Sejenak di Kota Pahlawan

#Bagian 2 (Kota Surabaya).

    Tangan kami saling berjabat. Saya kembali memperkenalkan diri dengan senyum pertemanan. Keindahan senyum menghantar energi baik pertemuan dua insan. Antara saya dengan Mas Acil, seorang pegiat vespa sekaligus menjadi penggerak relawan vespa peduli saat bencana Lombok dan Donggala, Palu.

***

Surabaya siang menciptakan panas luar biasa. Namun tak masalah, karena panas termasuk nikmat Tuhan tak terhingga. Mobil pick-up putih Mas Acil melintas di depan monumen Bambu Runcing, sekaligus mengingatkan saya kembali, akan sejarah panjang perlawanan pejuang kemerdekaan Indonesia menumpas kolonialisme Belanda. Saya menatap hingga monumen itu tak nampak lagi dipelupuk mata, dan sekilas teringat akan perjuangan yang sungguh revolusioner.

Sebagai pemuda, mengingat kisah pejuang revolousioner memperebutkan kemerdekaan tersebut. Dapat menjadi suatu pelajaran dan bahan renungan. Bagi saya dan barangkali kita, agar tidak terus bungkam terhadap kesewenang-wenangan.

Mas Acil tiba-tiba menawari, “kalau mau main sekaligus melihat sudut kota Surabaya, malam nanti saja, sekarang saya harus kerja dulu mengambil pesanan”. Timpal saya mafhum.

Kesadaran menjadi kunci, karena kita adalah tamu yang harus menerima konsekuensi dari tuan rumah. Niat baik akan selalu membuahkan manisnya harapan. Memijakkan kaki di kota pahlawan saja sudah bersyukur. Tiba-tiba Mas Acil memudarkan lamunan saya. “Oh iya, kita mampir ke toko sparepart dulu ya mengambil pesanan, setelah itu kita pergi ke kantor letakkan barang biar cepat selesai, dan kita menuju kediaman saya.” “Baik mas” dengan canggung saya menjawab, karena baru bertemu. Tetapi untuk seterusnya, suasana menjadi cair dengan obrolan kecil mengenai keseharian Mas Acil, hingga menyinggung tentang perjalanan saya nanti ke Nusa Tenggara.

Gedung-gedung saling berseberangan yang menjadi lokasi kantor Mas Acil.
 

***

Setelah selesai mengambil barang pesanan sparepart di toko. Kami melaju menuju kantor yang letaknya berdekatan dengan pelabuhan Tj. Perak. Disana saya bertemu dengan beberapa kawan sekaligus personil Mas Acil, yang salah satunya adalah orang Minang. Sontak saya ajak ia berbincang meski hanya sebentar. Karena setelah meletakkan barang, kami kembali memutar arah menuju kediaman Mas Acil, agar saya bisa meletakkan barang bawaan dan beristirahat sebentar.

Ditengah perjalanan, saya merenungi jejak yang telah ditinggalkan, tentang waktu yang tak bisa diulang, dan suatu keharusan untuk rela menukar kenyamanan dirumah dengan perjalanan. Saya langsung buyarkan ketakutan tersebut. Renungan akan menjadi sumber pilu dalam berjuang. Sebab, ada hal yang lebih besar yang pantas saya renungi.

Tak lama kemudian saya tiba di tempat kediaman Mas Acil. Lalu mobil di parkir. Dengan langkah gontai, saya hening sejenak, “kota yang saya pijak sekarang adalah rumah persinggahan sekaligus akan menjadi tempat untuk merehat, dan beristirahat walau hanya semalam. Surabaya, Kota Pahlawan.” Ucap saya.

Langkah kami menyusuri deretan gang rumah yang saling berdekatan. Riuh keramaian, hingga lambang-lambang merah putih menghiasi setiap langit-langit gang, sudut, teras, dan pinggiran jalan. Tampak indah ditambah bendera merah putih berkibar, serta tali-tali melintang berhiaskan merah putih yang dilukiskan pada gelas-gelas plastik. Iya, saat ini adalah agustus. Itulah sebab gang ini sangat berwarna. Masyarakatnya pun juga sangat antusias menyambut hari kemerdekaan. Sudah semestinya juga gelora dihidupkan dalam dada, karena Indonesia adalah negara yang merdeka dengan perjuangan para pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, kita juga patut mempertanyakan seperti apa kemerdekaan yang sebenarnya? Ataukah 17 Agustus hanya akan menjadi ritual peringatan saja.

