika melihat
seorang lelaki yang berdiri tidak jauh di sebelah kanan. Tanpa basa-basi saya
menyapanya dengan senyuman. Seperti biasa, senyum adalah senjata ampuh untuk
menghantarkan citra kedamaian yang melahirkan sebuah komunikasi persahabatan.
Saya menjabat tangannya dan ia juga dengan sembari menanyakan asal, hendak
kemana, dan darimana. Di sela-sela obrolan, saya menyodorkan pertanyaan atas berkenannya
memotretkan saya dengan backround kapal dan senja (bukan anak indi senja, kopi,
mag ya).
![]() |
Senja-senjaan tanpa kopi menemani. |
Lelaki itu bernama Zaki. Ia merupakan Mahasiswa Universitas Teknologi Sumbawa, asal Bandung. Sebelumnya ia baru dari Kediri, sekedar singgah dan bertemu dengan kawannya. Ia mengawali perjalanan dari Bandung dan hendak kembali ke Sumbawa Besar. Dari asing, kami menjadi kenal, dan akrab bagai sohib yang sudah lama berpisah.
Kami bercerita banyak
dan saling bertukar pengalaman. Ternyata Zaki juga sendirian melakukan
perjalanan ini. Dengan style ala-ala backpacker memakai flanel, tas kecil, dan
membawa kamera analog klasik yang cukup unik. Bagi saya sosok Zaki yang masih
senang memakai kamera analog membuktikan, bahwa ia tidak serta-merta hendak
meninggalkan jejak lama. Dalam artian, meskipun teknologi sudah meliputi
kecanggihan yang memudahkan manusia, ia tetap berpegang dengan hobinya.
Hal ini tak masalah, karena
setiap orang memiliki prinsip masing-masing. Namun, dari hal ini saya
menyoroti. Terkadang sifat manusia selalu tak berpuas diri, seringkali menginginkan
lebih dan bertambah lagi. Artinya, jika kita menjadi manusia yang selalu
menuruti zaman dengan keglamoran, maka siap-siap kita akan terbawa oleh arus
kemodernisasian, dan kita menjadi manusia yang konsumtif.
Baiklah. Saya tak ingin
berpanjang lebar membahas mengenai teknologi. Saya kembali menghamparkan
pandangan kepada masing-masing. Setiap orang tentu memiliki persepsi berbeda.
Apalagi dengan keterbatasan ilmu saya, rasanya tulisan kecil ini masih jauh
dari kata sempurna (saya masih belajar).
***
Adzan maghrib
berkumandang di atas kapal. Suaranya menggetarkan, karena kumandangannya berupa
panggilan hati bagi kami sekalian penumpang. Di luar ini, kekuatan adzan bukan
hanya berbentuk suara. Tetapi kekuatan spiritual yang memberi ketenangan
sekalian makhluk hidup laut yang turut merasakan. Bukankah, setiap makhluk
hidup bertasbih memuji Allah?
Kemudian saya pamit hendak
beranjak meninggalkan dek kembali ke dalam ruangan, dan siap-siap. Semua
penumpang sudah ramai pergi menuju mushola kecil di tingkat 3 dari struktur
bangunan kapal. Dan saya turut serta disana dengan terlebih dahulu mengantri di
depan pintu mushola. Luas ruangan mushola kapal kira-kira 4 x 4 meter, tak
sebanding dengan jumlah penumpang.
Seusai menunaikan
kewajiban, saya kembali ke ruangan kapal. Tak lama, tiba-tiba Pak De menghampiri
saya dan menanyai Pak Mutas? Saya yang dari luar tak tahu dimana Pak Mutas. Saya
sahut saja, “nampaknya sedang keluar”. Lalu Pak De duduk di samping saya dan
kami berbincang hangat.
Pak De bertanya ke saya,
“kamu dari mana dan hendak kemana?”. Saya menjelaskan dengan singkat, “saya
dari Sumatera Barat, mahasiswa Jogja hendak ke Labuan Bajo.” Sendirian ucap pak
de. “iya sendiran. Namun saya tidak benara-benar sendirian”. Secara fisik saya
memang sendirian, namun di lain sisi setiap manusia selalu dalam pantauan dan
penjagaan-Nya.
