Awal Bermula Langkah Pelana

#Bagian 1 (Yogyakarta, Lempuyangan  - Surabaya, Gubeng).


Selesai mencetak tiket.

        Ini adalah awal langkah. Sekaligus, langkah yang hendak keluar dari zona nyaman menuju ke timur Indonesia, atau bisa dikatakan Nusa Tenggara. Keinginan yang sudah lama bersarang; mengenal budaya, bercengkrama dengan masyarakat Indonesia disetiap wilayah, sampai dengan rasa takjub menyaksikan bentangan alam nusantara yang maha indah, menjadi daya tarik saya dalam melangkah.

 ***

Pada suatu malam, tanggal 4 Agustus 2019. Saya menyusun perlengkapan dengan sedemikan rupa, me-list satu persatu, dan memastikan tak ada barang yang ketinggalan. Setelah semua perlengkapan selesai disiapkan, tekad dibulatkan, niat diluruskan, dan pikiran dijernihkan. Malam larut menidurkan tubuh lelah yang seharian berjibaku alat tempur perjalanan. Saya ucap do'a, hingga mata terlelap dan bangun kembali pada subuh hari.

Pagi menyambut dengan udara sejuk perkotaan. Setelah selesai berkemas dengan segala persiapan matang, saya diantar Ikhsan; kawan satu rumah kontrakan di Jogja. Kemudian, kami berangkat. Kondisi kota Jogja saat itu masih sepi dari lalu lalang kendaraan. Saya beserta tas cerrier besar seperti kulkas, perlahan menjauh dari kontrakan dengan menaiki motor matican. Dengan sepoi udara pagi, saya berucap sepatah kata dengan tenang dan berbisik. "Ya Rabb, lindungi hamba beserta langkah, agar hamba dapat meniti perjalanan dengan penuh tunduk takjub akan kebesaran-Mu. Lalu, do'a saya terbangkan ke langit luas, mohon perlindungan kepada-Nya yang Maha Pengasih.

Soal tiket kereta, saya tak khawatir lagi. Karena, tiket sudah saya pesan melalui aplikasi, jauh sebelum keberangkatan. Gunanya agar mendapat slot, dan harga pas; pas-pas kantong, maksud penulis. Baiklah, lanjut lagi. Sesampai di stasiun Lempuyangan, saya langsung pergi menuju tempat cetak tiket online. Kereta yang saya pilih ialah, Logawa. Sebab, kereta tersebut adalah kereta satu-satunya yang menyediakan tiket murah meriah, tak sampai seratus ribu. Cukup 80k, sudah sampai di Surabaya.

Saat cetak tiket.

Pada tanggal 5 Agustus 2019, tepat pada pukul 08:30 WIB. Saya berpamitan dengan Ikhsan, beserta kawan-kawan lain yang tak sengaja bersua di stasiun.

Langkah kaki mulai beranjak masuk ke dalam stasiun. Pengeras suara berbunyi, “kereta Logawa Lempuyangan – Gubeng akan segera merapat, mohon berhati-hati dan perhatikan barang bawaan anda, jangan sampai tertinggal apalagi tertukar”. Suara lalu menghilang, disertai para penumpang yang tengah bersiap menaiki peron, sambil menjinjing, dan menggendong barang bawaan menuju gerbong. Termasuk saya, salah satu dari penumpang itu. Kemudian, saya langsung mencari tempat duduk sesuai tiket pesanan. Setelah ketemu, tas saya letakkan diatas kabin dengan agak kepayahan, karena berat, bung! Karena berat itulah, makanya saya tak kuat. Hal ini, lantas mengundang simpati penumpang lain. Hingga, orang baik itu membantu saya. Alhamdulillah.

***

Mata tak bisa terpejam, suara obrolan bangku samping saling bersahutan. Sampai pada saat, saya membuka obrolan untuk mencairkan suasana. “Mas, tujuan kemana?", lalu disahut oleh penumpang yang duduk di depan saya. “tujuan saya ke Banyuwangi, kalau mas kemana?”, lalu saya jawab dengan menegaskan tujuan yang jelas, “kalau sekarang ke Surabaya dulu mas, tapi kalau tujuan asli ke Labuan Bajo”. Dengan menimpali pertanyaan soal nama, “oh iya mas, kita belum berkenalan, saya Raja”, dijawab dengan sedikit gelak tawa memperhangat obrolan, “hehe iya mas, saya Maulana”. Terbesit dihati, bahwa jujur lebih baik daripada harus memendam. Tujuan perjalanan bukan untuk ditutupi, tetapi menjadi keterbukaan suatu informasi. Bukan mau meninggi ataupun besar kepala, kita hanyalah manusia-manusia pejalan, bercengkramalah terhadap situasi.