Gang menuju rumah Mas Acil.

Ketika saya sampai di kediaman Mas Acil, saya bersalaman dengan Omnya Mas Acil. Seorang lelaki dengan bergaya sastrawan. Kenapa saya menyebut sastrawan, karena beliau merupakan lelaki yang menyenangi estetika seni lukis estetis. Lukisannya hingga karya ukir terpampang indah disetiap sudut ruangan, meliputi dengan gaya dan rambutnya yang gondrong, sama dengan saya, berambut gondrong.

“Wah, tamu dari mana ini?” ucap Omnya Mas Acil dengan senyum ala sastrawan. Lalu saya jawab, bahwa saya dari Sumatera Barat, mahasiswa Jogja. Kemudian Omnya Mas Acil menimpali dengan sambutan pertemanan, dan saya kembali menyambut hal baik itu lalu pamit ke kamar Mas Acil meletakkan barang, dan menghela nafas di dalam kamar sebelum adzan Maghrib berkumandang.

***

Malam hari di kota pahlawan sungguh indah. Dengan kerlap kerlip lampu kota dan ramainya manusia. Gemuruh suara knalpot menyambut saya, jalanan yang tak begitu beraturan menjadi pembeda dengan kota Jogja. Namun, ada kenikmatan lain yang dapat saya syukuri, yaitu duduk dijok belakang bersama Mas Acil dengan menunggangi vespa. Kendaraan yang membuat saya selalu nyaman, karena ia menawarkan keindahan yang hanya pencinta mampu menafsirkan. Obrolan demi obrolan saling berlontarkan, tawa hingga sebuah edukasi diberikan oleh Mas Acil yang terus memandu seiring vespa berjalan melewati tempat-tempat bersejarah dari kota Surabaya.

Ada banyak tugu, yang menjadi simbol untuk dikenang bagi masyarakat Surabaya. Tugu yang berlambangkan sura (hiu) dan baya (buaya), adalah tugu yang terkenal bagi pendatang seperti saya. Karena pertama kali, saya tidak begitu mengetahui ada berapa banyak tugu-tugu seperti itu. Mas Acil menyebutkan, kira-kira ada 3 tugu yang berlambangkan buaya dan hiu ini.

Tentu bukan seberapa banyak, atau seberapa penting tugu itu ada. Namun, seberapa memaknai kita dalam melihat rentetan sejarah hingga tugu itu dibangun. Bagi saya, setiap sudut kota pahlawan adalah saksi bisu perjuangan, tetapi apakah sudut itu mampu berbicara? Tentu tidak, dan apakah yang membuat manusia mengetahui bahwa Surabaya adalah kota pahlawan?. Sejarah, sejarahlah yang merekam setiap kejadian tempo dulu. Juga tulisan, tulisanlah yang mampu berbicara ketika ucapan dimanipulasi. Seperti kata Bung Karno, “JAS MERAH” (jangan sekali-kali melupakan sejarah).

***

Saya diajak berkeliling oleh Mas Acil. Ia memperkenalkan kepada saya arti dari sebuah perjalanan, pertemanan, hingga sejarah untuk dikenang, bukan dilupakan. Meski waktu kami tidak lama bercengkrama bersama, obrolan kecil akan selalu membekas dihati masing-masing. Kebaikan Mas Acil akan selalu saya jadikan motivasi, agar saya mampu pula untuk  terus berbuat kebaikan kepada orang lain. Mas Acil juga tak lupa mengenalkan kawan-kawannya kepada saya. Ada anak Bonek supporter Persebaya, juga anak-anak Orijingan (komunitas vespa). Meski begitu, keberagaman inilah yang menjadikan Indonesia Bhineka Tunggal Ika.

Malam di Surabaya. Saya menemukan makna dan tetes-tetes ilmu, dengan sebuah pelajaran yang dapat saya jadikan referensi. Awal adalah pintu untuk mengarungi pengembaraan panjang sebelum menempuh Nusa Tenggara. Saya kembali memperbaiki niat agar perjalanan tidak menjadi sia-sia.

Saya kembali ke tempat kediaman Mas Acil, malam yang larut menundukkan kepala saya dengan keletihan yang tak terbendung. Saya tertidur, terlelap untuk esok hari kembali bangun dan berkemas melanjutkan perjalanan.

Pinggir kali berlatar gedung dan tugu.

-Bersambung-

 


Komentar

Posting Komentar