Pak De merespon saya
ketika mengucap Jogja. Ia baru juga kembali dari Jogja bersama pekerjanya yang
saat kami berbincang tidak bersama kami. Kalau tak salah ia mempunyai rumah di
Sleman yang kini dijadikan indekos. Jika saya memaparkan keseluruhan percakapan
Pak De. Saya rasa tak akan cukup satu atau dua lembar.
Maka, saya mengambil
inti dari percakapan ini; Pak De sempat bercerita, bahwa indekos beliau yang di
Sleman di tempati oleh mahasiswa yang terkadang sulit membayar. Namun dilain
sisi, dengan kemanusiaannya Pak De memahami hal tersebut. Sebab tidak semua
mahasiswa berasal dari keluarga yang mencukupi. Apalagi bayaran indekos di
tempat Pak De tidak begitu mahal.
Pak De cerita banyak
mengenai sisi-sisi mahasiswa yang menempati indekosnya. Sampai juga, dari Pak De-lah
saya mengetahui sebuah nama masjid yang terkenal dan familiar, ialah Masjid
Suciati Saliman. Pak De bercerita mengenai sejarah sampai dengan terbangunnya
masjid yang indah dan megah tersebut.
Berawal dari keinginan seorang
perempuan hebat yang bercita-cita semenjak SMP membangun masjid. Namanya “Suciati
Saliman”, sekaligus nama inilah yang di sematkan pada penamaan masjid yang di
bangunnya. Beliau merupakan seorang penjual ayam yang sukses. Mimpi “Suciati
Saliman” semenjak SMP membangun masjid megah nan mewah terwujud dan masjid
tersebut di resmikan tanggal 13 Mei 2018.
Bahkan, setelah 1 tahun
saya menetap di Jogja, saya tidak mengetahui atau mengunjungi Masjid Suciati Saliman.
Betapa bodohnya saya tidak mengetahui. Lantas, malah di perjalananlah saya
mengetahu hal ini. Perjalanan? Selalu memberi kejutan.
***
“Perjalanan yang tak di
sangka ini tumbuh dari rasa penasaran; seperti apa Indonesia bagian timur itu?
Bagaimana kehidupan di jalan? Bagaimana budaya sosial masyarakatnya? Hal inilah
yang menjadi daya pemicu saya berani meninggalkan zona nyaman. Juga dari faktor
keinginan; saya ingin lebih dekat dengan Sang Pencipta, melalui kehidupan liar
hiruk pikuk dunia, saya ingin belajar secara nyata dari alam, kehidupan, dan
perjalanan. Bagi saya, duduk manis di bangku kuliah sekian persen dari beberapa
persen lainnya ilmu yang di dapat.”
Prolog ini bersumber
dari tujuan perjalanan yang saya lakukan. Betapa sebelum bertindak, kita mesti
berpikir jauh ke depan. Agar tak terombang-ambing ketidak pastian, tergoyahkan
oleh keyakinan yang masih rapuh, serta tidak terseret arus hingar bingar; hal
ini berarti menjadilah orang idealistis yang berpegang pada kebaikan dan tujuan
awal.
Tak lama setelah
bercerita panjang. Pak de pamit kembali ke bangkunya yang berjauhan dengan
bangku saya. Pak Mutas kemudian kembali membawa segelas kopi, dan menawarkan
saya. Ia bilang, “jika hendak ngopi ini saya masih punya kopi lebih, dan air
panas beli saja di cafetaria.” Saya menerima tawaran kopi sachet itu dan ikut
pula menyeduhnya. Kemudian kami menyeruput kopi bersama. Pada malam syahdu, di
atas kapal Legundi yang mengarung dan di atas laut Jawa menuju selat Lombok.
![]() |
Menjelang senja. |
-Bersambung-
Komentar
Posting Komentar