Setelah berkenalan, obrolan-obrolan terus berlanjut sampai titik jenuh dan kebuntuan. Saya hening sejenak memikirkan ulang pertanyaan yang bisa memanjangkan obrolan. Hasilnya, saya hanya dapat mengambil kesimpulan, bahwa Mas Maulana adalah seorang mahasiswa peternakan asal Banyuwangi. Di balik latar belakang tersebut, saya berbicara seputar bagaimana perkembangan peternakan Indonesia saat ini? Seberapa rumit dan apa saja yang dilakukan mahasiswa/i peternakan?. Lalu, Mas Maulana menjawab menurut sepengetahuan yang ia punya dengan memberi pemahaman sederhana. Mungkin, saya tak dapat menangkap penjelasan itu sepenuhnya, tetapi bukankah itu sebuah ilmu baru yang dapat terpakai suatu saat nanti. Bukankah definisi ilmu sangatlah luas.

Tas saya dengan setengah badan Mas Maulana.

Diakhir obrolan, kami saling menawarkan untuk singgah ke masing-masing domisili kalau waktu memungkinkan nanti. Mas Maulana menawarkan saya untuk singgah ke Banyuwangi. Begitu juga saya, menawarkan ia untuk singgah ke Jogja. Lalu, kita saling bertukar kontak untuk menjaga hubungan persaudaraan. Karena sisi lain dari perjalanan adalah mendapatkan saudara dan pengalaman.

***

Tanpa terasa, sampailah kereta Logawa di stasiun Gubeng, dengan rute perjalanan; Lempuyangan-Klaten-Purwosari-Sragen-Madiun-Caruban-Kertosono-Jombang-Mojokerto-Surabaya(Gubeng). Obrolan terputus, saya berpisah dengan Mas Maulana yang meneruskan perjalanan ke Banyuwangi. Kami bersalaman dan saling mengingatkan, agar suatu saat nanti, semoga Allah dapat mempertemukan kembali.

Tas cerrier berbentuk kulkas itu kembali saya angkat, punggung mau tidak mau harus mau menahan berat. Dengan melewati beberapa kerumunan, saya turun dari gerbong dan sesaat menelpon Mas Acil kawan Bang Edgar, karena ia sudah menunggu di luar stasiun. Sebelum ini, di kereta saya sudah terlebih dahulu memberi kabar Mas Acil, bahwa saya akan menuju Surabaya.

Saya dapat kontak Mas Acil dari Bang Edgar, kawan vespa yang tak sengaja bertemu di Padang, Sumatera Barat. Saat itu, Bang Edgar sedang dalam perjalanannya ke Sabang dengan menunggangi Vespa menuju titik 0 km Indonesia. Semoga saja, sekembali dari Nusa Tenggara Timur. Langkah kecil ini dapat menapaki ujung barat Indonesia. Aamiin.

***

Sesudah menelpon, rombongan para pendaki melempar senyum ke arah saya. Lalu, senyum kembali saya balas dengan membuka obrolan baru, “Darimana mau kemana mas?” ia menjawab dengan kembali senyum, “kita dari Jakarta, mau naik Semeru mas”. Obrolan tak disangka berlanjut, sampai terhenti oleh deringan Hp. Ternyata Mas Acil sudah di luar, dan saya berpamit kepada rombongan pendaki Jakarta.

Saat itu, saya lupa meminta kontak dan menanyai masing-masing nama pendaki tersebut. Seingat saya, mereka berjumlah 5 orang dengan masing-masing tas cerrier yang membersamai. Mereka sempat bercerita mengenai akses perjalanan menghemat pengeluaran. Salah satu dari mereka berkata, "kalau mau irit pengeluaran transportasi ke Malang, dari Jakarta turun di Gubeng, lanjut naik Bus sampai Malang. Dengan begitu, kita bisa meminimalisir pengeluaran untuk trasnportasi." (Semoga dapat membantu).

Baru saja melangkah, sudah banyak hal-hal berharga yang didapat. Kejadian tak terduga, saudara, teman yang satu tujuan, bahkan satu pandangan. Ilmupun menjadi bertambah, dari hal-hal kecil, yang jarang orang meliriknya, dan dilupakan begitu saja. Ini semua menjadi sebuah renungan bagi kita dan bahan evaluasi bagi diri saya pribadi.

Bagi saya, melangkah bukan soal gengsi, nafsu ambisi untuk berkompetisi. Karena, melangkah adalah mensyukuri setiap jengkal kebesaran Tuhan. Betapa indah kejutan semesta dalam mewarnai ayunan langkah. Do’a terasa nikmat, hati menjadi kuat, dan jiwa menjadi dekat. Allah kuasa, kebesaran-Nya melingkupi alam semesta.

***

Saya keluar dari stasiun, menengok kanan-kiri untuk menyeberang jalan. Mas Acil memberi kabar lewat pesan singkat WA, bahwa ia memakai mobil pick-up putih. Setelah melihat ciri-ciri yang dikatakan Mas Acil, saya menuju ke titik mobil tersebut. Mendekat semakin dekat, langsung spontan saya meluncurkan senyum, dan berjabat tangan mengawali perkenalan. Mas Acilpun kembali melemparr senyum dan menyambut tangan saya. Lalu, saya naik mobil bersama Mas Acil diatas aspal jalanan Surabaya.

-Bersambung-

Komentar