Beranjak Meninggalkan Jejak

#Bagian 3 (Kota Surabaya - P. Tanjung Perak).

           

Tugu, vespa, dan kenangan.

Cuaca 6 Agustus 2019 tampak cerah merona. Dengan mentari indah muncul dari arah timur Surabaya. Pancar sinarnya begitu anggun dan elok di pandang seperti sambutan semesta kepada manusia. Setiap cuplikannya terekam jelas otomatisasi indera mata, lalu tersimpan memori tak terbatas yang di beri Maha Kuasa.

Pagi yang cerah. Saya dan Mas Acil akan bertolak menuju kantor ekspedisi terlebih dahulu. Setelah itu, Mas Acil akan mengantar saya ke pelabuhan Tj. Perak. Vespa px Mas Acil yang semalam kami tunggangi akan di bawa ke Mataram. Maka, kami berangkat ke kantor dengan 2 motor. Mas Acil membawa vespa dan saya membawa motor revo.

Untuk pertama kalinya saya mengemudi motor di jalanan Surabaya. Terasa asing. Di lain sisi saya mesti menyesuaikan dengan kondisi jalanan berbeda, serta lampu merahnya yang membingungkan. Kurang lebih saya menempuh 10 menit perjalanan.

Saya masih ingat, lintasan yang saya lewati tadi merupakan jalan yang tempo dahulu arek-arek Suroboyo berperang menumpas kolonialisme Belanda. Lokasinya dekat dari jembatan merah. Menurut Mas Acil, tempat ini sekarang dijadikan sebagai tempat peringatan perjuangan arek Suroboyo yang di peringati setiap tanggal 10 november (hari pahlawan).

Biasanya jalanan ini akan ramai dengan pawai, drama, sampai dengan reka ulang peperangan yang diadakan oleh komunitas pecinta sejarah. Kurang lebih, rute agenda rutin tahunan ini di mulai dari Taman Pahlawan hingga Taman Bungkul, yang di buka oleh Walikota Surabaya, Bu Tri Rismaharani. Jenis perang tahun 1945 silam ini diantaranya; perang Madun dan perang Benteng Kedung Cowek. Sekilas saya kembali mengenang, dan sejenak bersyukur akan bertambahnya wawasan dalam perjalanan. Tak berapa lama, kami sampai di kantor.

Sambil menunggu Mas Acil dan personil memuat barang, saya menepi ke warung kecil disudut kantor untuk sarapan pagi. Ibu warungnya ramah, orang jawa asli, masakannya pun memuaskan, dan mengenyangkan. Pagi-pagi itu saya sudah disuguhi dengan sambal khas Surabaya. Hampir saja sambal pedas itu melilit perut saya. Tetapi entah ada angin apa, perut saya biasa saja saat itu. Setelah makan, Mas Acil menyusul dan memberitahu untuk siap-siap berangkat.

Mas Acil akan mengirim tiga mobil pick-up ke Lombok. Satu mobil berisi satu unit vespa px beserta sparepart motor bebek. Satu mobil lagi berisi sparepart vespa, dan mobil ketiga berisi sparepart juga, hanya saja saya lupa jenis apa di atas baknya.

Jadi dalam ceritanya, awal mula Mas Acil dapat menjadi pengelola ekspedisi berawal dari pamannya. Dahulu, sewaktu Mas Acil masih sekolah. Ia sering ikut pamannya bekerja dan turut mengamati dengan terjun langsung ke lapangan. Mulai dari mengangkut barang, sampai dengan belajar mengenai menjadi orang ekspedisi ia lakoni. Hasilnya, disaat sudah matang dengan bekal kemampuan. Mas Acil membuka kantor ekspedisi sendiri. Hal ini juga yang menjadi cerita motivasi untuk saya. Kenapa tidak kita belajar sejak muda untuk berbisnis dan mengelola dengan mandiri?

***

Saya melaju ke Tj. Perak dengan motor revo. Sebelumnya Mas Acil mengajukan; “bisa bawa mobil atau tidak?”. Tentu saya tidak bisa karena belum belajar. Baiklah, jika ada kesempatan saya akan mencoba belajar mengemudi. Kejadian ini sekaligus menjadi penguat kepenasaran saya untuk belajar mengemudi mobil.

Sesampai di pelabuhan, kami berhenti di sebuah persimpangan dengan 2 mobil yang sudah terparkir. Saat itu saya dikenalkan Mas Acil dengan salah satu kawannya, atau supir yang akan membersamai saya. Ialah Om Ape, orang Lombok asli dengan perawakan berbadan tegap dan garang. Sekilas Om Ape nampak asing. Saya agak mengirit kata berbicara dengannya lantaran kami baru bersua.

Namun, tak lama kami menjadi akrab dengan berbalas senyum. Tak lupa, menjelang mobil akan masuk ke dalam pelabuhan dan memarkir di atas kapal Legundi, saya berfoto dengan Mas Acil sebagai kenang-kenangan. Dan, setelah berfoto itulah akhir kami bertemu. Lalu Mas Acil pamit kembali ke kantor karena masih ada hal yang hendak di kerjakan.

