#Bagian 1 (Yogyakarta, Lempuyangan -
Surabaya, Gubeng).
![]() |
Selesai mencetak tiket. |
Ini adalah awal langkah. Sekaligus,
langkah yang hendak keluar dari zona nyaman menuju ke timur Indonesia, atau
bisa dikatakan Nusa Tenggara. Keinginan yang sudah lama bersarang; mengenal
budaya, bercengkrama dengan masyarakat Indonesia disetiap wilayah, sampai
dengan rasa takjub menyaksikan bentangan alam nusantara yang maha indah,
menjadi daya tarik saya dalam melangkah.
Pada suatu malam, tanggal 4 Agustus
2019. Saya menyusun perlengkapan dengan sedemikan rupa, me-list satu persatu,
dan memastikan tak ada barang yang ketinggalan. Setelah semua perlengkapan
selesai disiapkan, tekad dibulatkan, niat diluruskan, dan pikiran dijernihkan.
Malam larut menidurkan tubuh lelah yang seharian berjibaku alat tempur
perjalanan. Saya ucap do'a, hingga mata terlelap dan bangun kembali pada subuh
hari.
Pagi menyambut dengan
udara sejuk perkotaan. Setelah selesai berkemas dengan segala persiapan matang,
saya diantar Ikhsan; kawan satu rumah kontrakan di Jogja. Kemudian, kami
berangkat. Kondisi kota Jogja saat itu masih sepi dari lalu lalang kendaraan.
Saya beserta tas cerrier besar seperti kulkas, perlahan menjauh dari kontrakan
dengan menaiki motor matican. Dengan sepoi udara pagi, saya berucap sepatah
kata dengan tenang dan berbisik. "Ya Rabb, lindungi hamba beserta langkah,
agar hamba dapat meniti perjalanan dengan penuh tunduk takjub akan
kebesaran-Mu. Lalu, do'a saya terbangkan ke langit luas, mohon perlindungan
kepada-Nya yang Maha Pengasih.
Soal tiket kereta,
saya tak khawatir lagi. Karena, tiket sudah saya pesan melalui aplikasi, jauh
sebelum keberangkatan. Gunanya agar mendapat slot, dan harga pas; pas-pas
kantong, maksud penulis. Baiklah, lanjut lagi. Sesampai di stasiun Lempuyangan,
saya langsung pergi menuju tempat cetak tiket online. Kereta yang saya pilih
ialah, Logawa. Sebab, kereta tersebut adalah kereta satu-satunya yang
menyediakan tiket murah meriah, tak sampai seratus ribu. Cukup 80k, sudah
sampai di Surabaya.
|
||
Pada tanggal 5 Agustus 2019, tepat pada pukul 08:30 WIB. Saya berpamitan dengan Ikhsan, beserta kawan-kawan lain yang tak sengaja bersua di stasiun. |
Langkah kaki mulai
beranjak masuk ke dalam stasiun. Pengeras suara berbunyi, “kereta Logawa
Lempuyangan – Gubeng akan segera merapat, mohon berhati-hati dan perhatikan
barang bawaan anda, jangan sampai tertinggal apalagi tertukar”. Suara lalu
menghilang, disertai para penumpang yang tengah bersiap menaiki peron, sambil
menjinjing, dan menggendong barang bawaan menuju gerbong. Termasuk saya, salah
satu dari penumpang itu. Kemudian, saya langsung mencari tempat duduk sesuai
tiket pesanan. Setelah ketemu, tas saya letakkan diatas kabin dengan agak
kepayahan, karena berat, bung! Karena berat itulah, makanya saya tak kuat. Hal
ini, lantas mengundang simpati penumpang lain. Hingga, orang baik itu membantu
saya. Alhamdulillah.
***
Mata tak bisa
terpejam, suara obrolan bangku samping saling bersahutan. Sampai pada saat,
saya membuka obrolan untuk mencairkan suasana. “Mas, tujuan kemana?", lalu
disahut oleh penumpang yang duduk di depan saya. “tujuan saya ke Banyuwangi,
kalau mas kemana?”, lalu saya jawab dengan menegaskan tujuan yang jelas, “kalau
sekarang ke Surabaya dulu mas, tapi kalau tujuan asli ke Labuan Bajo”. Dengan
menimpali pertanyaan soal nama, “oh iya mas, kita belum berkenalan, saya Raja”,
dijawab dengan sedikit gelak tawa memperhangat obrolan, “hehe iya mas, saya
Maulana”. Terbesit dihati, bahwa jujur lebih baik daripada harus memendam.
Tujuan perjalanan bukan untuk ditutupi, tetapi menjadi keterbukaan suatu
informasi. Bukan mau meninggi ataupun besar kepala, kita hanyalah
manusia-manusia pejalan, bercengkramalah terhadap situasi.