Sebelum berpisah dengan Mas Acil.

Saya diam sambil mengamati keadaan pelabuhan. Tas cerrier sudah di masukkan ke dalam mobil pick-up. Sementara 2 mobil lagi belum ada yang menyupirkan. Untung saja sebelum Mas Acil benar-benar kembali, ada Pak De dengan anak buahnya, dan Pak Mutas yang siap menyupirkan mobil. Mereka akan bertolak juga ke Lombok, kembali ke kampung halaman. Beruntungnya mereka, senasib dengan saya karena gratis menyebrang Surabaya – Lombok.

Siang kian beranjak, matahari pagi sudah mulai meninggi mengikuti rotasi bumi. Mobil pun akan segera memasuki gerbang masuk pelabuhan menuju kapal Legundi. Mobil kami termasuk mobil tercepat yang menaiki kapal, karena kami naik H-5 jam dari jadwal kapal yang akan berangkat jam 2 lewat.

Legundi pada tanggal 6 agustus merupakan akses satu-satunya kapal penghubung Surabaya - Lombok, Lombok - Surabaya. Jadi, dari Surabaya atau Lombok, Legundi memakai sistem pulang - balik dengan selang-seling per dua hari. Hal ini karena kapal masih terbatas. Kemudian kabarnya, akan ada launching kapal swasta yang dapat di akses melalui Surabaya - Lombok, Lombok - Surabaya. Ialah kapal oasis. Mungkin, nanti di pembahasan lain saya akan menjelaskan spesifikasi kapal oasis dari sudut pandang saya.

***

Saya sudah berpisah dengan Mas Acil. Ia kembali bekerja, sedangkan saya meneruskan perjalanan melalui mobil barang titipan serta supirnya. Mau tidak mau, saya kembali beradaptasi dengan kondisi yang spontan. Sebab, alur perjalanan tidak semulus harapan, perjalanan selalu diliputi masalah yang kita harus siap menghadapi, mencari solusi, dan menyelesaikan setiap kejadian di jalan.

Mobil pick-up yang saya naiki bersama Om Ape sudah terparkir di atas kapal Legundi yang masih kosong kendaraan. Om Ape mengajak saya kembali ke bawah mencari makan di warung. “Kita akan membungkus makanan sebagai bekal perjalanan, dek”, begitulah ucapnya. Perjalanan yang akan kami tempuh sekitar 20-23 jam. Kata om ape, “makanan di kapal mahal harganya, karena pajak penjual lebih besar. Di kapal juga nasinya tak banyak, jadi saya kurang kenyang kalau sedikit itu. Sebenarnya kalau beli tiket kita dapat makan 2 kali, namun harga tiket bertambah dengan membeli kupon makan”.

Begitulah Om Ape mengutarakan sekaligus mengenalkan kepada saya kondisi kapal yang harus saya pelajari. Saya mengikuti Om Ape saja yang sudah berpengalaman. Saya di ajak ke warung langganannya di tepi gerbang bertuliskan “Harbour”. Disana saya memesan 2 bungkus nasi dengan porsi yang menurut saya lebih dari cukup. Harganya juga terjangkau, dengan tambahan sambal; sambal dengan nasi adalah kelezatan bagi sebagian orang Sumatera yang menyukai cita rasa pedas. Setelah membeli nasi bungkus, kami kembali ke kapal menunggu keberangkatan.

***

Saya sudah di dalam kapal. Om Ape mengkondisikan saya untuk istirahat di kamar khusus supir. Padahal saya bukan supir. Namun saya mengkuti saja, karena beliaulah yang saya kenal saat ini. Sayapun berbaring tidak lama di dalam, meski kamarnya sangat menawarkan kenyamanan.

Sebentar saya keluar menuju dek melihat keadaan. Kemudian saat hendak masuk kembali, tiba-tiba saya di tahan oleh penjaga kamar khusus supir. Ia berkata, “mau kemana?, saya jawab, “saya ingin masuk ke dalam, barang-barang saya di dalam, dan saya bersama kawan.” “kamar ini khusus supir, apakah anda supir?” dengan kembali bertanya. Saya sesaat menjawab, “saya bukan supir, namun saya temannya supir.” “anda tidak boleh menempati kamar ini, untuk penumpang biasa silahkan diluar”.

Setidaknya saya sudah tau konsikuensi ini, saya juga sudah menganalisis bahwa saya akan menghadapi ini. Lalu saya kembali ke dalam kamar mengambil barang, dan pamit dengan Om Ape. Saya berkata, “saya beristirahat di kelas ekonomi saja om”. Om Ape sempat menahan, sebab di kamar ini banyak tempat kosong. Namun saya berpikir kembali, jika saya tetap berada disini, saya tidak akan bebas mengeksplorasi dan mempelajari keadaan kapal.

-Bersambung-

Tanjung Perak, tepi laut.

Komentar