Setelah berkenalan, obrolan-obrolan terus berlanjut sampai titik jenuh dan kebuntuan. Saya hening sejenak memikirkan ulang pertanyaan yang bisa memanjangkan obrolan. Hasilnya, saya hanya dapat mengambil kesimpulan, bahwa Mas Maulana adalah seorang mahasiswa peternakan asal Banyuwangi. Di balik latar belakang tersebut, saya berbicara seputar bagaimana perkembangan peternakan Indonesia saat ini? Seberapa rumit dan apa saja yang dilakukan mahasiswa/i peternakan?. Lalu, Mas Maulana menjawab menurut sepengetahuan yang ia punya dengan memberi pemahaman sederhana. Mungkin, saya tak dapat menangkap penjelasan itu sepenuhnya, tetapi bukankah itu sebuah ilmu baru yang dapat terpakai suatu saat nanti. Bukankah definisi ilmu sangatlah luas.
![]() |
Tas saya dengan setengah badan Mas Maulana. |
Diakhir obrolan, kami
saling menawarkan untuk singgah ke masing-masing domisili kalau waktu
memungkinkan nanti. Mas Maulana menawarkan saya untuk singgah ke Banyuwangi.
Begitu juga saya, menawarkan ia untuk singgah ke Jogja. Lalu, kita saling
bertukar kontak untuk menjaga hubungan persaudaraan. Karena sisi lain dari
perjalanan adalah mendapatkan saudara dan pengalaman.
***
Tanpa terasa,
sampailah kereta Logawa di stasiun Gubeng, dengan rute perjalanan;
Lempuyangan-Klaten-Purwosari-Sragen-Madiun-Caruban-Kertosono-Jombang-Mojokerto-Surabaya(Gubeng).
Obrolan terputus, saya berpisah dengan Mas Maulana yang meneruskan perjalanan ke
Banyuwangi. Kami bersalaman dan saling mengingatkan, agar suatu saat nanti,
semoga Allah dapat mempertemukan kembali.
Tas cerrier berbentuk
kulkas itu kembali saya angkat, punggung mau tidak mau harus mau menahan berat.
Dengan melewati beberapa kerumunan, saya turun dari gerbong dan sesaat menelpon
Mas Acil kawan Bang Edgar, karena ia sudah menunggu di luar stasiun. Sebelum
ini, di kereta saya sudah terlebih dahulu memberi kabar Mas Acil, bahwa saya
akan menuju Surabaya.
Saya dapat kontak Mas
Acil dari Bang Edgar, kawan vespa yang tak sengaja bertemu di Padang, Sumatera
Barat. Saat itu, Bang Edgar sedang dalam perjalanannya ke Sabang dengan
menunggangi Vespa menuju titik 0 km Indonesia. Semoga saja, sekembali dari Nusa
Tenggara Timur. Langkah kecil ini dapat menapaki ujung barat Indonesia. Aamiin.
***
Sesudah menelpon,
rombongan para pendaki melempar senyum ke arah saya. Lalu, senyum kembali saya
balas dengan membuka obrolan baru, “Darimana mau kemana mas?” ia menjawab
dengan kembali senyum, “kita dari Jakarta, mau naik Semeru mas”. Obrolan tak
disangka berlanjut, sampai terhenti oleh deringan Hp. Ternyata Mas Acil sudah
di luar, dan saya berpamit kepada rombongan pendaki Jakarta.
Saat itu, saya lupa
meminta kontak dan menanyai masing-masing nama pendaki tersebut. Seingat saya,
mereka berjumlah 5 orang dengan masing-masing tas cerrier yang membersamai.
Mereka sempat bercerita mengenai akses perjalanan menghemat pengeluaran. Salah
satu dari mereka berkata, "kalau mau irit pengeluaran transportasi ke Malang,
dari Jakarta turun di Gubeng, lanjut naik Bus sampai Malang. Dengan begitu,
kita bisa meminimalisir pengeluaran untuk trasnportasi." (Semoga dapat
membantu).
Baru saja melangkah,
sudah banyak hal-hal berharga yang didapat. Kejadian tak terduga, saudara, teman
yang satu tujuan, bahkan satu pandangan. Ilmupun menjadi bertambah, dari
hal-hal kecil, yang jarang orang meliriknya, dan dilupakan begitu saja. Ini
semua menjadi sebuah renungan bagi kita dan bahan evaluasi bagi diri saya
pribadi.
Bagi saya, melangkah
bukan soal gengsi, nafsu ambisi untuk berkompetisi. Karena, melangkah adalah
mensyukuri setiap jengkal kebesaran Tuhan. Betapa indah kejutan semesta dalam
mewarnai ayunan langkah. Do’a terasa nikmat, hati menjadi kuat, dan jiwa
menjadi dekat. Allah kuasa, kebesaran-Nya melingkupi alam semesta.
***
Saya keluar dari
stasiun, menengok kanan-kiri untuk menyeberang jalan. Mas Acil memberi kabar
lewat pesan singkat WA, bahwa ia memakai mobil pick-up putih. Setelah melihat
ciri-ciri yang dikatakan Mas Acil, saya menuju ke titik mobil tersebut.
Mendekat semakin dekat, langsung spontan saya meluncurkan senyum, dan berjabat
tangan mengawali perkenalan. Mas Acilpun kembali melemparr senyum dan menyambut
tangan saya. Lalu, saya naik mobil bersama Mas Acil diatas aspal jalanan
Surabaya.
-Bersambung-
Komentar
Posting Komentar